Kamis, 07 November 2024

Proses Pidana Restorative Justice serta Proses Penegakan Hukumnya

 

Proses Pidana Restorative Justice serta

Proses Penegakan Hukumnya”


oleh: Utari Nelviandi

 

Abstract

        This study aims to find out how restorative justice as an alternative dispute resolution in Indonesia and the benefits obtained when compared to conventional criminal justice processes. The type of research used is normative legal research which is prescriptive and applied. This legal research approach uses a case approach. The legal materials used consist of primary legal materials and secondary legal materials. The legal material collection technique used is library research. The legal material analysis technique used in writing this paper is the syllogism method with deductive thinking patterns. Based on the results of research and discussion it can be seen that the settlement with restorative justice as an alternative settlement of criminal cases focuses on restoring the original conditions between victims, perpetrators and society. Besides that, restorative justice settlement is the answer to the accumulation of files in court.

 

Keywords: alternative dispute resolution; crimes; restorative justice

 

Pendahuluan

Dengan melihat banyaknya permasalahan yang terjadi dalam lembaga pemasyarakatan, seperti kriminalisasi atas tahanan yang dilakukan oleh oknum aparat-aparat kepolisian tentu itu merupakan suatu hal yang bertentanggan dengan hukum serta tujuan dari lembaga pemasyarakatan, yaitu pengayoman pada terpidana juga dilaksanankan berdasarkan kemanusiaan. Di mana apabila kita melihat salah satu tujuan dari pemidanaan itu berdasarkan teori relatif, teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Artinya pelaku yang melakukan perbuatan yang melawan hukum dididik dan dibina selama dalam tahanan. Sudah barang tentu dalam pemahaman pidana sebenarnya orang yang melakukan perbuatan pidana bisa disebut orang yang sakit, maka orang yang sakit tersebut haruslah diobati melalui pendekatan dan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan guna sesampainya ia di lingkungan masyarakat dapat diterima kembali.

Oleh karena itu  orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna, namun hal ini sangat sulit untuk diwujudkan dalam masyarakat. Kondisi ini menggugah kita untuk mengkaji ulang (reorientasi) model pemidanaan yang digunakan dalam penegakan hukum pidana. Orientasi penegakan hukum pidana yang dipahamai selama ini adalah menjatuhkan sanksi terhadap yang bersalah atau yang melanggar hukum dengan sanksi yang masing-masing telah ditentukan. Penjatuhan atau pemberian sanksi tersebut ditujukan untuk memberikan efek jera terhadap yang melanggar maupun terhadap masyarakat lainnya untuk dijadikan pelajaran. Namun belum tentu orientasi dalam penegakan hukum pidana tersebut akan memberikan pemulihan terhadap korban dan pelaku secara langsung. Maka daripada itu restorative justice memberikan upaya baru dengan melakukan pendekatan antara pelaku dan korban secara langsung untuk mengambil jalan tengah terbaik dengan kesepakatannya, serta dapat memulihkan korban dan pelaku secara langsung dalam waktu yang cepat  melalui kesepakatan bersama. Tentu kita sudah tidak asing lagi mendengar tentang istilah restorative justice, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut dengan istilah keadilan restoratif. Manusia secara kodrat adalah makhluk sosial (zoon politicon), artinya manusia sebagai individu tidak akan mampu hidup sendiri dan berkembang dengan sempurna apabila tidak hidup bersama dengan individu atau manusia lainnya. Sejak lahir manusia sudah harus hidup bersama, setidak-tidaknya dengan ibu dan ayah yang memelihara, mengasuh dan melindunginya. Keharusan hidup bersama itu karena manusia mempunyai kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi apabila berhubungan dengan atau mendapat bantuan dari manusia lainnya. Dengan kata lain, manusia harus hidup bermasyarakat, saling berhubungan dan berinteraksi satu sama lain dalam kelompoknya guna memperjuangkan dan memenuhi kepentingan hidupnya.

Manusia dalam berinteraksi satu sama lain dalam rangka memperjuangkan dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, terkadang saling berbenturan dengan manusia lainnya. Hal ini terjadi karena kebutuhan manusia sangat banyak dan cenderung tidak terbatas, sedangkan alat pemuas kebutuhan manusia sangat terbatas, apalagi jika kebutuhan manusia itu sama dengan manusia lainnya. Sehingga bagi orang-orang tertentu yang tidak sabar, tidak puas terhadap apa yang sudah dimilikinya dan ingin kebutuhannya terpenuhi dengan cepat, sering menempuh jalan pintas dan bertindak di luar kepatutan serta melanggar norma-norma dalam masyarakat bahkan melanggar hukum yang berlaku, seperti hukum pidana.

Namun di sini penulis tidak banyak membahas tentang hukum pidana yang pada prinsipnya dijadikan sebagai upaya akhir (ultimum remidium) untuk memutuskan suatu masalah yang bertentangan di dalam masyarakat. Namun ada konsep baru yaitu restorative justice yang tertuang dalam peraturan kepolisian nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil guna menemukan solusi terbaik melalui kesepakatan bersama. Tanpa kita sadari sebelum restorative justice terkenal dan banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal konsep restorative justice dalam kebiasaan, hukum adat serta nilai-nilai yang lahir di dalamnya yang banyak menggunakan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Bahkan juga tercantum dalam sila keempat yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Hal ini dimaksudkan apabila terjadinya problem dalam masyarakat sebisa mungkin diselesaikan secara musyawarah, guna menemukan solusi terbaik melalui kesepakatan bersama.

Indonesia  sendiri  telah  mengagungkan  prinsip  musyawarah  sebagai  suatu kebiasaan yang mendarah daging untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada di bangsa ini. Sebab dengan dibicarakan melalui musyawarah maka segala keputusan maupun berbagai bentuk problematika yang terjadi itu dicarikan solusinya bersama-sama guna memutuskan putusan yang nantinya baik dan inilah bukti bahwa sebenarnya restorative justice juga telah berkembang di dalamnya. Musyawarah akan mencapai suatu kesepakatan yang win-win solution tanpa merugikan atau menyebabkan ketidakseimbangan terhadap satu pihak sehingga penyelesaian pun dapat tercapai.

Menurut Prof Mardjono Reksodiputro, perdamaian merupakan inti dari restorative justice. Perdamaian antara korban dan pelaku atau pihak yang bersengketa dimaksudkan agar keadaan yang menimbulkan perselisihan atau persengketaan itu bisa dinetralisir. Dengan adanya Restorative Justice juga sebenarnya dapat membuka pintu partisipasi aktif dari kedua belah pihak. sehingga keinginan dari masing-masing pihak dapat disampaikan dan dari sini kemudian dapat tercipta suatu bentuk keadilan hukum, keadilan yang benar-benar adil bagi kedua belah pihak (adil bagi pelaku dan juga adil bagi korban yang terdampak akibat perbuatan pelaku). Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk  menebusnya,  melalui  mekanisme  ganti  rugi,  perdamaian,  kerja  sosial,  maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada pelaku tindak pidana serta korban. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog antara kedua belah pihak (korban dan pelaku) dan mediasi untuk  menciptakan  kesepakatan  atas penyelesaian  perkara  pidana  yang  lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Pengertian & Penegakan Hukum Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana

Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong untuk mempertanggungjawabkan atas segala perbuatan yang mengakibatkan terjadinya korban, kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf terhadap korban. Konsep restorative justice pada dasarnya sederhana yaitu merupakan teori keadilan yang menekankan pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh perbuatan yang dilakukan pelaku.

Pendekatan restorative justice memfokuskan kepada kebutuhan baik korban maupun pelaku kejahatan, menumbuhkan dialog antara korban dan pelaku akan menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku, artinya pelaku dipertemukan di hadapan korban dan mempertanggung jawabkan perbuatan yang diperbuat dengan kesepakatan kedua belah pihak. Konsep restorative justice (Keadilan Restoratif) pada dasarnya sederhana dimana pertanggungjawaban oleh pelaku terhadap korban dalam hal menyelesaikan masalah tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Oleh karena itu konsep restorative justice di bangun berdasarkan pengertian bahwa kejahatan yang telah menimbulkan kerugian harus dipulihkan kembali baik kerugian yang diderita oleh korban maupun kerugian yang ditanggung oleh masyarakat. Keterlibatan anggota masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi di sekitar lingkungan masyarakat yang bersangkutan.

Dalam pemahaman hukum dan penegakan keadilan, perubahan paradigma dari pendekatan konvensional yang berfokus pada hukuman dan pembalasan terhadap pelaku tindak pidana menuju pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu langkah penting. Tulisan ini mencoba mengambarkan konsep restorative justice dalam penerapannya, dimana terjadinnya kesepakatan antara kedua belah pihak, dan pelaku siap mempertanggungjawabkan atas pebuatan yang dilakukanya. Implementasi keadilan restoratif menekankan kolaborasi antara pelaku dan korban tindak pidana, serta partisipasi masyarakat, untuk mencapai penyelesaian yang adil dan bermanfaat bagi semua pihak. Pendekatan ini mengakui bahwa setiap tindakan pidana memiliki dampak yang mendalam, tidak hanya terhadap korban, tetapi juga terhadap pelaku dan masyarakat secara luas.

Pelaku tindak pidana sebagai individu yang membutuhkan bimbingan, rehabilitasi, dan pemulihan, bukan sekadar hukuman yang keras. Oleh karena itu, pemulihan dan rekonsiliasi menjadi fokus utama dalam keadilan restoratif, konsep restorative justice merupakan langkah yang berpotensi untuk membawa perubahan positif dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Ini adalah upaya untuk melihat pelaku tindak pidana sebagai individu yang dapat dipulihkan dan diberikan kesempatan untuk berkontribusi kembali kepada masyarakat. Dengan demikian, keadilan restoratif bukan hanya tentang menegakkan hukum, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Restorative justice merupakan tahapan penyelesaian perkara di luar pengadilan (settlement outside of court) dengan turut melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian yang diharapkan memenuhi rasa keadilan kedua belah pihak dengan menekankan pada pemulihan ke keadaan semula dan bukan pembalasan. Menurut Lynne N. Henderson dalam tulisannya yang berjudul The Wrongs of Victims’ Rightsrestorative justice adalah manifestasi evolusi mengenai tindak pidana dari konsep “privat atau pribadi” menuju lingkup “publik atau sosial”. Sistem peradilan pidana sebelum mengenal restorative justice menyorot penegakan hukum terhadap tindak pidana melalui tahapan persidangan sebatas dimana terdakwa akan dituntut oleh penuntut umum dan kemudian pemidanaannya diputus oleh hakim. Sistem ini berpusat semata-mata kepada pelaku dan negara dan dalam perkembangannya mengakibatkan pada terabaikannya pemenuhan hak-hak korban karena orientasi penghukuman ditujukan bagi pelaku saja. Misal, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), korban tindak pidana hanya diposisikan sebagai saksi yang membantu penuntut umum untuk membuktikan tuntutan.

Prinsip dasar restorative justice berpegang pada pemikiran tentang penegakan hukum yang adil dan tidak berat sebelah. Dengan penerapan restorative justice, keselarasan sistem pemidanaan tidak hanya bertumpu pada pertanggungjawaban pelaku tindak pidana tetapi juga pada kepentingan pemulihan korban diantaranya melalui pemberian ganti rugi, perdamaian, pengenaan pidana kerja sosial terhadap pelaku, maupun kesepakatan lainnya. Sistem pemidanaan yang belum akrab dengan restorative justice dalam perjalanannya juga menimbulkan kecenderungan praktik penggunaan instrumen pemenjaraan untuk penghukuman. Hal ini, pada akhirnya, menyebabkan permasalahan overcrowding atau kelebihan penghuni pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. Menurut data per 23 Januari 2024 dari laman web Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, telah terjadi over kapasitas sebesar 77 (tujuh puluh tujuh) persen dengan jumlah penghuni sejumlah 228.204 dari kapasitas untuk 128.656 penghuni Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan.

Awal mula konsep Restorative Justice lahir dari munculnya kesadaran atas kegagalan sistem peradilan pidana dalam mengakomodir peran korban yang diinisiasi oleh gerakan perempuan dengan nama “Asosiasi Nasional untuk Skema Bantuan Korban”. Kemudian, pada tahun 1973, dilakukan pertemuan internasional pertama yang membahas tentang hak korban dalam sistem peradilan pidana yang menjadi cikal bakal terbentuknya World Society of Victimology pada tahun 1979. Hingga pada tahun 1985, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Gerakan-gerakan ini sejalan dengan lahirnya konsep Restorative Justice. Adapun istilah ‘restorative justice’ baru diperkenalkan dalam beberapa tulisan Albert Eglash pada 1950-an dan baru marak digunakan pada 1977. 

Pengertian restorative justice, atau yang dikenal dalam hukum positif di Indonesia sebagai Keadilan Restoratif, diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut sebagai UU SPPA). Selain di dalam UU SPPA, pengaturan restorative justice di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia juga ditemukan di dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun;
  4. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana;
  5. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif;
  6. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif; dan
  7. Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.

Prinsip restorative justice juga telah diimplementasikan oleh Mahkamah Agung, salah satunya melalui pemberlakuan kebijakan-kebijakan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disebut PERMA) dan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disebut SEMA). Adapun PERMA dan SEMA tersebut adalah:

  1. PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (selanjutnya disebut PERMA No. 2 Tahun 2012)
  2. PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
  3. PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (selanjutnya disebut PERMA No. 3 Tahun 2017)
  4. SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (selanjutnya disebut SEMA No. 4 Tahun 2010)
  5. SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial
  6. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 166A/KMA/SKB/XII/2009, 148A/A/JA/12/2009, B/45/XII/2009, M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, 10/PRS-s/KPTS/2009, 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum
  7. Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
  8. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014 Nomor Per-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi
  9. Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum

UU SPPA melalui Pasal 5 ayat (1) telah mewajibkan keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, sejak tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana, untuk mengutamakan pendekatan restorative justice. Pendekatan tersebut salah satunya diupayakan melalui lembaga Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Upaya diversi dapat diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, atau diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan), serta bukan merupakan pengulangan. Upaya diversi dilakukan melalui musyawarah dengan memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, serta kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan tujuan akhir untuk memperoleh kesepakatan diversi. Bila dirasa perlu, dapat dilakukan pertemuan terpisah atau kaukus antara para pihak dengan hakim sebagai fasilitator diversi. Di dalam musyawarah diversi inilah, kemampuan hakim dibutuhkan untuk dapat menjembatani proses silang pendapat sehingga dapat diperoleh kesepakatan diversi yang disetujui dan dirasa adil bagi kedua belah pihak. Persetujuan itu dapat dikecualikan dalam hal tindak pidana merupakan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian yang diderita korban tidak melebihi nilai Upah Minimum Provinsi setempat. Pasal 11 UU SPPA telah mengatur bentuk-bentuk kesepakatan diversi yang dihasilkan dapat berbentuk perdamaian dengan/tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua atau wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (selanjutnya disebut LPKS) paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat. Dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka penegakan hukum terhadap tindak pidana dapat dilanjutkan dengan proses peradilan pidana.

Ragam pidana pokok yang dapat dijatuhkan bagi anak yang berkonflik dengan hukum mengakomodir kendala yang ditemui terkait overcrowding dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Pasal 71 ayat (1) UU SPPA mengatur jenis-jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yaitu pidana peringatan, pidana dengan syarat berupa pembinaan di luar lembaga (dapat berupa keharusan untuk mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina, mengikuti terapi di rumah sakit jiwa, atau mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya), pelayanan masyarakat, atau pengawasan, serta pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara. Sedangkan untuk anak yang berkonflik dengan hukum yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU SPPA berupa pengembalian kepada orang tua/Wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM), dan/atau perbaikan akibat tindak pidana.

Pengejawantahan lainnya dari konsep restorative justice yang mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan dalam UU SPPA juga dimanifestasikan dalam konsep pemaafan hakim atau rechtelijke pardon. Dalam konsep ini, hakim diharapkan untuk dapat menimbang ringannya perbuatan pidana, keadaan pribadi anak, atau kejadian waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 70 UU SPPA. Di dalam yurisprudensi, contoh putusan pemaafan hakim pernah dijatuhkan Pengadilan Negeri Rengat dalam kasus pencurian terhadap anak yang dituntut pidana 2 (dua) bulan penjara dalam perkara nomor 2/Pid,Sus-Anak/2021/PN Rgt.

Di dalam institusi Mahkamah Agung, selain terhadap tindak pidana anak, penerapan restorative justice ditemukan dalam penyelenggaraan hukum terhadap tindak pidana ringan, tindak pidana yang dilakukan perempuan yang berhadapan dengan hukum, dan tindak pidana narkotika. Menurut Pasal 1 PERMA No. 2 Tahun 2012, perkara pencurian ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan, perusakan ringan, dan penadahan ringan yang nilai objek perkaranya tidak melebihi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) diperiksa oleh hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat sesuai Pasal 205-210 KUHAP. Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil dicapai maka hakim tunggal melanjukan proses pemeriksaan pidana dan selama persidangan, hakim dianjurkan untuk tetap mengupayakan perdamaian dan mengedepankan restorative justice dalam putusannya.

Kemudian, eksistensi PERMA No. 3 Tahun 2017 menjadi salah satu bukti komitmen Mahkamah Agung dalam menjamin akses keadilan dan meningkatkan posisi tawar perempuan yang berhadapan dengan hukum sebagai kaum rentan melalui asas-asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 PERMA No. 3 Tahun 2017. Melalui PERMA ini, peran perempuan yang berhadapan dengan hukum di dalam pembuktian di persidangan tidak hanya sekedar “membantu penuntut umum” membuktikan kesalahan terdakwa, tetapi juga dalam memulihkan kembali ketertiban umum yang diakomodir dalam perintah undang-undang bagi hakim di dalam Pasal 8 ayat (1) untuk menjamin hak perempuan untuk berkomunikasi secara terbuka perihal kerugian, dampak kasus, dan kebutuhannya atas pemulihan.

Peraturan terbaru yang mengatur tentang keadilan restoratif adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Keadilan restoratif memiliki tiga elemen inti, yaitu perjumpaan, perbaikan, dan transformasi. Ketiga elemen ini saling terkait dan mewakili perjalanan menuju kesejahteraan dan keutuhan bagi korban, pelaku, dan masyarakat.

Dalam perkara narkotika, pendekatan restorative justice diimplementasikan melalui penerapan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi bagi terdakwa yang merupakan pecandu narkotika, yaitu yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis, yang tertangkap tangan dan pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari (perincian lebih lengkapnya tercantum pada SEMA No. 4 Tahun 2010), terdapat Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan permintaan penyidik dan Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim, serta tidak terdapat bukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika. Lalu, hakim dalam menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi harus dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan taraf kecanduan terdakwa sehingga dalam hal ini maka keberadaan keterangan ahli menjadi wajib adanya. Di dalam pemeriksaan di persidangan, hakim juga dapat memerintahkan terdakwa agar menghadirkan keluarga terdakwa dan pihak terkait untuk didengar keterangannya sebagai saksi yang meringankan dalam rangka pendekatan restorative justice.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat diketahui bersama bahwa dalam penerapan restorative justice, hukum sebagai alat kontrol sosial yang senantiasa berkembang mengikuti perkembangan masyarakatnya memiliki sifat remedial yang bertujuan mengembalikan situasi pada keadaan semula. Sebagaimana adagium hukum yang berbunyi judex herbere debet duos sales, salem sapientiae, ne sit insipidus, et salem conscientie, ne sit diabolus yang maknanya “seorang hakim harus mempunyai dua hal; suatu kebijakan, kecuali dia bodoh; dan hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam”, maka tujuan dari penerapan restorative justice tidaklah hanya mementingkan pembalasan bagi pelaku tindak pidana sedang ia mengesampingkan penyelesaian yang adil bagi kedua belah pihak. Namun, hendaknya seorang hakim yang baik turut mempertimbangkan kepentingan korban dengan mengutamakan pemulihan kembali kepada keadaan semula.

Restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana hadir sebagai jawaban atas beberapa kelemahan yang dimiliki oleh proses peradilan pidana konvensional. Pada tahap penuntutan, penuntut umum berperan dalam proses penyelesaian secara restorative justice dengan berperan sebagai fasilitator yang mempertemukan pihak pelaku dan korban serta mencoba mendamaikannya. Proses restorative justice memungkinkan korban dan pelaku untuk bertemu, dan terlibat langsung dalam mencari penyelesaian terhadap masalah yang mereka hadapi. Kemudian dengan adanya alternatif penyelesaian perkara menggunakan restorative justice, perkara pidana yang relatif ringan dapat diselesaikan dengan cepat tanpa harus melewati proses peradilan pidana yang tidak efisien waktu.


Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Barda Nawawi Arief, 2000. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2023, Dashboard Kumham.

Eka Fitri Andriyanti. 2020. “Urgensitas Implementasi Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Indonesia. Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Surabaya”.

Eva Achjani Zulfa. 2011. “Restorative Justice In Indonesia: Traditional Value”. Fakultas Hukum Indonesia.

Flora. 2018. “Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Dan Pengaruhnya Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”. Bengkulu: University Of Bengkulu Law Journal.

G. Widiartana. 2017.“Paradigma Keadilan Restoratif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Menggunakan Hukum Pidana”. Fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta.

John Braithwaite. 2002. Restorative Justice And Responsive Regulation, New York: Oxford University Press.

M. Yahya Harahap, 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni.

Rudi Rizky, 2008. Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Jakarta: Perum Percetakan Negara Indonesia.

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Perspektif Teori Hukum Feminis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Ketidakadilan Gender Pada Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan)

  PERSPEKTIF TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (KETIDAKADILAN GENDER PADA HAK ASASI...