Kamis, 07 November 2024

Pelaksanaan Hukum Positif dalam Perspektif Memberi Rasa Aman Sebagai Tugas daripada Hukum (Perlindungan pada Korban Kekerasan Seksual Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual)

 

Pelaksanaan Hukum Positif dalam Perspektif Memberi Rasa Aman Sebagai Tugas daripada Hukum (Perlindungan pada Korban Kekerasan Seksual Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) 

2.1 Pelaksanaan Hukum Positif (UU TPKS) dalam Perspektif Memberi Rasa Aman

                        Penyusunan draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dilakukan pada tahun 2014 lalu, yang dilakukan dengan berbagai proses dimulai dari proses diskusi, dialog dan penyelenggaraan berbagai fakta dan teori. Pada tahun 2016 bulan mei pertama kalinya RUU PKS dibahas di DPR RI. RUU PKS hadir karena kasus kekerasan seksual perempuan dan anak yang semakin bertambah serta semakin meningkatnya pelaporan kekerasan seksual yang tidak diselesaikan dengan tuntas karena tidak adanya landasan hukum yang menjadi dasar dan memiliki substansi tepat terhadap persoalan kekerasan seksual. Setelah diskusi yang dilaksanakan oleh para stakeholders terkait meliputi Komnas Perempuan, para pakar, dan MUI maka RUU PKS mengalami pergantian nama menjadi RUU TPKS.

Pengaturan hak-hak korban kekerasan seksual dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) membawa perspektif baru dalam penegakan hukum kasus kekerasan seksual. Selama ini, penegakan hukum kasus kekerasan seksual lebih menekankan pada aspek pemidanan pelaku dan kurang memperhatikan pemenuhan hak korban.[1]

                        Dengan menggunakan nama RUU PKS yang mengandung kata kekerasan dinilai menjadi hal yang berpotensi menimbulkan problematika. Oleh karena itu pergantian nama akan berpengaruh pada isi RUU, wakil Ketua Komisi VIII DPR yang bertugas membahas permasalahan ini mengajukan nama baru yaitu „RUU Penghampusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual‟ atau „ RUU Pemberantasan Tindak Kekerasan Seksual”. Pada bulan Agustus 2021, RUU PKS resmi berubah nama menjadi RUU TPKS yang kemudian masuk kedalam Proglegnas Prioritas 2022.

Pergantian nama ini diyakini bahwa RUU TPKS akan menjadi UU yang melindungi dan memberikan keadilan bagi korban dengan tidak ada batasan dan juga RUU TPKS dianggap sebagai jawaban atas persoalan pro dan kontra yang menjadi kendala dalam pembahasan RUU PKS. Dengan pergantian nama tersebut, ada beberapa point-point krusial dalam RUU PKS yang dinilai mempunyai korelasi dengan hak korban dihapuskan, RUU TPKS dianggap lebih memfokuskan penindakan pidana dan mengesampingkan aspek hak-hak korban seperti perlindungan, pemulihan, serta keadilan secara umum. Pasal-pasal yang dihapuskan berjumlah 85 pasal, beberapa pasal krusial yang dihapus yaitu:

1.      Dalam RUU TPKS bentuk kekerasan seksual ditetapkan menjadi 9 dengan menghilangkan 3 bentuk kekerasan seksual dalam RUU PKS yaitu pemerkosaan, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan pelacuran.

2.      Perbedaan defenisi kekerasan seksual, dalam RUU PKS mencantumkan unsur konsen dan ketimpangan relasi kuasa sedangkan dalam RUU TPKS hal tersebut ditiadakan.

3.      Tentang pencegahan dalam RUU TPKS memang ada namun rincian tentang pencegahan pada tingkat pendidikan tidak dijelaskan lebih detail, sedangkan dalam RUU PKS dijelaskan mengenai bentuk pencegahan tindak kekerasan seksual khusunya dalam lingkup akademis.

                        Hingga pada tahun 2022 RUU TPKS disahkan dan di Undangkan pada 9 Mei 2022. Sejak disahkannya UU TPKS, para korban menjadi lebih terlindungi. Secara keseluruhan pasal-pasal dalam UU TPKS memang lebih banyak memberikan keuntungan pada korban kekerasan seksual. UU TPKS disahkan karena beberapa alasan, yaitu:

1.      Tiap-tiap orangg berhak atas perlindungan dari kekerasannseksual dan berhakkuntuk tidak mengalami penyiksaannatau tindakan yang merendahkan harkat dan martabatamanusia sebagaimana dijamin UUD 1945

2.      Kekerasan seksual berlawanan dengan nilai ketuhanan dan nilai manusiawi serta mengganggu tatanan dan ketentraman social

3.      Peraturan perundang-undangan belum menyeluruh dalamm pencegahan, perlindungan,aakses, keadilan dan pemulihan, belum mencukupi kebutuhan haklkorban kekerasannSeksual, serta belum komprehensiffsaat mengatur hukum tersebut.

Sebelum UU TPKS disahkan, masih terdapat kekurangan dari peraturan perundang-undangan yang sudah ada, namun masih mengalami progresif terkhusus dalam menyelesaikan tindak pidana yang melihat kebutuhan perempuan dan anak, mulai dari pendampingan hingga pemberian restitusi. Dengan disahkannya UU TPKS ini merupakan wujud kehadiran negara dalam upaya melindungi dan memenuhi hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. UU TPKS ini merupakan angin segar bagi perempuan dan anak yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual yang dapat memberikan perlindungan yang komprehensif terhadap korban kekerasan seksual dari hulu ke hilir dengan mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan pemulihan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitas pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.

 

   2.2 Perlindungan Pada Korban Kekerasan Seksual yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 dapat memastikan rasa aman

            2.2.1   Pengertian Kekerasan Seksual

                        Pengertian Kekerasan Seksual Kekerasan atau violence merupakan istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu “vis” yang berarti (daya, kekuatan) dan “latus” berarti (membawa), yang kemudian diterjemahkan sebagai membawa kekuatan. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian mengenai kekerasan dalam arti sempit yaitu hanya mencakup kekerasan fisik. Menurut KBBI kekerasan adalah perbuatan yang dapat menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.Pengertian kekerasan secara terminologi merupakan suatu keadaan dan sifat yang menghancurkan kehidupan manusia.[2] Manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan mulia menjadi terperosok pada sifat-sifat kebinatangan. Merusak,menekan, memeras, memperkosa, menteror, mencuri, membunuh, dan memusnahkan merupakan tindakan yang menodai dan menghancurkan kemuliaan manusia sebagai makhluk Tuhan.Kekerasan merupakan suatu tindakan yang mengarah pada tingkah laku yang pada awalnya harus bertentangan dengan undang-undang, baik hanya berupa ancaman atau sudah berupa tindakan nyata dan menyebabkan kerusakan terhadap harta benda, fisik atau dapat mengakibatkan kematian pada seseorang.Yesmil Anwar mengartikan kekerasan sebagai tindakan yang menggunakan kekuatanfisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan,sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan memar atau trauma,kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan dan perampasan hak.

                        Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. [3]

            2.2.2   Jenis-Jenis Kekerasan Seksual

        Komnas perempuan mengklasifikasikan jenis kekerasan seksual menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:

a.    Pemerkosaan adalah serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual yang membuat kesakitan pada korban. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, pemyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Tindakan yang lainnya yaitu pencabulan. Pencabulan dapat mencakup banyak hal yang berbeda, dari menyentuh korban secara seksual, memaksa korban menyentuh pelaku secara seksual, hingga memaksa korban melihat organ tubuh seksual atau kegiatan seksual. Pencabulan pada anakanak adalah tindakan kriminal.[4]

b.   Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan Merupakan Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan korban dari intimidasi seksual. Intimidasi seksual juga bisa disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, whats app, sms, email, dan lain sebagainya. Ancaman atau percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.[5]

c.    Pelecehan seksual merupakan Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan tersebut termasuk juga menggunakan siulan-siulan, main mata dengan pandangan yang tidak menyenangkan, ucapan yang bernuansa seksual, mempertunjukan foto atau gambar purnografi yang menimbulkan keinginan seksual, mencolek atau menyentuh dibagian daerah tubuh tertentu, Gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah Kesehatan dan keselamatan. Namun, sebagian besar pelecehan seksual tidak melibatkan perilaku seksual. Kategori ketiga dan yang paling sering terjadi adalah pelecehan gender: tindakan yang merendahkan orang lain terkait gender, namun tidak melibatkan ketertarikan seksual.

d.   Eksploitasi seksual merupakan Tindakan penyalahgunaan yang timpang atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, social, politik dan lainnya. Praktik eksploitasi seksual yang kerap dijumpai yaitu menggunakan derajat ekonomi yaitu kemiskinan pada perempuan, sehingga perempuan tersebut akan masuk ke dalam prostitusi atau purnografi. Praktik lainnya adalah Tindakan mengiming-imingi perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, lalu ditelantarakan.[6]

e.    Perdagangan Perempuan untuk tujuan seksual Tindakan perdagangan perempuan dilakukan dengan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi sesual lainnya. Perdagangan perempuan juga bisa terjadi di dalam negara maupun antar negara.

f.     Prostituai pakasa seperti Perbudakan seksual terjadi dengan adanya situasi dimana pelaku merasa “memiliki” tubuh korban hingga berhak melakukan apapun. Situasi ini membuat perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan.

g.   Perbudakan Seksual Situasi ini hampir sama dengan prostitusi paksa namun tidak sama persis. Disini mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anakanak dipaksa untuk menikah, melayani rumah tangga atau bentuk pekerjaan lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapan.[7]

h.   Pemaksaan Perkawinan, termasuk cerai gantung Pemaksaan perkawinan dimasukan sebagai jenis kekerasan seksual karena pemeriksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak di inginkan.

i.     Pemaksaan Kehamilan Pemaksaan Kehamilan yaitu merupakan situasi dimana perempuan tersebut dipaksa dengan menggunakan kekerasan maupun ancaman untuk melanjutkan kehamilan yang tidak diinginkan. Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban pemerkosaan yang tidak diberikan pilihan lain, harus melanjutkan kehamilannya tanpa memperhatikan kondisi atau perasaan Wanita tersebut.[8]

j.     Pemaksaan Aborsi Melakukan pengguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun, paksaan dari pihak luar.

k.   Purnografi Tindakan seksual yang melibatkan anak-anak, seperti dengan mengajak untuk melakukan memfoto dan memvideo anak dalam media apapun, dilakukan sendiri atau Bersama-sama dengan orang dewasa tanpa memperdulikan izin dari orang tua atau wali anak, serta di sebarkan ke seluruh media.

l.     Pnyiksaan Seksual Penyiksaan seksual merupakan Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual. Tindakan ini dilakukan untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ke tiga, atau untuk menghukum atas suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh orang ke tiga.

m. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual merupakan cara menghukum yang dimana menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan atay rasa malu yang luar biasa. Tindakan ini termasuk hukuman seperti hukum cambuk atau hukuman yang merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan tanpa disertai bukti yang benar.[9]

n.   Eksbisionisme Eksbisionisme merupakan Tindakan yang mempertontonkan secara tidak senonoh alat genetalia terhadap orang lain misalnya pria dewasa terhadap anak-anak atau perempuan dewasa.[10]

o.   Pedofilia ini merupakan aktivitas seksual yang menjadi pilihan orang dewasa terhadap anakanak yang masuk dalam masa prapuber dalam mencapai kepuasan aktivitas seksual. Beberapa ciri-ciri dari karakter pedofil yaitu biasanya bersifat obsesif, posesif, predatori, tekun dan teliti yang berhubungan dengan pendokumentasian. Pelaku pedofil juga cepat mempelajari aspek kehidupan korbannya, berupa sekuat tenaga memburu korbannya dengan berbagai cara seperti dengan mendekati korban, merayu korban, keluarga korban dan masyarakat. Para pelaku pedofil ini juga cenderung menyimpan dokumentasi korbannya dengan serapi mungkin.

p.   Incest Kekerasan seksual ini dilakukan oleh orang terdekat yang dikenal oleh korban atau yang masih memiliki hubungan darah atau kerabat. Pelaku kekerasan seksual Sebagian besar yaitu orang-orang terdekat korban seperti orang tuanya ( ayah ) angkat atau sambung, kakak sambung orang dewasa yang masih kerabat dekat seperti paman dari korban. Perilaku ini sangat ditentang oleh agama dan kebudayaan.[11]

         

Grafik di atas bersumber dari pengaduan kepada Lembaga layanan yang terdiri dari pemerintah dan Lembaga swadaya masyarakat. Dalam pengkategorian kekerasan, kepolisian menggunakan KUHP dengan menggunakan istilah persetubuhan, pencabulan. Sementara dari lembaga layanan lainnya sudah mengkategorikan berdasarkan bentukbentuk kekerasan seksual seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, dan kekerasan seksual. Selain itu, pelecehan seksual dan perkosaan adalah yang tertinggi pertama dan kedua sebagai kekerasan di ranah publik, diikuti dengan penganiayaan, trafiking dan kekerasan seksual serta pencabulan. Hal ini menunjukkan kekerasan terhadap perempuan di ranah publik terkait dengan seksualitas perempuan. Ruang yang aman bagi perempuan hampir tidak ada baik di ruang personal maupun publik, baik dalam kasus yang tidak diketahui orang lain maupun disaksikan oleh publik.[12]

 

Bentuk Kekerasan Berdasarkan Data Komnas Perempuan dan Data Lembaga Layanan terlihat data gabungan dari lembaga layanan dan Komnas Perempuan yang menjelaskan bahwa persentase kekerasan fisik (32%) paling dominan, diikuti seksual (30%), dan kekerasan psikis (24%). Kekerasan ekonomi paling sedikit (6%) dilaporkan oleh perempuan korban.

            2.2.3   Hak-Hak Korban Kekerasan Seksual dalam Memberikan Perlindungan dan Rasa Aman.

                                    Berikut ini hak korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual yakni Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan. Hak tersebut meliputi:

a.       Hak Penanganan merupakan hak yang dimiliki atas tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan pengaduan, kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Hak penanganan meliputi: Hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan, Hak mendapatkan dokumen hasil Penanganan, Hak atas layanan hukum, Hak atas penguatan psikologis, Hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis, Hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus Korban, dan Hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik.[13]

b.      Hak Perlindungan merupakan upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak perlindungan dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini meliputi: penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas Perlindungan, penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan Perlindungan, Perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan, Perlindungan atas kerahasiaan identitas, Perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan Korban, Perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik, dan Perlindungan Korban dan/ atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah dilaporkan.[14]

c.       Hak Pemulihan merupakan seluruh upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual dan sosial korban. Hak pemulihan dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini meliputi: Rehabilitasi medis, Rehabilitasi mental dan sosial; pemberdayaan social, Restitusi dan/ atau kompensasi; dan reintegrasi sosial. Selain itu, korban penyandang disabilitas juga berhak mendapatkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk pemenuhan haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.[15] Mmenurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS Pemulihan bagi korban selama proses hukum berlangsung juga dibedakan atas 2 yakni :

1)      Pemulihan Korban sebelum dan selama proses peradilan meliputi: penyediaan layanan kesehatan untuk pemulihan fisik, penguatan psikologis, pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan, pemberian informasi tentang layanan pemulihan bagi korban, pendampingan hukum, pemberian aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi korban penyandang disabilitas, penyediaan bantuan transportasi, konsumsi, biaya hidup sementara, dan tempat kediaman sementara yang layak dan aman, penyediaan bimbingan rohani dan spiritual, penyediaan fasilitas pendidikan bagi korban, penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh korban, hak atas informasi dalam hal narapidana telah selesai menjalani hukuman dan hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan sarana elektronik.

2)      Pemulihan Korban setelah proses peradilan meliputi: Pemantauan, pemeriksaan, serta pelayanan kesehatan fisik & psikologis korban secara berkala & berkelanjutan, penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban, pendampingan penggunaan restitusi dan/atau kompensasi, penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh korban, penyediaan layanan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan& bantuan sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan penilaian tim terpadu, pemberdayaan ekonomi, dan Penyediaan kebutuhan lain berdasarkan hasil identifikasi UPTD PPA dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.[16]

Berikut ini hak Keluarga korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual yakni meliputi, Hak Keluarga Korban Menurut Pasal 71 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, keluarga korban memiliki hak dari negara. Hak Keluarga Korban dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual meliputi:  Hak atas informasi tentang Hak Korban, hak Keluarga Korban, dan proses peradilan pidana sejak dimulai pelaporan hingga selesai masa pidana yang dijalani terpidana; Hak atas kerahasiaan identitas; Hak atas keamanan pribadi serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan; Hak untuk tidak dituntut pidana dan tidak digugat perdata atas laporan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Hak asuh terhadap Anak yang menjadi Korban, kecuali haknya dicabut melalui putusan pengadilan; Hak mendapatkan penguatan psikologis; Hak atas pemberdayaan ekonomi; dan Hak untuk mendapatkan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh Keluarga Korban.[17]

Demikian penjelasan terkait hak korban dan keluarga korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berdasarkan peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

 

2.3  Kendala  yang Mungkin Dihadapi Dalam Implementasi Hukum Positif Untuk Mencapai Tujuan Memberikan Rasa Aman Bagi Korban Kekerasan Seksual.

Masyarakat yang sedang berjuang mencari keadilan menghadapi kasus kekerasan seksual hingga saat ini masih menghadapi banyak kesulitan. Para korban seksual terkadang merasa di anak tirikan di dalam penegakan hukum dalam penyelesaian permasalahan hukum yang tengah di hadapi oleh korban-korban pelaku korban seksual. Seharusnya dengan hadir nya Undang Undang No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan rasa aman bagi para korban kekerasan Seksual, bukannya malah membuat para korban seksual kebingungan ataupun takut melaporkan peristiwa hukum yang di derita oleh para Korban kekerasan seksual. Dan sudah seharusnya para pemangku kebijakan atau para instansi terkait saling bahu membahu mencari solusi bagi para pencari keadilan terhadap tindak kekerasan seksual yang di derita para korban, agar mendapatkan keadilan dan rasa aman demi bagi para korban kekerasan seksual.

Ada beberapa kendala dalam pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan seksual yang mengkin akan terjadi demi tercapainya rasa aman dan rasa keadilan dalam penegakan hukum bagi korban kekerasan seksual di antara lain :

a.      Victim blaming

Victim Blaming atau menyalahkan korban adalah tindakan merendahkan korban kejahatan atau kecelakaan dengan cara turut menuntut korban bertanggung jawab atas seluruh atau sebagian kejahatan yang menimpa mereka.

Beberapa korban kejahatan mungkin menerima lebih banyak simpati dari masyarakat, sementara yang lainnya justru mengalami Victim Blaming. Ini bisa terjadi akibat adanya kesalahpahaman yang membuat masyarakat percaya bahwa korban pantas mengalami peristiwa buruk yang menimpanya. Kondisi ini bisa menjadi hal yang menyulitkan bagi para korban apabila mereka dipersalahkan atas kejahatan yang menimpa dirinya.[18]

b.      Kurangnya Kesadasaran dan Pengetahuan

Salah satu hambatan dalam Pelaksanaan Hukum Positif untuk mendapat rasa aman bagi korban pelecehan seksual adalah karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang kekerasan seksual, hak korban, dan cara melapor dapat menjadi hambatan. Kesadaran yang rendah mengenai pentingnya melaporkan kejadian kekerasan seksual juga dapat membuat korban ragu untuk mengambil langkah hukum

c.       Ketidakpercayaan terhadap sistem hukum

Ketidakpercayaan dalam penegakkan hukum oleh sistem penegakkan hukum di Indonesia, terkadang menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan penegakan hukum merupakan salah satu fenomena yang sangat banyak terjadi. Faktor penyebabkan penurunan kepercayaan bagi korban kekerasan seksual adalah sebagai contoh akibat lamban penyelesaian permasalahan hukum yang menimpa korban tindak pidana kekerasan seksual.

d.      Dampak Traumatik.

Kekerasan demi kekerasan yang dialami oleh perempuan ternyata meninggalkan dampak traumatik yang sangat berat. Pada umumnya korban merasa cemas, stres, depresi, trauma serta menyalahkan diri sendiri. Sedangkan akibat fisik yang ditimbulkan adalah memar, patah tulang, kerusakan bagian tubuh bahkan kematian. Walaupun perempuan (istri) sebagai korban kekerasan, mereka cenderung bertahan. Hal ini disebabkan karena istri dalam situasi yang terancam, tidak ada tempat berlindung, untuk kepentingan anak, takut dicerca masyarakat karena aib akan ditimpakan pada perempuan, serta alasan demi mempertahankan perkawinan.[19] Atas dasar ini lah banyak sekali Korban Kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual terkadang takut melaporkan Tindakan kekerasan tersebut kepada penegak hukum, sehingga tidak jarang mereka pasif terhadap hukum dan tidak percaya akan adanya hukum yang berlaku di Indonesia

e.       Relasi Kuasa

Kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual hingga perbuatan memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau di saat korban tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban serta menjauhkan (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya. Budaya patriarki merupakan sumber dari perilaku bias gender, dimana perilaku tersebut memberikan hak istimewa pada laki-laki dan menempatkan perempuan pada posisi yang dapat dikendalikan.[20]

Pengendalian tersebut dapat berupa pembatasan ruang, penetapan posisi, dan perilaku. Nilai patriarki yang merupakan refleksi dari nilai sosial, budaya, dan agama tersebut berpengaruh pada penghargaan terhadap perempuan, sehingga sering terjadi adanya perlakuan- perlakuan yang sifatnya merendahkan perempuan baik secara fisik maupun psikologis. Peningkatan angka kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan tersebut diakibatkan oleh adanya budaya patriarki dan sikap permisif yang ada di masyarakat. Perempuan rentan mengalami tindak kekerasan seksual disebabkan oleh adanya tata nilai di masyarakat yang mendudukan perempuan pada posisi subordinasi, marginalisasi, dikuasai, dan dieksploitasi.

Kekerasan seksual tidak bisa dipungkiri terjadi dimana saja, kapan saja dan siapa saja, hal tersebut dikarenakan adanya kesempatan serta dimungkinkan atas adanya ketimpangan kuasa untuk melakukan kekerasan seksual. Terdapat dua unsur atas pengertian relasi kuasa yaitu sifat yang hierarkis dan ketergantungan, dalam sifat yang hierarkis tersebut terdapat posisi individu yang lebih rendah dan lebih tinggi dalam suatu kelompok atau tanpa adanya kelompok. Pada sifat ketergantungan memiliki makna bahwa seseorang bergantung dengan orang lain dikarenakan status sosial, budaya, pengetahun, Pendidikan dan/atau ekonomi.[21]

 

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan ada beberapa fakta yang menjadi kendala tercapainya implementasi pelaksanaan terhadap Undang Undang No. 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasasn seksual, sehingga para pencari keadilan atau para korban kekerasan seksual sulit atau tidak mendapatkan penyelesaian hukum terhadap masalah yang di hadapi. Beberapa kendala yang mereka jumpa dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut adalah factor Victim blaming, factor Kurangnya Kesadasaran dan Pengetahuan, factor Ketidakpercayaan terhadap sistem hukum, faktor dampak Traumatik dan relasi kuasa.

 

 

 

 

 

 

 



[2] Andika Wijaya, Darurat Kejahatan Seksual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 100.

[3] Kurnia Indriyanti Purnama Sari dkk, Kekerasan Seksual (Kota Bandung: CV Media Sains Indonesia, 2020), hlm. 43.

[4] Ibid., hlm. 49.

[5] Ibid., hlm. 50.

[6] Ibid..

[7] Ibid., hlm. 51.

[8] Ibid.

[9] Ibid., hlm. 52.

[10] Ibid.

[11] Ibid., hlm. 53.

[12] Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU), https://komnasperempuan.go.id/download-file/986, di Akses Pada 14 November 2023 pukul 14.00 WIB.

[13] Ibid.

[14] Iva Kasuma, Melawan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020), hlm. 25.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] https://www.sehatq.com/artikel/sering-dialami-oleh-korban-apa-itu-victim-blaming, (Diakses pada tanggal 14 November 2023, pukul 14.50 WIB).

[19] Mufidah Ch,. dkk, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan. (Malang: Pilar Media, 2006), h.13-14.

[20] Mulida H. Syaiful Tency dan Ibnu Elmi, Kekerasan Seksual dan Perceraian (Malang: Intimedia, 2009), hlm. 17

[21] Dhia Al Uyun, dkk, Kampus dan Kekerasan Seksual, (Malang: Media Nusa Creative, 2022), hlm. 52-53.

Tidak ada komentar:

Perspektif Teori Hukum Feminis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Ketidakadilan Gender Pada Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan)

  PERSPEKTIF TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (KETIDAKADILAN GENDER PADA HAK ASASI...