Pelaksanaan Hukum Positif dalam Perspektif Memberi Rasa Aman Sebagai Tugas daripada Hukum (Perlindungan pada Korban Kekerasan Seksual Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)
2.1
Pelaksanaan Hukum Positif (UU TPKS) dalam Perspektif Memberi Rasa Aman
Penyusunan
draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dilakukan
pada tahun 2014 lalu, yang dilakukan dengan berbagai proses dimulai dari proses
diskusi, dialog dan penyelenggaraan berbagai fakta dan teori. Pada tahun 2016
bulan mei pertama kalinya RUU PKS dibahas di DPR RI. RUU PKS hadir karena kasus
kekerasan seksual perempuan dan anak yang semakin bertambah serta semakin
meningkatnya pelaporan kekerasan seksual yang tidak diselesaikan dengan tuntas
karena tidak adanya landasan hukum yang menjadi dasar dan memiliki substansi
tepat terhadap persoalan kekerasan seksual. Setelah diskusi yang dilaksanakan
oleh para stakeholders terkait meliputi Komnas Perempuan, para pakar, dan MUI
maka RUU PKS mengalami pergantian nama menjadi RUU TPKS.
Pengaturan
hak-hak korban kekerasan seksual dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022
tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) membawa perspektif baru dalam
penegakan hukum kasus kekerasan seksual. Selama ini, penegakan hukum kasus
kekerasan seksual lebih menekankan pada aspek pemidanan pelaku dan kurang
memperhatikan pemenuhan hak korban.[1]
Dengan
menggunakan nama RUU PKS yang mengandung kata kekerasan dinilai menjadi hal
yang berpotensi menimbulkan problematika. Oleh karena itu pergantian nama akan
berpengaruh pada isi RUU, wakil Ketua Komisi VIII DPR yang bertugas membahas
permasalahan ini mengajukan nama baru yaitu „RUU Penghampusan Tindak Pidana
Kekerasan Seksual‟ atau „ RUU Pemberantasan Tindak Kekerasan Seksual”. Pada
bulan Agustus 2021, RUU PKS resmi berubah nama menjadi RUU TPKS yang kemudian
masuk kedalam Proglegnas Prioritas 2022.
Pergantian nama ini diyakini bahwa RUU
TPKS akan menjadi UU yang melindungi dan memberikan keadilan bagi korban dengan
tidak ada batasan dan juga RUU TPKS dianggap sebagai jawaban atas persoalan pro
dan kontra yang menjadi kendala dalam pembahasan RUU PKS. Dengan pergantian
nama tersebut, ada beberapa point-point krusial dalam RUU PKS yang dinilai
mempunyai korelasi dengan hak korban dihapuskan, RUU TPKS dianggap lebih
memfokuskan penindakan pidana dan mengesampingkan aspek hak-hak korban seperti
perlindungan, pemulihan, serta keadilan secara umum. Pasal-pasal yang
dihapuskan berjumlah 85 pasal, beberapa pasal krusial yang dihapus yaitu:
1. Dalam
RUU TPKS bentuk kekerasan seksual ditetapkan menjadi 9 dengan menghilangkan 3
bentuk kekerasan seksual dalam RUU PKS yaitu pemerkosaan, pemaksaan aborsi, dan
pemaksaan pelacuran.
2. Perbedaan
defenisi kekerasan seksual, dalam RUU PKS mencantumkan unsur konsen dan
ketimpangan relasi kuasa sedangkan dalam RUU TPKS hal tersebut ditiadakan.
3. Tentang
pencegahan dalam RUU TPKS memang ada namun rincian tentang pencegahan pada
tingkat pendidikan tidak dijelaskan lebih detail, sedangkan dalam RUU PKS
dijelaskan mengenai bentuk pencegahan tindak kekerasan seksual khusunya dalam
lingkup akademis.
Hingga
pada tahun 2022 RUU TPKS disahkan dan di Undangkan pada 9 Mei 2022. Sejak
disahkannya UU TPKS, para korban menjadi lebih terlindungi. Secara keseluruhan
pasal-pasal dalam UU TPKS memang lebih banyak memberikan keuntungan pada korban
kekerasan seksual. UU TPKS disahkan karena beberapa alasan, yaitu:
1. Tiap-tiap
orangg berhak atas perlindungan dari kekerasannseksual dan berhakkuntuk tidak
mengalami penyiksaannatau tindakan yang merendahkan harkat dan martabatamanusia
sebagaimana dijamin UUD 1945
2. Kekerasan
seksual berlawanan dengan nilai ketuhanan dan nilai manusiawi serta mengganggu
tatanan dan ketentraman social
3. Peraturan
perundang-undangan belum menyeluruh dalamm pencegahan, perlindungan,aakses,
keadilan dan pemulihan, belum mencukupi kebutuhan haklkorban kekerasannSeksual,
serta belum komprehensiffsaat mengatur hukum tersebut.
Sebelum UU TPKS disahkan, masih terdapat
kekurangan dari peraturan perundang-undangan yang sudah ada, namun masih
mengalami progresif terkhusus dalam menyelesaikan tindak pidana yang melihat
kebutuhan perempuan dan anak, mulai dari pendampingan hingga pemberian
restitusi. Dengan disahkannya UU TPKS ini merupakan wujud kehadiran negara
dalam upaya melindungi dan memenuhi hak korban atas penanganan, perlindungan,
dan pemulihan. UU TPKS ini merupakan angin segar bagi perempuan dan anak yang
paling rentan menjadi korban kekerasan seksual yang dapat memberikan
perlindungan yang komprehensif terhadap korban kekerasan seksual dari hulu ke
hilir dengan mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi,
dan pemulihan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitas pelaku,
mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin ketidakberulangan
kekerasan seksual.
2.2
Perlindungan Pada Korban Kekerasan Seksual yang diberikan oleh Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2022 dapat memastikan rasa aman
2.2.1
Pengertian Kekerasan Seksual
Pengertian
Kekerasan Seksual Kekerasan atau violence merupakan istilah yang terdiri dari
dua kata, yaitu “vis” yang berarti (daya, kekuatan) dan “latus” berarti
(membawa), yang kemudian diterjemahkan sebagai membawa kekuatan. Kamus Besar
Bahasa Indonesia memberikan pengertian mengenai kekerasan dalam arti sempit
yaitu hanya mencakup kekerasan fisik. Menurut KBBI kekerasan adalah perbuatan
yang dapat menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain.Pengertian kekerasan secara terminologi
merupakan suatu keadaan dan sifat yang menghancurkan kehidupan manusia.[2]
Manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan mulia menjadi terperosok pada
sifat-sifat kebinatangan. Merusak,menekan, memeras, memperkosa, menteror,
mencuri, membunuh, dan memusnahkan merupakan tindakan yang menodai dan
menghancurkan kemuliaan manusia sebagai makhluk Tuhan.Kekerasan merupakan suatu
tindakan yang mengarah pada tingkah laku yang pada awalnya harus bertentangan
dengan undang-undang, baik hanya berupa ancaman atau sudah berupa tindakan
nyata dan menyebabkan kerusakan terhadap harta benda, fisik atau dapat
mengakibatkan kematian pada seseorang.Yesmil Anwar mengartikan kekerasan
sebagai tindakan yang menggunakan kekuatanfisik dan kekuasaan, ancaman atau
tindakan terhadap diri sendiri, perorangan,sekelompok orang atau masyarakat
yang mengakibatkan memar atau trauma,kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan dan perampasan hak.
Kekerasan
seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau
tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat
seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan
dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang
itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan
relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat
berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual,
kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. [3]
2.2.2 Jenis-Jenis Kekerasan Seksual
Komnas perempuan mengklasifikasikan
jenis kekerasan seksual menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:
a. Pemerkosaan
adalah serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual yang membuat kesakitan
pada korban. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan,
tekanan psikologis, pemyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan
dari lingkungan yang penuh paksaan. Tindakan yang lainnya yaitu pencabulan.
Pencabulan dapat mencakup banyak hal yang berbeda, dari menyentuh korban secara
seksual, memaksa korban menyentuh pelaku secara seksual, hingga memaksa korban
melihat organ tubuh seksual atau kegiatan seksual. Pencabulan pada anakanak
adalah tindakan kriminal.[4]
b. Intimidasi
seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan Merupakan Tindakan yang
menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada
perempuan korban dari intimidasi seksual. Intimidasi seksual juga bisa
disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, whats app,
sms, email, dan lain sebagainya. Ancaman atau percobaan perkosaan juga bagian
dari intimidasi seksual.[5]
c. Pelecehan
seksual merupakan Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan
sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan tersebut termasuk juga
menggunakan siulan-siulan, main mata dengan pandangan yang tidak menyenangkan,
ucapan yang bernuansa seksual, mempertunjukan foto atau gambar purnografi yang
menimbulkan keinginan seksual, mencolek atau menyentuh dibagian daerah tubuh
tertentu, Gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan
rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin
sampai menyebabkan masalah Kesehatan dan keselamatan. Namun, sebagian besar
pelecehan seksual tidak melibatkan perilaku seksual. Kategori ketiga dan yang
paling sering terjadi adalah pelecehan gender: tindakan yang merendahkan orang
lain terkait gender, namun tidak melibatkan ketertarikan seksual.
d. Eksploitasi
seksual merupakan Tindakan penyalahgunaan yang timpang atau penyalahgunaan
kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh keuntungan
dalam bentuk uang, social, politik dan lainnya. Praktik eksploitasi seksual
yang kerap dijumpai yaitu menggunakan derajat ekonomi yaitu kemiskinan pada
perempuan, sehingga perempuan tersebut akan masuk ke dalam prostitusi atau
purnografi. Praktik lainnya adalah Tindakan mengiming-imingi perkawinan untuk
memperoleh layanan seksual dari perempuan, lalu ditelantarakan.[6]
e. Perdagangan
Perempuan untuk tujuan seksual Tindakan perdagangan perempuan dilakukan dengan
merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan
utang, atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung
maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun
eksploitasi sesual lainnya. Perdagangan perempuan juga bisa terjadi di dalam
negara maupun antar negara.
f. Prostituai
pakasa seperti Perbudakan seksual terjadi dengan adanya situasi dimana pelaku
merasa “memiliki” tubuh korban hingga berhak melakukan apapun. Situasi ini
membuat perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan.
g. Perbudakan
Seksual Situasi ini hampir sama dengan prostitusi paksa namun tidak sama
persis. Disini mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anakanak dipaksa
untuk menikah, melayani rumah tangga atau bentuk pekerjaan lainnya, serta
berhubungan seksual dengan penyekapan.[7]
h. Pemaksaan
Perkawinan, termasuk cerai gantung Pemaksaan perkawinan dimasukan sebagai jenis
kekerasan seksual karena pemeriksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak
terpisahkan dari perkawinan yang tidak di inginkan.
i. Pemaksaan
Kehamilan Pemaksaan Kehamilan yaitu merupakan situasi dimana perempuan tersebut
dipaksa dengan menggunakan kekerasan maupun ancaman untuk melanjutkan kehamilan
yang tidak diinginkan. Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban
pemerkosaan yang tidak diberikan pilihan lain, harus melanjutkan kehamilannya
tanpa memperhatikan kondisi atau perasaan Wanita tersebut.[8]
j. Pemaksaan
Aborsi Melakukan pengguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan,
ancaman, maupun, paksaan dari pihak luar.
k. Purnografi
Tindakan seksual yang melibatkan anak-anak, seperti dengan mengajak untuk melakukan
memfoto dan memvideo anak dalam media apapun, dilakukan sendiri atau
Bersama-sama dengan orang dewasa tanpa memperdulikan izin dari orang tua atau
wali anak, serta di sebarkan ke seluruh media.
l. Pnyiksaan
Seksual Penyiksaan seksual merupakan Tindakan khusus menyerang organ dan
seksualitas perempuan, yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa
sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual. Tindakan ini
dilakukan untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang
ke tiga, atau untuk menghukum atas suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh
orang ke tiga.
m. Penghukuman
tidak manusiawi dan bernuansa seksual Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa
seksual merupakan cara menghukum yang dimana menyebabkan penderitaan,
kesakitan, ketakutan atay rasa malu yang luar biasa. Tindakan ini termasuk
hukuman seperti hukum cambuk atau hukuman yang merendahkan martabat manusia
karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan tanpa disertai bukti yang
benar.[9]
n. Eksbisionisme
Eksbisionisme merupakan Tindakan yang mempertontonkan secara tidak senonoh alat
genetalia terhadap orang lain misalnya pria dewasa terhadap anak-anak atau
perempuan dewasa.[10]
o. Pedofilia
ini merupakan aktivitas seksual yang menjadi pilihan orang dewasa terhadap
anakanak yang masuk dalam masa prapuber dalam mencapai kepuasan aktivitas
seksual. Beberapa ciri-ciri dari karakter pedofil yaitu biasanya bersifat
obsesif, posesif, predatori, tekun dan teliti yang berhubungan dengan
pendokumentasian. Pelaku pedofil juga cepat mempelajari aspek kehidupan
korbannya, berupa sekuat tenaga memburu korbannya dengan berbagai cara seperti
dengan mendekati korban, merayu korban, keluarga korban dan masyarakat. Para
pelaku pedofil ini juga cenderung menyimpan dokumentasi korbannya dengan serapi
mungkin.
p. Incest
Kekerasan seksual ini dilakukan oleh orang terdekat yang dikenal oleh korban
atau yang masih memiliki hubungan darah atau kerabat. Pelaku kekerasan seksual
Sebagian besar yaitu orang-orang terdekat korban seperti orang tuanya ( ayah )
angkat atau sambung, kakak sambung orang dewasa yang masih kerabat dekat
seperti paman dari korban. Perilaku ini sangat ditentang oleh agama dan
kebudayaan.[11]
Grafik di atas bersumber dari pengaduan kepada Lembaga
layanan yang terdiri dari pemerintah dan Lembaga swadaya masyarakat. Dalam
pengkategorian kekerasan, kepolisian menggunakan KUHP dengan menggunakan
istilah persetubuhan, pencabulan. Sementara dari lembaga layanan lainnya sudah
mengkategorikan berdasarkan bentukbentuk kekerasan seksual seperti pelecehan
seksual, pemerkosaan, dan kekerasan seksual. Selain itu, pelecehan seksual dan
perkosaan adalah yang tertinggi pertama dan kedua sebagai kekerasan di ranah
publik, diikuti dengan penganiayaan, trafiking dan kekerasan seksual serta
pencabulan. Hal ini menunjukkan kekerasan terhadap perempuan di ranah publik
terkait dengan seksualitas perempuan. Ruang yang aman bagi perempuan hampir
tidak ada baik di ruang personal maupun publik, baik dalam kasus yang tidak diketahui
orang lain maupun disaksikan oleh publik.[12]
Bentuk Kekerasan Berdasarkan Data Komnas Perempuan dan
Data Lembaga Layanan terlihat data gabungan dari lembaga layanan dan Komnas
Perempuan yang menjelaskan bahwa persentase kekerasan fisik (32%) paling
dominan, diikuti seksual (30%), dan kekerasan psikis (24%). Kekerasan ekonomi
paling sedikit (6%) dilaporkan oleh perempuan korban.
2.2.3 Hak-Hak Korban Kekerasan Seksual dalam
Memberikan Perlindungan dan Rasa Aman.
Berikut ini hak
korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual yakni Penanganan, Perlindungan, dan
Pemulihan. Hak tersebut meliputi:
a. Hak Penanganan merupakan hak yang
dimiliki atas tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan pengaduan,
kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan
reintegrasi sosial. Hak penanganan meliputi: Hak atas informasi terhadap
seluruh proses dan hasil Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan, Hak
mendapatkan dokumen hasil Penanganan, Hak atas layanan hukum, Hak atas penguatan
psikologis, Hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan
perawatan medis, Hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus
Korban, dan Hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan
seksual dengan media elektronik.[13]
b. Hak Perlindungan merupakan upaya
pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi
dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban atau lembaga lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak
perlindungan dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini meliputi: penyediaan
informasi mengenai hak dan fasilitas Perlindungan, penyediaan akses terhadap
informasi penyelenggaraan Perlindungan, Perlindungan dari ancaman atau
kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan, Perlindungan atas
kerahasiaan identitas, Perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak
hukum yang merendahkan Korban, Perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi
pekerjaan, pendidikan, atau akses politik, dan Perlindungan Korban dan/ atau
pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas Tindak Pidana Kekerasan
Seksual telah dilaporkan.[14]
c. Hak Pemulihan merupakan seluruh upaya
untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual dan sosial korban. Hak
pemulihan dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini meliputi: Rehabilitasi
medis, Rehabilitasi mental dan sosial; pemberdayaan social, Restitusi dan/ atau
kompensasi; dan reintegrasi sosial. Selain itu, korban penyandang disabilitas
juga berhak mendapatkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk pemenuhan
haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan
lain.[15] Mmenurut Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS Pemulihan bagi korban selama proses hukum
berlangsung juga dibedakan atas 2 yakni :
1) Pemulihan Korban sebelum
dan selama proses peradilan meliputi: penyediaan layanan kesehatan untuk
pemulihan fisik, penguatan psikologis, pemberian informasi tentang hak korban
dan proses peradilan, pemberian informasi tentang layanan pemulihan bagi
korban, pendampingan hukum, pemberian aksesibilitas dan akomodasi yang layak
bagi korban penyandang disabilitas, penyediaan bantuan transportasi, konsumsi,
biaya hidup sementara, dan tempat kediaman sementara yang layak dan aman,
penyediaan bimbingan rohani dan spiritual, penyediaan fasilitas pendidikan bagi
korban, penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang
dibutuhkan oleh korban, hak atas informasi dalam hal narapidana telah selesai
menjalani hukuman dan hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus
kekerasan seksual dengan sarana elektronik.
2) Pemulihan
Korban setelah proses peradilan meliputi: Pemantauan, pemeriksaan, serta
pelayanan kesehatan fisik & psikologis korban secara berkala &
berkelanjutan, penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban,
pendampingan penggunaan restitusi dan/atau kompensasi, penyediaan dokumen
kependudukan dan dokumen pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh korban,
penyediaan layanan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan& bantuan sosial
lainnya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan penilaian tim terpadu, pemberdayaan
ekonomi, dan Penyediaan kebutuhan lain berdasarkan hasil identifikasi UPTD PPA
dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.[16]
Berikut ini hak Keluarga korban Tindak Pidana Kekerasan
Seksual yakni meliputi, Hak Keluarga Korban Menurut Pasal 71 UU Tindak Pidana
Kekerasan Seksual, keluarga korban memiliki hak dari negara. Hak Keluarga
Korban dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual meliputi: Hak atas
informasi tentang Hak Korban, hak Keluarga Korban, dan proses peradilan pidana
sejak dimulai pelaporan hingga selesai masa pidana yang dijalani terpidana; Hak
atas kerahasiaan identitas; Hak atas keamanan pribadi serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan; Hak
untuk tidak dituntut pidana dan tidak digugat perdata atas laporan Tindak
Pidana Kekerasan Seksual; Hak asuh terhadap Anak yang menjadi Korban, kecuali
haknya dicabut melalui putusan pengadilan; Hak mendapatkan penguatan
psikologis; Hak atas pemberdayaan ekonomi; dan Hak untuk mendapatkan dokumen
kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh Keluarga Korban.[17]
Demikian penjelasan terkait hak korban dan keluarga korban
Tindak Pidana Kekerasan Seksual berdasarkan peraturan perundang-undangan yakni
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual.
2.3 Kendala yang Mungkin Dihadapi Dalam Implementasi
Hukum Positif Untuk Mencapai Tujuan Memberikan Rasa Aman Bagi Korban Kekerasan
Seksual.
Masyarakat yang sedang berjuang mencari
keadilan menghadapi kasus kekerasan seksual hingga saat ini masih menghadapi
banyak kesulitan. Para korban seksual terkadang merasa di anak tirikan di dalam
penegakan hukum dalam penyelesaian permasalahan hukum yang tengah di hadapi
oleh korban-korban pelaku korban seksual. Seharusnya dengan hadir nya Undang
Undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan
rasa aman bagi para korban kekerasan Seksual, bukannya malah membuat para
korban seksual kebingungan ataupun takut melaporkan peristiwa hukum yang di
derita oleh para Korban kekerasan seksual. Dan sudah seharusnya para pemangku kebijakan
atau para instansi terkait saling bahu membahu mencari solusi bagi para pencari
keadilan terhadap tindak kekerasan seksual yang di derita para korban, agar
mendapatkan keadilan dan rasa aman demi bagi para korban kekerasan seksual.
Ada beberapa kendala dalam pelaksanaan
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan seksual yang mengkin akan terjadi demi
tercapainya rasa aman dan rasa keadilan dalam penegakan hukum bagi korban
kekerasan seksual di antara lain :
a.
Victim blaming
Victim
Blaming atau
menyalahkan korban adalah tindakan merendahkan korban kejahatan atau kecelakaan
dengan cara turut menuntut korban bertanggung jawab atas seluruh atau sebagian
kejahatan yang menimpa mereka.
Beberapa korban kejahatan mungkin menerima lebih banyak
simpati dari masyarakat, sementara yang lainnya justru mengalami Victim Blaming. Ini bisa terjadi
akibat adanya kesalahpahaman yang membuat masyarakat percaya bahwa korban
pantas mengalami peristiwa buruk yang menimpanya. Kondisi ini bisa menjadi hal
yang menyulitkan bagi para korban apabila mereka dipersalahkan atas kejahatan
yang menimpa dirinya.[18]
b.
Kurangnya Kesadasaran dan Pengetahuan
Salah satu hambatan dalam Pelaksanaan
Hukum Positif untuk mendapat rasa aman bagi korban pelecehan seksual adalah
karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang kekerasan seksual, hak korban,
dan cara melapor dapat menjadi hambatan. Kesadaran yang rendah mengenai
pentingnya melaporkan kejadian kekerasan seksual juga dapat membuat korban ragu
untuk mengambil langkah hukum
c. Ketidakpercayaan
terhadap sistem hukum
Ketidakpercayaan dalam penegakkan hukum
oleh sistem penegakkan hukum di Indonesia, terkadang menyebabkan penurunan
kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan penegakan hukum
merupakan salah satu fenomena yang sangat banyak terjadi. Faktor penyebabkan
penurunan kepercayaan bagi korban kekerasan seksual adalah sebagai contoh
akibat lamban penyelesaian permasalahan hukum yang menimpa korban tindak pidana
kekerasan seksual.
d.
Dampak Traumatik.
Kekerasan demi kekerasan yang dialami
oleh perempuan ternyata meninggalkan dampak traumatik yang sangat berat. Pada
umumnya korban merasa cemas, stres, depresi, trauma serta menyalahkan diri
sendiri. Sedangkan akibat fisik yang ditimbulkan adalah memar, patah tulang,
kerusakan bagian tubuh bahkan kematian. Walaupun perempuan (istri) sebagai
korban kekerasan, mereka cenderung bertahan. Hal ini disebabkan karena istri
dalam situasi yang terancam, tidak ada tempat berlindung, untuk kepentingan
anak, takut dicerca masyarakat karena aib akan ditimpakan pada perempuan, serta
alasan demi mempertahankan perkawinan.[19]
Atas dasar ini lah banyak sekali Korban Kekerasan dalam rumah tangga maupun
kekerasan seksual terkadang takut melaporkan Tindakan kekerasan tersebut kepada
penegak hukum, sehingga tidak jarang mereka pasif terhadap hukum dan tidak
percaya akan adanya hukum yang berlaku di Indonesia
e. Relasi
Kuasa
Kekerasan seksual merupakan istilah
yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang,
merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya
kekerasan seksual merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan
seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat
serius yang membutuhkan perhatian. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan
yang mencakup pelecehan seksual hingga perbuatan memaksa seseorang untuk
melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau di saat korban tidak
menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak
wajar atau tidak disukai korban serta menjauhkan (mengisolasi) dari kebutuhan
seksualnya. Budaya patriarki merupakan sumber dari perilaku bias gender, dimana
perilaku tersebut memberikan hak istimewa pada laki-laki dan menempatkan
perempuan pada posisi yang dapat dikendalikan.[20]
Pengendalian tersebut dapat berupa
pembatasan ruang, penetapan posisi, dan perilaku. Nilai patriarki yang
merupakan refleksi dari nilai sosial, budaya, dan agama tersebut berpengaruh
pada penghargaan terhadap perempuan, sehingga sering terjadi adanya perlakuan-
perlakuan yang sifatnya merendahkan perempuan baik secara fisik maupun
psikologis. Peningkatan angka kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan
tersebut diakibatkan oleh adanya budaya patriarki dan sikap permisif yang ada
di masyarakat. Perempuan rentan mengalami tindak kekerasan seksual disebabkan
oleh adanya tata nilai di masyarakat yang mendudukan perempuan pada posisi
subordinasi, marginalisasi, dikuasai, dan dieksploitasi.
Kekerasan seksual tidak bisa
dipungkiri terjadi dimana saja, kapan saja dan siapa saja, hal tersebut
dikarenakan adanya kesempatan serta dimungkinkan atas adanya ketimpangan kuasa
untuk melakukan kekerasan seksual. Terdapat dua unsur atas pengertian relasi
kuasa yaitu sifat yang hierarkis dan ketergantungan, dalam sifat yang hierarkis
tersebut terdapat posisi individu yang lebih rendah dan lebih tinggi dalam
suatu kelompok atau tanpa adanya kelompok. Pada sifat ketergantungan memiliki
makna bahwa seseorang bergantung dengan orang lain dikarenakan status sosial,
budaya, pengetahun, Pendidikan dan/atau ekonomi.[21]
Dari
uraian di atas, dapat kita simpulkan ada beberapa fakta yang menjadi kendala tercapainya
implementasi pelaksanaan terhadap Undang Undang No. 12 tahun 2022 tentang
tindak pidana kekerasasn seksual, sehingga para pencari keadilan atau para
korban kekerasan seksual sulit atau tidak mendapatkan penyelesaian hukum
terhadap masalah yang di hadapi. Beberapa kendala yang mereka jumpa dalam
pelaksanaan Undang-Undang tersebut adalah factor Victim blaming, factor Kurangnya Kesadasaran dan
Pengetahuan, factor Ketidakpercayaan terhadap sistem hukum, faktor dampak Traumatik dan relasi kuasa.
[1]https://banten.kemenkumham.go.id/berita-kanwil/berita-utama/9830-corporate-university-jenis-jenis-tindak-pidana-kekerasan-seksual-menurut-undang-undang-no-12-tahun-2022, (diakses pada tanggal 14 November
2023, Pukul 11.57 WIB).
[2] Andika Wijaya, Darurat
Kejahatan Seksual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 100.
[3] Kurnia Indriyanti Purnama Sari dkk,
Kekerasan Seksual (Kota Bandung: CV Media Sains Indonesia, 2020), hlm.
43.
[4] Ibid., hlm. 49.
[5] Ibid., hlm. 50.
[6] Ibid..
[7] Ibid., hlm. 51.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 52.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 53.
[12] Catatan Tahunan Komnas Perempuan
(CATAHU), https://komnasperempuan.go.id/download-file/986, di Akses Pada 14 November 2023
pukul 14.00 WIB.
[13] Ibid.
[14] Iva Kasuma, Melawan Kekerasan
Seksual di Lingkungan Pendidikan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2020), hlm. 25.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] https://www.sehatq.com/artikel/sering-dialami-oleh-korban-apa-itu-victim-blaming, (Diakses pada tanggal 14 November
2023, pukul 14.50 WIB).
[19]
Mufidah Ch,.
dkk, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan. (Malang: Pilar Media, 2006),
h.13-14.
[20] Mulida H. Syaiful Tency dan Ibnu
Elmi, Kekerasan Seksual dan Perceraian (Malang: Intimedia, 2009), hlm. 17
[21] Dhia Al Uyun, dkk, Kampus dan
Kekerasan Seksual, (Malang: Media Nusa Creative, 2022), hlm. 52-53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar