“Proses Pidana
Restorative Justice serta
Proses
Penegakan Hukumnya”
oleh: Utari Nelviandi
Abstract
This study aims
to find out how restorative justice as an alternative dispute resolution in
Indonesia and the benefits obtained when compared to conventional criminal
justice processes. The type of research used is normative legal research which
is prescriptive and applied. This legal research approach uses a case approach.
The legal materials used consist of primary legal materials and secondary legal
materials. The legal material collection technique used is library research.
The legal material analysis technique used in writing this paper is the
syllogism method with deductive thinking patterns. Based on the results of
research and discussion it can be seen that the settlement with restorative
justice as an alternative settlement of criminal cases focuses on restoring the
original conditions between victims, perpetrators and society. Besides that,
restorative justice settlement is the answer to the accumulation of files in
court.
Keywords: alternative dispute resolution; crimes; restorative
justice
Pendahuluan
Dengan
melihat banyaknya permasalahan yang terjadi dalam lembaga pemasyarakatan,
seperti kriminalisasi atas tahanan yang dilakukan oleh oknum aparat-aparat
kepolisian tentu itu merupakan suatu hal yang bertentanggan dengan hukum serta
tujuan dari lembaga pemasyarakatan, yaitu pengayoman pada terpidana juga
dilaksanankan berdasarkan kemanusiaan. Di mana apabila kita melihat salah satu
tujuan dari pemidanaan itu berdasarkan teori relatif, teori ini memandang
pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai
sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju
kesejahteraan. Artinya pelaku yang melakukan perbuatan yang melawan hukum
dididik dan dibina selama dalam tahanan. Sudah barang tentu dalam pemahaman
pidana sebenarnya orang yang melakukan perbuatan pidana bisa disebut orang yang
sakit, maka orang yang sakit tersebut haruslah diobati melalui pendekatan dan
pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan guna sesampainya ia di lingkungan
masyarakat dapat diterima kembali.
Oleh
karena itu orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya
bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna, namun hal ini sangat
sulit untuk diwujudkan dalam masyarakat. Kondisi ini menggugah kita untuk
mengkaji ulang (reorientasi) model pemidanaan yang digunakan dalam penegakan
hukum pidana. Orientasi penegakan hukum pidana yang dipahamai selama ini adalah
menjatuhkan sanksi terhadap yang bersalah atau yang melanggar hukum dengan
sanksi yang masing-masing telah ditentukan. Penjatuhan atau pemberian sanksi
tersebut ditujukan untuk memberikan efek jera terhadap yang melanggar maupun
terhadap masyarakat lainnya untuk dijadikan pelajaran. Namun belum tentu
orientasi dalam penegakan hukum pidana tersebut akan memberikan pemulihan
terhadap korban dan pelaku secara langsung. Maka daripada itu restorative justice memberikan upaya baru dengan
melakukan pendekatan antara pelaku dan korban secara langsung untuk mengambil
jalan tengah terbaik dengan kesepakatannya, serta dapat memulihkan korban dan
pelaku secara langsung dalam waktu yang cepat melalui kesepakatan
bersama. Tentu kita sudah tidak asing lagi mendengar tentang istilah restorative justice, yang dalam terjemahan bahasa
Indonesia disebut dengan istilah keadilan restoratif. Manusia secara kodrat
adalah makhluk sosial (zoon politicon),
artinya manusia sebagai individu tidak akan mampu hidup sendiri dan berkembang
dengan sempurna apabila tidak hidup bersama dengan individu atau manusia
lainnya. Sejak lahir manusia sudah harus hidup bersama, setidak-tidaknya dengan
ibu dan ayah yang memelihara, mengasuh dan melindunginya. Keharusan hidup
bersama itu karena manusia mempunyai kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi
apabila berhubungan dengan atau mendapat bantuan dari manusia lainnya. Dengan
kata lain, manusia harus hidup bermasyarakat, saling berhubungan dan
berinteraksi satu sama lain dalam kelompoknya guna memperjuangkan dan memenuhi
kepentingan hidupnya.
Manusia
dalam berinteraksi satu sama lain dalam rangka memperjuangkan dan memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari, terkadang saling berbenturan dengan manusia
lainnya. Hal ini terjadi karena kebutuhan manusia sangat banyak dan cenderung
tidak terbatas, sedangkan alat pemuas kebutuhan manusia sangat terbatas,
apalagi jika kebutuhan manusia itu sama dengan manusia lainnya. Sehingga bagi
orang-orang tertentu yang tidak sabar, tidak puas terhadap apa yang sudah
dimilikinya dan ingin kebutuhannya terpenuhi dengan cepat, sering menempuh jalan
pintas dan bertindak di luar kepatutan serta melanggar norma-norma dalam
masyarakat bahkan melanggar hukum yang berlaku, seperti hukum pidana.
Namun
di sini penulis tidak banyak membahas tentang hukum pidana yang pada prinsipnya
dijadikan sebagai upaya akhir (ultimum remidium)
untuk memutuskan suatu masalah yang bertentangan di dalam masyarakat. Namun ada
konsep baru yaitu restorative justice yang
tertuang dalam peraturan kepolisian nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan
Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Keadilan Restoratif adalah
penyelesaian Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku,
keluarga korban, tokoh masyarakat, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang
adil guna menemukan solusi terbaik melalui kesepakatan bersama. Tanpa kita
sadari sebelum restorative justice terkenal
dan banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Masyarakat Indonesia sendiri telah
mengenal konsep restorative justice dalam
kebiasaan, hukum adat serta nilai-nilai yang lahir di dalamnya yang banyak
menggunakan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Bahkan juga tercantum dalam
sila keempat yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan”. Hal ini dimaksudkan apabila terjadinya
problem dalam masyarakat sebisa mungkin diselesaikan secara musyawarah, guna
menemukan solusi terbaik melalui kesepakatan bersama.
Indonesia sendiri telah mengagungkan prinsip musyawarah sebagai suatu
kebiasaan yang mendarah daging untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada
di bangsa ini. Sebab dengan dibicarakan melalui musyawarah maka segala
keputusan maupun berbagai bentuk problematika yang terjadi itu dicarikan
solusinya bersama-sama guna memutuskan putusan yang nantinya baik dan inilah
bukti bahwa sebenarnya restorative justice juga
telah berkembang di dalamnya. Musyawarah akan mencapai suatu kesepakatan
yang win-win solution tanpa merugikan atau menyebabkan
ketidakseimbangan terhadap satu pihak sehingga penyelesaian pun dapat tercapai.
Menurut
Prof Mardjono Reksodiputro, perdamaian merupakan inti dari restorative justice. Perdamaian antara korban dan
pelaku atau pihak yang bersengketa dimaksudkan agar keadaan yang menimbulkan
perselisihan atau persengketaan itu bisa dinetralisir. Dengan adanya Restorative Justice juga sebenarnya dapat
membuka pintu partisipasi aktif dari kedua belah pihak. sehingga keinginan dari
masing-masing pihak dapat disampaikan dan dari sini kemudian dapat tercipta
suatu bentuk keadilan hukum, keadilan yang benar-benar adil bagi kedua belah
pihak (adil bagi pelaku dan juga adil bagi korban yang terdampak akibat
perbuatan pelaku). Restorasi meliputi
pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa
didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban
dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi
kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme
ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun
kesepakatan-kesepakatan lainnya. Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan
yang lebih menitikberatkan pada pelaku tindak pidana serta korban. Mekanisme
tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi
proses dialog antara kedua belah pihak (korban dan pelaku) dan mediasi untuk
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara
pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Pengertian
& Penegakan Hukum Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana
Restorative Justice (Keadilan
Restoratif) adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan
korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak
semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam
hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga
didorong untuk mempertanggungjawabkan atas segala perbuatan yang mengakibatkan
terjadinya korban, kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta
maaf terhadap korban. Konsep restorative justice pada
dasarnya sederhana yaitu merupakan teori keadilan yang menekankan pada
pemulihan kerugian yang disebabkan oleh perbuatan yang dilakukan pelaku.
Pendekatan restorative justice memfokuskan kepada kebutuhan
baik korban maupun pelaku kejahatan, menumbuhkan dialog antara korban dan
pelaku akan menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas
pelaku, artinya pelaku dipertemukan di hadapan korban dan mempertanggung
jawabkan perbuatan yang diperbuat dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Konsep restorative justice (Keadilan Restoratif) pada
dasarnya sederhana dimana pertanggungjawaban oleh pelaku terhadap korban dalam
hal menyelesaikan masalah tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari
korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan
yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan
mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab, dengan bantuan keluarga dan
masyarakat bila diperlukan. Oleh karena itu konsep restorative justice di bangun berdasarkan
pengertian bahwa kejahatan yang telah menimbulkan kerugian harus dipulihkan
kembali baik kerugian yang diderita oleh korban maupun kerugian yang ditanggung
oleh masyarakat. Keterlibatan anggota masyarakat sangat dibutuhkan untuk
membantu memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi di sekitar
lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
Dalam
pemahaman hukum dan penegakan keadilan, perubahan paradigma dari pendekatan
konvensional yang berfokus pada hukuman dan pembalasan terhadap pelaku tindak
pidana menuju pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu langkah penting.
Tulisan ini mencoba mengambarkan konsep restorative justice dalam
penerapannya, dimana terjadinnya kesepakatan antara kedua belah pihak, dan
pelaku siap mempertanggungjawabkan atas pebuatan yang dilakukanya. Implementasi
keadilan restoratif menekankan kolaborasi antara pelaku dan korban tindak
pidana, serta partisipasi masyarakat, untuk mencapai penyelesaian yang adil dan
bermanfaat bagi semua pihak. Pendekatan ini mengakui bahwa setiap tindakan
pidana memiliki dampak yang mendalam, tidak hanya terhadap korban, tetapi juga
terhadap pelaku dan masyarakat secara luas.
Pelaku
tindak pidana sebagai individu yang membutuhkan bimbingan, rehabilitasi, dan
pemulihan, bukan sekadar hukuman yang keras. Oleh karena itu, pemulihan dan
rekonsiliasi menjadi fokus utama dalam keadilan restoratif, konsep restorative justice merupakan langkah yang
berpotensi untuk membawa perubahan positif dalam sistem peradilan pidana
Indonesia. Ini adalah upaya untuk melihat pelaku tindak pidana sebagai individu
yang dapat dipulihkan dan diberikan kesempatan untuk berkontribusi kembali
kepada masyarakat. Dengan demikian, keadilan restoratif bukan hanya tentang
menegakkan hukum, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih adil dan
sejahtera.
Restorative
justice merupakan tahapan penyelesaian perkara di luar pengadilan (settlement
outside of court) dengan turut melibatkan korban, pelaku, keluarga korban
dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai
kesepakatan penyelesaian yang diharapkan memenuhi rasa keadilan kedua belah
pihak dengan menekankan pada pemulihan ke keadaan semula dan bukan pembalasan.
Menurut Lynne N. Henderson dalam tulisannya yang berjudul The Wrongs of
Victims’ Rights, restorative justice adalah manifestasi
evolusi mengenai tindak pidana dari konsep “privat atau pribadi” menuju lingkup
“publik atau sosial”. Sistem peradilan pidana sebelum mengenal restorative
justice menyorot penegakan hukum terhadap tindak pidana melalui
tahapan persidangan sebatas dimana terdakwa akan dituntut oleh penuntut umum
dan kemudian pemidanaannya diputus oleh hakim. Sistem ini berpusat semata-mata
kepada pelaku dan negara dan dalam perkembangannya mengakibatkan pada terabaikannya
pemenuhan hak-hak korban karena orientasi penghukuman ditujukan bagi pelaku
saja. Misal, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), korban
tindak pidana hanya diposisikan sebagai saksi yang membantu penuntut umum untuk
membuktikan tuntutan.
Prinsip
dasar restorative justice berpegang pada pemikiran tentang
penegakan hukum yang adil dan tidak berat sebelah. Dengan penerapan restorative
justice, keselarasan sistem pemidanaan tidak hanya bertumpu pada
pertanggungjawaban pelaku tindak pidana tetapi juga pada kepentingan pemulihan
korban diantaranya melalui pemberian ganti rugi, perdamaian, pengenaan pidana
kerja sosial terhadap pelaku, maupun kesepakatan lainnya. Sistem pemidanaan
yang belum akrab dengan restorative justice dalam
perjalanannya juga menimbulkan kecenderungan praktik penggunaan instrumen
pemenjaraan untuk penghukuman. Hal ini, pada akhirnya, menyebabkan
permasalahan overcrowding atau kelebihan penghuni pada Rumah
Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. Menurut data per 23 Januari 2024
dari laman web Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, telah terjadi over kapasitas sebesar 77 (tujuh puluh tujuh)
persen dengan jumlah penghuni sejumlah 228.204 dari kapasitas untuk 128.656
penghuni Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan.
Awal mula
konsep Restorative Justice lahir dari munculnya kesadaran atas
kegagalan sistem peradilan pidana dalam mengakomodir peran korban yang
diinisiasi oleh gerakan perempuan dengan nama “Asosiasi Nasional untuk Skema Bantuan
Korban”. Kemudian, pada tahun 1973, dilakukan pertemuan internasional pertama
yang membahas tentang hak korban dalam sistem peradilan pidana yang menjadi
cikal bakal terbentuknya World Society of Victimology pada
tahun 1979. Hingga pada tahun 1985, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mengadopsi Deklarasi Basic Principles of Justice for Victims of
Crime and Abuse of Power. Gerakan-gerakan ini sejalan dengan lahirnya
konsep Restorative Justice. Adapun istilah ‘restorative
justice’ baru diperkenalkan dalam beberapa tulisan Albert Eglash pada
1950-an dan baru marak digunakan pada 1977.
Pengertian restorative
justice, atau yang dikenal dalam hukum positif di Indonesia sebagai
Keadilan Restoratif, diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut sebagai
UU SPPA). Selain di dalam UU SPPA, pengaturan restorative justice di
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia juga ditemukan di dalam:
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban;
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban;
- Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua
Belas) Tahun;
- Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana;
- Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif;
- Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan
Restoratif; dan
- Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang
Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika Melalui
Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan
Asas Dominus Litis Jaksa.
Prinsip restorative
justice juga telah diimplementasikan oleh Mahkamah Agung, salah
satunya melalui pemberlakuan kebijakan-kebijakan dalam bentuk Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disebut PERMA) dan Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disebut SEMA). Adapun PERMA dan
SEMA tersebut adalah:
- PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (selanjutnya
disebut PERMA No. 2 Tahun 2012)
- PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
- PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (selanjutnya disebut
PERMA No. 3 Tahun 2017)
- SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan
Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam
Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (selanjutnya disebut
SEMA No. 4 Tahun 2010)
- SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban
Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial
- Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor
166A/KMA/SKB/XII/2009, 148A/A/JA/12/2009, B/45/XII/2009, M.HH-08 HM.03.02
Tahun 2009, 10/PRS-s/KPTS/2009, 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tentang
Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum
- Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun
2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober
2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat serta Penerapan Keadilan
Restoratif (Restorative Justice)
- Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor
01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03
Tahun 2014 Nomor Per-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor
Perber/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi
- Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan
Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative
Justice di Lingkungan Peradilan Umum
UU SPPA
melalui Pasal 5 ayat (1) telah mewajibkan keseluruhan proses penyelesaian
perkara anak yang berhadapan dengan hukum, sejak tahap penyelidikan sampai
tahap pembimbingan setelah menjalani pidana, untuk mengutamakan
pendekatan restorative justice. Pendekatan tersebut salah satunya
diupayakan melalui lembaga Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak
dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Upaya diversi
dapat diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, atau diancam pidana
penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang
diancam pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan
subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan), serta bukan
merupakan pengulangan. Upaya diversi dilakukan melalui musyawarah dengan
memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak,
penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat,
serta kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Proses
diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan tujuan akhir untuk
memperoleh kesepakatan diversi. Bila dirasa perlu, dapat dilakukan pertemuan
terpisah atau kaukus antara para pihak dengan hakim sebagai fasilitator
diversi. Di dalam musyawarah diversi inilah, kemampuan hakim dibutuhkan untuk
dapat menjembatani proses silang pendapat sehingga dapat diperoleh kesepakatan
diversi yang disetujui dan dirasa adil bagi kedua belah pihak. Persetujuan itu
dapat dikecualikan dalam hal tindak pidana merupakan tindak pidana pelanggaran,
tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian yang
diderita korban tidak melebihi nilai Upah Minimum Provinsi setempat. Pasal 11
UU SPPA telah mengatur bentuk-bentuk kesepakatan diversi yang dihasilkan dapat
berbentuk perdamaian dengan/tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada
orang tua atau wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (selanjutnya disebut
LPKS) paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat. Dalam hal proses
diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak
dilaksanakan maka penegakan hukum terhadap tindak pidana dapat dilanjutkan
dengan proses peradilan pidana.
Ragam pidana
pokok yang dapat dijatuhkan bagi anak yang berkonflik dengan hukum mengakomodir
kendala yang ditemui terkait overcrowding dalam proses penegakan
hukum di Indonesia. Pasal 71 ayat (1) UU SPPA mengatur jenis-jenis pidana pokok
yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yaitu pidana
peringatan, pidana dengan syarat berupa pembinaan di luar lembaga (dapat berupa
keharusan untuk mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan
oleh pejabat pembina, mengikuti terapi di rumah sakit jiwa, atau mengikuti
terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya), pelayanan masyarakat, atau pengawasan, serta pelatihan kerja,
pembinaan dalam lembaga, dan penjara. Sedangkan untuk anak yang berkonflik
dengan hukum yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai
tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU SPPA berupa
pengembalian kepada orang tua/Wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di
rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal
dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, pencabutan
Surat Izin Mengemudi (SIM), dan/atau perbaikan akibat tindak pidana.
Pengejawantahan
lainnya dari konsep restorative justice yang mempertimbangkan
segi keadilan dan kemanusiaan dalam UU SPPA juga dimanifestasikan dalam konsep
pemaafan hakim atau rechtelijke pardon. Dalam konsep ini, hakim
diharapkan untuk dapat menimbang ringannya perbuatan pidana, keadaan pribadi
anak, atau kejadian waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian
sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 70 UU SPPA. Di dalam yurisprudensi,
contoh putusan pemaafan hakim pernah dijatuhkan Pengadilan Negeri Rengat dalam
kasus pencurian terhadap anak yang dituntut pidana 2 (dua) bulan penjara dalam
perkara nomor 2/Pid,Sus-Anak/2021/PN Rgt.
Di dalam
institusi Mahkamah Agung, selain terhadap tindak pidana anak, penerapan restorative
justice ditemukan dalam penyelenggaraan hukum terhadap tindak pidana
ringan, tindak pidana yang dilakukan perempuan yang berhadapan dengan hukum,
dan tindak pidana narkotika. Menurut Pasal 1 PERMA No. 2 Tahun 2012, perkara
pencurian ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan, perusakan ringan, dan
penadahan ringan yang nilai objek perkaranya tidak melebihi Rp. 2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah) diperiksa oleh hakim tunggal dengan acara
pemeriksaan cepat sesuai Pasal 205-210 KUHAP. Dalam hal kesepakatan perdamaian
tidak berhasil dicapai maka hakim tunggal melanjukan proses pemeriksaan pidana
dan selama persidangan, hakim dianjurkan untuk tetap mengupayakan perdamaian
dan mengedepankan restorative justice dalam putusannya.
Kemudian,
eksistensi PERMA No. 3 Tahun 2017 menjadi salah satu bukti komitmen Mahkamah
Agung dalam menjamin akses keadilan dan meningkatkan posisi tawar perempuan
yang berhadapan dengan hukum sebagai kaum rentan melalui asas-asas penghargaan
atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kesetaraan gender,
persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 PERMA No. 3 Tahun 2017. Melalui PERMA
ini, peran perempuan yang berhadapan dengan hukum di dalam pembuktian di
persidangan tidak hanya sekedar “membantu penuntut umum” membuktikan kesalahan
terdakwa, tetapi juga dalam memulihkan kembali ketertiban umum yang diakomodir
dalam perintah undang-undang bagi hakim di dalam Pasal 8 ayat (1) untuk menjamin
hak perempuan untuk berkomunikasi secara terbuka perihal kerugian, dampak
kasus, dan kebutuhannya atas pemulihan.
Peraturan terbaru yang
mengatur tentang keadilan restoratif adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan
Keadilan Restoratif. Keadilan restoratif
memiliki tiga elemen inti, yaitu perjumpaan, perbaikan, dan
transformasi. Ketiga elemen ini saling terkait dan mewakili perjalanan
menuju kesejahteraan dan keutuhan bagi korban, pelaku, dan masyarakat.
Dalam
perkara narkotika, pendekatan restorative justice diimplementasikan
melalui penerapan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum
berupa rehabilitasi bagi terdakwa yang merupakan pecandu narkotika, yaitu yang
menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan
pada narkotika baik secara fisik maupun psikis, yang tertangkap tangan dan pada
saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari
(perincian lebih lengkapnya tercantum pada SEMA No. 4 Tahun 2010), terdapat
Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan permintaan
penyidik dan Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang
ditunjuk oleh hakim, serta tidak terdapat bukti terlibat dalam peredaran gelap
narkotika. Lalu, hakim dalam menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi harus
dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan taraf kecanduan terdakwa sehingga dalam
hal ini maka keberadaan keterangan ahli menjadi wajib adanya. Di dalam pemeriksaan
di persidangan, hakim juga dapat memerintahkan terdakwa agar menghadirkan
keluarga terdakwa dan pihak terkait untuk didengar keterangannya sebagai saksi
yang meringankan dalam rangka pendekatan restorative justice.
Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan diatas, dapat diketahui bersama bahwa dalam penerapan restorative
justice, hukum sebagai alat kontrol sosial yang senantiasa berkembang
mengikuti perkembangan masyarakatnya memiliki sifat remedial yang bertujuan
mengembalikan situasi pada keadaan semula. Sebagaimana adagium hukum yang
berbunyi judex herbere debet duos sales, salem sapientiae, ne sit
insipidus, et salem conscientie, ne sit diabolus yang maknanya
“seorang hakim harus mempunyai dua hal; suatu kebijakan, kecuali dia bodoh; dan
hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam”, maka tujuan dari
penerapan restorative justice tidaklah hanya mementingkan
pembalasan bagi pelaku tindak pidana sedang ia mengesampingkan penyelesaian
yang adil bagi kedua belah pihak. Namun, hendaknya seorang hakim yang baik
turut mempertimbangkan kepentingan korban dengan mengutamakan pemulihan kembali
kepada keadaan semula.
Restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana hadir sebagai jawaban atas beberapa kelemahan yang dimiliki oleh proses peradilan pidana konvensional. Pada tahap penuntutan, penuntut umum berperan dalam proses penyelesaian secara restorative justice dengan berperan sebagai fasilitator yang mempertemukan pihak pelaku dan korban serta mencoba mendamaikannya. Proses restorative justice memungkinkan korban dan pelaku untuk bertemu, dan terlibat langsung dalam mencari penyelesaian terhadap masalah yang mereka hadapi. Kemudian dengan adanya alternatif penyelesaian perkara menggunakan restorative justice, perkara pidana yang relatif ringan dapat diselesaikan dengan cepat tanpa harus melewati proses peradilan pidana yang tidak efisien waktu.
Daftar
Pustaka
Asshiddiqie,
Jimly. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Barda
Nawawi Arief, 2000. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan
Dengan Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2023, Dashboard
Kumham.
Eka
Fitri Andriyanti. 2020. “Urgensitas Implementasi Restorative Justice Dalam
Hukum Pidana Indonesia. Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas
Surabaya”.
Eva
Achjani Zulfa. 2011. “Restorative Justice In Indonesia: Traditional Value”.
Fakultas Hukum Indonesia.
Flora.
2018. “Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif Dalam Penyelesaian Tindak
Pidana Dan Pengaruhnya Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”.
Bengkulu: University Of Bengkulu Law Journal.
G.
Widiartana. 2017.“Paradigma Keadilan Restoratif Dalam Penanggulangan
Kejahatan Dengan Menggunakan Hukum Pidana”. Fakultas Hukum Atma Jaya
Yogyakarta.
John
Braithwaite. 2002. Restorative Justice And Responsive Regulation, New
York: Oxford University Press.
M.
Yahya Harahap, 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika.
Muladi
dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni.
Rudi
Rizky, 2008. Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade
Terakhir, Jakarta: Perum Percetakan Negara Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar