Jumat, 08 November 2024

Perspektif Teori Hukum Feminis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Ketidakadilan Gender Pada Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan)

 PERSPEKTIF TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (KETIDAKADILAN GENDER PADA HAK ASASI MANUSIA BAGI KAUM PEREMPUAN)

1.      Pengaturan dalam Penerapan Hukum Perkawinan di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

a)  Latar Belakang lahirnya Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, Pemerintah memandang perlu adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan bagi semua warga negara Indonesia, sehingga dibuatlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum, kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam. Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[1]

Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR.5Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963). Sebagaimana dikemukakan, berbagai hukum tertulis tentang perkawinan bagi berbagai golongan telah berlaku di Indonesia sebelum adanya hukum perkawinan secara nasional. Bagi golongan bumiputera yang beragama Islam, tuntutan untuk memiliki hukum tertulis tentang perkawinan telah menjadi persoalan sejak masa penjajahan, sebab S. 1895 No. 198 bukanlah peraturan tentang pencatatan perkawinan saja, seperti halnya UU No. 22 Tahun 1946 Jo UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

Pada bulan Maret 1954, RUU Perkawinan Umat Islam telah selesai disusun dan tanggal 19 Juni 1958 RUU Perkawinan tersebut diajukan ke DPR sebagai usulan inisiatif pemerintah. Namun bersamaan dengan itu, muncul RUU Perkawinan (Umum) atas usul inisiatif Ny. Sumari (PNI). Kedua RUU itu bertolak belakang, satu berdasarkan agama, dan yang lainnya berdasarkan faham sekuler. Akan tetapi kedua RUU Perkawinan tersebut tak sempat menjadi UU Tahun 1967 pemerintah mengajukan lagi dua buah RUU Perkawinan kepada DPRGR :

1)      RUU tentang Pernikahan Umat Islam, diajukan oleh Menteri Agama bulan Mei 1967

2)      RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, diajukan oleh Menteri Kehakiman bulan September 1967.

Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah.7 Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut.[2]

Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan.8 Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973. Sebelum RUU tersebut diajukan, tercatat ada beberapa pertemuan yang mendesak segera diungkapkannya UUP, antara lain :

1)      Musyawarah Nasional Kesejahteraan Keluarga tahun 1962 oleh Departemen Sosial.

2)      Konperensi I tahun 1962 oleh Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) Pusat (Departemen Agama).

3)      Seminar Hukum Nasional tahun 1963 oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) bersama Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi).

4)      Tap MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 tentang perlunya segera diadakan UU tentang Perkawinan.[3]

Tahun 1968, kedua RUU tersebut dibicarakan DPRGR, akan tetapi tidak mendapat persetujuan DPRGR. Pemerintah pun menarik kembali kedua RUU tersebut. Tidak disetujuinya kedua RUU tersebut, ditanggapi dengan saran dan pendapat oleh beberapa Organisasi yakni Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) melalui simposiumnya, tanggal 29-1-1972, badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia melalui Sidangnya tanggal 22-2-1972 dan melalui seminar tentang Pengaruh UU terhadap Kemantapan Perkawinan, tahun 1973. Karena tidak mendapat persetujuan DPRGR, pemerintah menyiapkan RUU Perkawinan yang baru, dan pada tanggal 31-7- 1973 RUU Perkawinan yang terdiri 15 bab dan 75 pasal diajukan kepada DPR hasil Pemilu 1971. Tanggal 27-9-1973 Pemerintah dan DPR mengadakan musyawarah mencari kesepakatan untuk menyempurnakan RUU Perkawinan tersebut. Setelah melalui perdebatan yang hangat di DPR dan tanggapan yang panas dari masyarakat Islam terhadap RUU Perkawinan yang bersifat sekuler itu, akhirnya Fraksi ABRI dan Fraksi Persatuan Pembangunan dalam pertemuannya telah membentuk konsensus, antara lain:

1)      Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi ataupun dirubah.

2)      Sebagai Konsekwensi dari point 1, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau dirubah, tegasnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 dan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dijamin kelangsungannya.

3)      Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam Undang-undang ini dihilangkan (didrop).[4]

  Tanggal 22 Desember 1973, setelah mengalami perubahan dan amandemen, RUU Perkawinan disahkan oleh DPR menjadi UU, dan selanjutnya tanggal 2 Januari 1974 diundangkan oleh Presiden menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (LNRI 1974 Nomor 1). Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas). bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal. RUU ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalahmasalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman. dangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973. Pada intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut. Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.17 Sedang rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.

b)  Eksistensi Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

  Undang undang Perkawinan (UUP) harus dipahami sebagai Undang-undang (UU) Nasional yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan yang bulat. UUP merupakan satu kesatuan UU dan satu kesatuan sistem hukum yang bab-bab, pasal-pasal dan ayat-ayatnya tidak boleh ditafsirkan bertentangan satu sama lain. Sesuai dengan sejarahnya, pemahaman dan penafsiran UUP tidak boleh dipertentangkan dengan hukum agama, khususnya hukum Islam. Bahkan mempelajari UUP harus mempunyai latar belakang dan dasar pemahaman terhadap hukum Islam, sebab dalam banyak ketentuannya adalah ajaran/hukum Islam. Memahami UUP dan penafsirannya harus bertumpu pada pandangan wawasan nusantara, artinya UUP sebagai hukum nasional hendaknya dipahami dan dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia yang merupakan satu kesatuan wilayah hukum. UUP adalah mewujudkan hukum nasional yang baru berdasarkan Pancasila, yang merupakan norma-norma hukum yang berwawasan nusantara, karena itu, dalam pemahaman babbab, pasal-pasal dan ayat-ayatnya harus disesuaikan dengan semangat menggantikan ketentuan-ketentuan hukum yang diskriminatif yang diciptakan oleh Pemerintah Belanda.[5]

  UUP merupakan norma hukum nasional di dalam peningkatan pergaulan hidup internasional bangsa dan negara Indonesia. Karenanya, di dalamnya diatur perkawinan di luar dan perkawinan campuran. Disadari bahwa sesuai dengan Azas Bhinneka Tunggal Ika, maka ada perbedaan fundamental antara warga negara Indonesia di dalam hukum. UUP adalah hukum nasional Indonesia di dalam pergaulan Internasional. Yang bertatanan hukum internasional. Karena dalam UUP ada beberapa pasal yang berhubungan dan berkaitan dengan hukum perdata internasional maka harus dipahami dalam konteks hukum internasional privat (Hukum Perdata Internasional).

2.      Perspektif Teori Hukum Feminis dalam Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

a)      Teori Hukum Feminis atau Feminish Legal Theory (FLT)

  Kata feminist dalam berbagai kamus sering diartikan sebagai kata benda (noun) atau kata sifat (adjective) diartikan dengan kata feminism. Feminist merupakan kata sifat (adjective) dan feminism yang berarti teori tentang kesetaraan politik, ekonomi dan social berdasarkan jenis kelamin dan aktivitas yang diorganisasi atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan. Feminism berarti advokasi hak-hak perempuan atas dasar kesetaraan jenis kelamin.[6]

  Feminst Legal Theory atau teori hukum feminis lahir untuk mendobrak tatanan hukum yang timpang karena dunia yang terlampau patriarki. Para feminis ini menyakini bahwa sejarah yang ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan kaum perempuan dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Sejarah itulah yang kemudian telah bias menciptakan konsep-konsep tentang keberadaan manusia, potensi gender dan rekayasa social yang menghasilkan logika, bahasa dan struktur hukum yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut pandang laki-laki tersebut. Feminist Legal Theory merupakan bagian dari studi feminis melandaskan kajian dengan bertitik tolak dari pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan dapat dikatakan sebagai pengalaman particular, karena tidak semua perempuan ini adalah sama, sehingga hal ini bersifat subjektif. Feminist Legal Theory sendiri adalah aliran pemikiran yang memihak kepada perempuan dalam rangka memberdayakan, melindungi dan mengemansipasi perempuan. Disinilah kita dapat melihat bahwa aliran ini bersifat subjektif, bukan objektif sebagaimana hukum yang diusung oleh aliran positivism hukum.[7]

  Teori Hukum Feminis atau Feminist Legal Theory (FLT) muncul pertama pada tahun 1970, sebuah pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap kaum perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum. Para feminis meyakini bahwa sejarah ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan kaum perempuan dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Sejarah buatan laki-laki tersebut telah dengan bias menciptakan konsep-konsep tentang keberadaan manusia, potensi gender dan rekayasa sosial yang menghasilkan bahasa, logika dan struktur hukum yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut pandang laki-laki.

  Hingga sekarang berkembang berbagai gerakan feminis, yaitu; Feminist Traditional, Liberal, Marxis, Sosiologis dan Feminist Radikal. Feminist Traditional menyatakan bahwa perempuan sama rasionalnya dengan kaum laki-laki dan karenanya harus memiliki kesempatan yang sama dalam meilih. Feminist Liberal menentang anggapan bahwa adanya kewenangan kaum laki-laki dan berusaha menghapus perbedaan gender yang disebabkan oleh peraturan perundang-undangan atau hukum, yang sekaligus membuat kaum perempuan mampu bersaing di dalam pasar bebes. Feminist Marxis menganggap bahwa negara bersifat kapitalis, yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja. Dengan hancurnya kapitalisme maka kaum perempuan akan terbebaskan. Feminist Sosiologis, berasusmsi sama mengenai masalahmasalah perempuan, dengan tujuan untuk membebaskan kaum perempuan dengan cara mewujudkan tatanan sosial sosialis. Tak ada pembebasan tanpa sosialisme, mereka menganggap bahwa kaum perempuan akan terbebas jika sistem kepemilikan dihanjurkan. Karenanya mereka memandang bahwa lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan. Feminist Radikal adalah gerakan pembebasan perempuan yang menggugat budaya patriarkhisme dan seksisme yang menonjolkan maskulinitas kaum laki-laki.[8]

  Charlote Bunch seorang aktifis HAM perempuan, menyatakan bahwa saat ini isu-isu perempuan secara konkrit harus menjadi fokus perhatian negara baik pada tingkat nasional, regional maupun tingkat international. Hanya dengan cara tersebut, isu-isu kaum perempuan khususnya isu-isu perkawinan dalam UUP dapat dianggap sebagai masalah negara dan bangsa.[9]

b)  Teori Hukum Feminis Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Pada Pasal Tentang Konsep Poligami, Hak dan Kewajiban serta Kedudukan Suami Istri).

  Para pemikir teori hukum feminis berpendapat bahwa teori hukum yang selama ini ditampilkan oleh para pemikir hukum terlalu mengkonsentrasikan diri pada jurispudence yang patriarkhi. Teoriteori yang ditampilkan dan dicoba untuk memahami adalah teori hukum yang dikembangkan oleh laki-laki dan tentang bagaimana lakilaki berperan sebagai bagian dari warga negara. Selain hukum yang secara umum dipengaruhi oleh pola pikir patriarkhis, teori hukum feminis mengkritik pula peraturan perundang-undangan yang bias gender termasuk UUP. Di Indonesia peraturan perundang-undangan dan penerapannya merupakan refleksi dari pola pikir patriarkhis, yang juga merefleksikan pada bagaimana peraturan perundangan mengatur berbagai permasalahan di dalam masyarakat.

  Di Indonesia, pemberlakuan peraturan sangat dipengaruhi oleh parlemen dimana pengajuan rancangan peraturan baik atas inisiatif parlemen maupun pengajuan dari pemerintah, harus selalu melalui pembicaraan atau pembahasan di parlemen yang akhirnya difinalisasi oleh parlemen pula. Karena itu, parlemenlah yang menjadi wakil dari suara masyarakat yang akan menyetujui atau menolak usulan atas pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, individu-individu di parlemen akan sangat penting dan menentukan dalam pembentukan sebuah peraturan. Misalnya, prosentase kaum perempuan sebagai anggota parlemen untuk periode 2003-2008 hanya mencapai 10%. Ini dapat menggambarkan bagaimana signifikansi keterlibatan kaum perempuan di parlemen dalam perumusan 31 tahun yang lalu pada saat UUP dibentuk.[10]

  Sejak UUP disahkan, banyak kalangan yang menilai kalau UU tersebut masih timpang. Teori Hukum Feminis melihat UU tersebut belum mengadoptif terhadap tuntutan mereka untuk mengangkat hakhak asasi kaum perempuan. Sehingga muncul berbagai suara yang mencoba menggugat berbagai kekurangan dalam UUP tersebut. Munculnya gugatan terhadap UUP disebabkan oleh fakta sehari-hari yang masih menampakkan ketimpangan-ketimpangan gender baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat luas maupun dalam pengadilan (hakim) atau penegak hukum itu sendiri. Ketimpangan-ketimpangan itu antara lain yakni :

1.      Dalam Ketentuan Poligami

Dapat ditemukan pada pasal-pasal yang membicarakan persoalan poligami. Ketentuan poligami diatur dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) butir a, b dan c, dan Pasal 5 ayat (1) butir, a, b dan c, UUP tahun 1974:

·         Pasal 3: (1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

·         Pasal 4: (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undangundang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud pada ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

·         Pasal 5: (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undangundang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anakanak mereka; c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.[11]

Peraturan-peraturan pada pasal 3 ayat 1 dan 2 terjadi inkonsistensi. Ayat (1) menegaskan azas monogami, sedangkan pada ayat (2) memberikan kelonggaran kepada suami untuk berpoligami hingga batas 4 orang isteri. Dan salah satu syarat yang harus dipenuhi suami yang akan mengajukan permohonan poligami adalah persetujuan isteri. Penjelasan terhadap persetujuan isteri dijabarkan dalam pasal 59 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa :

“Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.”

 

Pada pasal-pasal ini sangat jelas menunjukkan betapa lemahnya posisi isteri. Sebab, seandainya isteri menolak memberikan persetujuannya, Pengadilan Agama dengan serta merta dapat mengambil alih kedudukannya sebagai pemberi izin, meski ada kewenangan untuk mengajukan banding atau kasasi. Dalam realitas, umumnya para isteri merasa malu dan berat hati mengajukan banding terhadap keputusan pengadilan menyangkut perkara poligami, apalagi jika isteri berasal dari keluarga yang tidak mampu. Alasan-alasan yang digunakan Undang-Undang Perkawinan dalam memberikan izin poligami kepada suami juga sangat diskriminatif dan mendudukkan kesalahan lebih banyak kepada perempuan. Dalam Pasal 4 ayat 2 UU RI. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UUP) yang berbunyi “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: (a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; (b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Undang-Undang perkawinan membolehkan poligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu. Jelas karena asas yang dianut oleh Undang-Undang perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka atau monogami yang tidak bersifat mutlak. Menurut Yahya Harahap, poligami ditempatkan pada status hukum darurat, atau dalam keadaan yang luar biasa. Disamping itu, poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas izin dari pengadilan. Persoalan poligami sekarang ini banyak dilakukan atas dasar cinta yang diawali perkenalan dengan wanita lain sampai ke tahap yang dilarang oleh agama. Padahal kondisi isteri tidak dalam keadaan sakit dan tidak kurang satu apapun dalam menjalankan kewajibannya sebagai isteri, bahkan telah dikaruniai anak.

Dalam Undang-Undang alasan berpoligami harus jelas. Jika beralasan karena isteri sakit dan tidak dapat melahirkan keturunan suami harus menunjukan bukti surat keterangan medis yang mengatakan dalih tersebut. Keterangan medis dikeluarkan dari rumah sakit yang ditunjuk oleh Pengadilan. Suami juga harus diperiksa kesuburannya karena belum tentu isteri yang tidak subur, dengan kata lain kemampuan melahirkan keturunan tergantung pada kesuburan suami. Agar tidak terjadi kondisi saling menyalahkan satu sama lain.

Penindasan yang dilegalkan secara hukum dalam bentuk “poligami sepihak” merupakan pintu masuk untuk menghilangkan makna dan marwah perkawinan itu sendiri. Dan ketentuan semacam ini berpotensi menciptakan kerancuan pemaknaan atas misi penciptaan keluarga bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apa yang dinyatakan Pasal 4 Ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 ini terkesan memahami perkawinan dari satu sudut pandang saja; yakni kepentingan laki-laki. Perkawinan yang merupakan peristiwa yang sifatnya sangat privat sekalipun ternyata masih didominasi laki-laki; alih-alih terjadi kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam ranah publik. Nilainilai kemanusiaan, keadilan, kebijaksanaan, dan ketuhanan dalam sila-sila Pancasila rasanya juga sulit ditemukan dalam pencermatan atas pasal tersebut.[12]

Menurut kaum feminis, diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan masih menjadi bagian dalam kehidupan perempuan di Indonesia. Hukum memang bias gender karena latar belakang pemikiran, pengalaman dan cara pandang pencetusnya yang sebagian besar menggunakan nilai-nila “maskulin” sebagai acuannya. Dalam pembentukan atau perumusan peraturan perundang-undangan hal itu tidak lepas dari adanya unsur politik dalam proses legislasi yang dipengaruhi oleh pola pikir yang dominan.[13]

Hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh paradigma Patriarkhisme hukum yang melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan, tidak terkecuali UUP. Karena patriarkhisme tersebut yang dilakukan dengan kecenderungan legisme telah melegalisir peraturan perundang-undangan yang bias gender ke dalam penerapannya yang implikasinya sangat merugikan kaum perempuan di Indonesia. Hak- hak kaum perempuan terampas dan kaum perempuan selalu termarginalisasikan. Adanya bias patriarkhi pada hukum, menurut beberapa Teori Hukum Feminis disebabkan oleh berbagai hal, antara lain biologis, budaya, dan kekuasaan.[14]

Feminist Legal Theory menyatakan bahwa bahkan Critical Legal Studies, (CLS) sekalipun menyoroti keberlakuan UUP semata dari sudut pandang kaum laki-laki, demikian pula pemikiran-pemikiran Jurisprudence lainnya. Dikatakan bahwa hukum dan legal theory adalah lahan laki-laki, yaitu laki-laki yang menyusun hukum dan teori tentang hukum. Nilai laki-laki yang melekat pada hukum itulah yang kemudian berdampak kepada kelompok lain yang tidak terwakili dalam nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai itu pula sudah sedemikian melektanya sehingga dianggap umum dan absolut dengan meniadakan nilai-nilai yang lain.

Selanjutnya teori hukum feminis berpendapat bahwa teori-teori hukum yang selama ini ditampilkan oleh para perumus UUP, khusunya Pasal mengenai “Poligami” sangat mengkonsentrasikan diri pada Jurisprudence yang sangat patriarkhi. Teori-teori yang ditampilkan dan dicoba untuk difahami adalah teori hukum yang dikembangkan oleh laki-laki dan tentang bagaimana laki-laki berperan sebagai bagian dari warga negara. Meski dalam pembahasan tentang teori hukum dibahas pula perkembangan gerakan Critical Legal Studies, secara umum fokus pembahasannya adalah pada permasalahan dan konsep-konsep yang didefinisikan oleh kaum laki-laki dengan menggunakan ideologi Maskulin.

2.      Ketentuan Pada Hak dan Kewajiban Suami Istri

Pada bagian hak dan kewajiban suami istri, Hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam pasal 34 :

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masingmasing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

 

Pasal ini sangat jelas mengindikasikan adanya pengukuhan pembagian dan pembakuan peran perempuan berdasarkan jenis kelamin dan sekaligus mengukuhkan domestikasi perempuan. Secara umum difahami bahwa kewajiban isteri untuk berbakti kepada suaminya seolah tanpa batas. Ungkapan klise yang muncul dari fakta ini adalah “kewajiban isteri adalah melayani suami sejak mata suami terbit sampai mata suami terbenam”. Ketentuan bahwa isteri berkewajiban mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya membenarkan anggapan stereotip masyarakat bahwa tempat perempuan yang layak adalah rumah. Jikalau isteri keluar rumah dipandang tidak terhormat.[15] Pasal-Pasal tersebut sangat jelas mengindikasikan adanya pengukuhan pembagian dan pembakuan peran perempuan berdasarkan jenis kelamin dan sekaligus mengukuhkan domestik perempuan. Domestikasi ini mengarah kepada upaya penjinakan, segregasi ruang dan depolitisasi perempuan.

Hak dan kewajiban suami istri dalam UUP maupun dalam KHI adalah masih bersifat Bias Gender. Pasal-pasal tersebut mendikotomi antara ruang public dan ruang privat, tentunya tidak relevan lagi dengan kondisi bangs aini mulai berkembang secara pandangan hidup serta tidak adil dan terkesan diskriminasi. Dalam Perspektif Teori Hukum Feminis bahwa hak dan kewajiban suami dan istri haruslah setara, menganut nilai persamaan dan kesetaraan tanpa mempersoalkan jenis kelamin (sex). Tentunya gender sendiri bersifat dinamis, kalau istri mengasuh anak dan suami bekerja mencari nafkah dan banyak juga ditemukan sebaliknya istri yang mencari nafkah dan suami yang di rumah mengasuh anak.[16]

Dari uraian sebagaimana di atas yang terkandung di dalam UUP, maka dapat dikatakan bahwa Pasal-Pasal tersebut jika dianalisis lebih dalam bertentangan dengan nilainilai universal yang terkandung di dalam hukum Islam. Hukum Islam menghendaki nilai-nilai keadilan, kesetaraan di depan hukum, persamaan derajat antara laki-laki dan kaum perempuan. Bentuk ketidakadilan kaum perempuan yang disebabkan oleh beberapa Pasal yang sifatnya diskriminasi sebagaimana di atas, jelas bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dimana Islam mengamanahkan pentingnya sebuah perlindungan terhadap HAM. Karena secara esensial HAM akan selalu melekat dalam diri manusia khususnya kaum perempuan.

3.      Ketentuan Pada Kedudukan Suami dan Istri

Kedudukan suami istri diatur dalam Pasal 31:

(1) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum; (3) Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Kandungan isi ketiga ayat dalam Pasal tersebut tampak inkonsistensi, artinya saling bertentangan satu sama lain.

 

Dalam dua ayat pertama dinyatakan kedudukan suami istri seimbang, baik dalam kehidupan dirumah tangga maupun di masyarakat, namun bagaimana mungkin bisa dikatakan seimbang sementara pada ayat berikutnya kedudukan suami sudah dipatok sebagai kepala rumah tangga. Penggunaan kata “kepala”, dalam menjelaskan kedudukan suami mengandung konotasi kekuasaan dan sangat terkesan otoriter sehingga tidak salah kalau masyarakat awam memandang suami identik dengan penguasa diruang lingkup keluarga, termasuk mewajibkan istri melakukan seluruh tugas-tugas dirumah tangga dan melayani seluruh keperluan dan kebutuhan dirinya lahir dan batin.

Umumnya pandangan streotip suami sebagai kepala keluarga didasarkan kepada firman Allah SWT dalam an-Anisa yang diterjemahkan: laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Berkaitan dengan ayat tersebut, pertama harus dijelaskan makna qawwam. Kalaupun itu dimaknai dengan “pemimpin” maka pemimpin yang menghendaki dalam Islam adalah pemimpin demokratis, penuh kasih sayang dan pengertian, bukan pemimpin yang otoriter, memaksa dan sewenang-wenang. Dan yang lebih penting lagi adalah harus diahami bahwa posisi qawwam bagi suami tidaklah otomatis, melainkan sangat tergantung pada dua syarat yang diterangkan pada penghujung ayat, yakni: Harus memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada istrinya, dan kualitas dimaksud bisa bermakna kualitas fisik, moral, intelektual dan finansial dan Harus telah menunaikan kewajibannya memberi nafkah kepada keluarga.

Pasal tentang kedudukan suami istri sebagaimana di atas, jelas tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Konvensi CEDAW tentang prinsip don-diskriminasi dan persamaan. Pasal 1 menjelaskan bahwa “diskriminasi terhadap perempuan" berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan”. Hal inilah yang ditekankan dalam Konvensi CEDAW yaitu prinsip persamaan dan keadilan antara suami-istri merupakan sebuah keharusan. Keharusan karena prinsip keadilan serta kesetaraan antara laki-laki dan perempuan merupakan sebuah perwujudan HAM yang dimiliki oleh semua umat, khususnya kaum perempuan. Kenapa konsep HAM itu sesuatu yang sangat penting dalam kenegaraan Indonesia, karena Indonesia telah memploklamirkan sebagai konsep negara hukum.[17]

Implikasinya kemudian dapat terlihat pada Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jikalau isteri bekerja mencari nafkah di luar rumah, pekerjaannya itu hanya dinilai sebagai pekerjaan tambahan, dan karenanya dibayar sebagai pencari nafkah tambahan, bukan pencari nafkah utama. Akibatnya, pekerja perempuan selalu digolongkan dalam status pekerja lajang, meskipun secara riil memiliki suami dan anak. Isteri tidak menerima tunjangan untuk suami dan anak-anak sebagaimana yang diterima oleh laki-laki. Padahal, sejumlah penelitian menjelaskan bahwa tidak sedikit dari perempuan yang bekerja itu justeru merupakan pecari nafkah utama di dalam keluarga, dan di pundak merekalah seluruh anggota keluarga, termasuk suami, menggantungkan hidupnya.

Secara empiris dapat dikatan bahwa hukum dan teori hukum didominansi laki-laki, atau secara ringkas dapat dikatakan bahwa lakilaki yang menulis hukum dan teori hukum. Hal ini tampak dari mereka para ahli teori hukum yang mengemukakan teorinya, yang hampir seluruhnya laki-laki, yang pada gilirannya secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi teori-teori yang dihasilkannya.

Dengan kata lain, teori-teori tersebut dihasilkan melalui kerangka berfikir laki-laki dan berdasarkan dari sudut pandang laki-laki pula. Para feminis meyakini bahwa sejarah ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan kaum perempuan dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Sejarah buatan laki-laki tersebut dengan bias menciptakan konsep-konsep tentang keberadaan manusia, potensi gender dan rekayasa sosial yang menghasilkan bahasa, logika dan struktur hukum yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut pandang laki-laki.[18]

Teori hukum feminis, yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum tidak memberikan keadilan bagi kelompok kaum perempuan, digunakan sebagai standar dalam mengkaji kaidah hukum yang berlaku selama ini di Indonesia kaitannya dengan peranan perempuan dalam hukum dan dengan posisi perempuan di masyarakat, baik pada masa kini maupun di masa pembentukan peaturan perundang-undangan.

c.  Pendekatan Kasus Terkait Ketidakadilan dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan dalam Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

1)      Putusan Nomor: 217/Pdt.G/2016/PA.Smg.

Surat permohonan yang terdaftar kepaniteraan Pengadilan Agama Semarang tertanggal 21 Januari 2016 dan telah diputus oleh hakim pada tanggal 18 April 2016 dengan putusan mengabulkan izin poligami, adapun rinciannya sebagai berikut :

Pemohon umur 45 tahun agama Islam dengan Termohon umur 52 tahun; pemohon hendak menikah lagi dengan Bunga (nama samaran) umur 30 tahun sebagai calon istri kedua pemohon karena ingin punya keturunan lagi, dan mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istri pemohon. Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon untuk melakukan poligami dengan alasan di atas menggunakan beberapa pertimbangan, yaitu :

Menimbang, bahwa Pemohon mengajukan permohonan izin poligami supaya diperkenankan menikah dengan Bunga (nama samaran) berumur 30 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di jalan Sendangguwo Kecamatan Tembalang Kota Semarang, dengan mengajukan dalil-dalil sebagaimana tersebut dalam surat permohonannya, antara lain disebabkan Pemohon masih menginginkan anak sementara Termohon sudah tidak dapat melahirkan lagi karena faktor usia.

Menimbang, bahwa dalam pemeriksaan perkara ini, fakta hukum menunjukkan Pemohon dan Termohon telah mempunyai seorang anak, yang artinya Termohon telah dapat melahirkan keturunan. Namun demikian di samping itu ternyata Pemohon masih menginginkan anak sementara Termohon tidak dapat lagi melahirkan disebabkan usia sudah 52 tahun dan ternyata pula Pemohon telah menghamili calon istri kedua. Berdasarkan fakta hukum di atas, permohonan Pemohon sekalipun tidak didukung oleh suatu sebab sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo pasal 41 huruf a Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal 57 Kompilasi Hukum Islamdi Indonesia tahun 1991, akan tetapi menurut majelis hakim fakta hukum tersebut patut dimaknai adanya suatu sebab yang dapat dipertimbangkan dalam permohonan Pemohon ini, terlebih-lebih Termohon tidak berkeberatan bila Pemohon menikah lagi dengan seorang perempun dimaksud

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, permohonan pemohon dalam perkara ini patut dianggap mempunyai alasan dan telah memenuhi syarat yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 jo pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 jo pasal 58 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tahun 1991 dan tidak bertentangan dengan pasal 55 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tahun 1991.

2)      Pada Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg,

     Dalam Putusan ini disebutkan bahwa selama berumah tangga antara Pemohon dengan Termohon telah berhubungan layaknya suami dan isteri dan telah di karunai 2 (dua) orang anak yang bernama FRP (Pr) dan RA (lk). Dalam hal ini sebagaimana yang disebutkan diatas bahwa pengadilan agama hanya memberi ijin jika syarat -syarat yang terdapat pada pasal 57 KHI terpenuhi, namun pada perkara in i bahwa IW sudah jelas tidak mandul dan sudah menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri, juga tidak mendapat cacat badan atau penyakit. Namun pada putusannya hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk berpoligami. Menurut keterangan hakim bahwa (IW) menyatakan rela dan tidak keberatan apabila pemohon menikah lagi dengan calon isteri pemohon yang kedua tersebut, serta termohon bersedia dimadu oleh pemohon, karena termohon takut apabila pemohon akan melakukan hal yang tidak diinginkan (zina) jika pemohon tidak diijinkan menikah lagi.

           Analisis putusan terhadap putusan nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg. Bahwa Pemohon ingin menikah lagi dengan isteri kedua karena masih saling mencintai setelah hubungan yang mereka jalin putus ditengah jalan sebelum pemohon dan termohon menikah. Setelah mendengar keterangan pemohon bahwa pemohon sanggup dimadu karena tidak ingin permohon terjerumus p ada perbuatan yang tidak di inginkan jika tidak diberikan ijin poligami, dan meskipun Pemohon tidak memenuhi salah satu syarat poligami yaitu syarat fakultatif namun suami telah memenuhi syarat kumulatif. oleh karenanya Majelis Hakim mengabulkan ijin poligami Pemohon.[19]



[1] Titik Tri wulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional (Cet. III; Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), hlm. 97-98.

[2] Arso Sosroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia . Lihat juga dalam Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 4.

[3] Ibid.

[4] Saidah, Perempuan dalam Bingkai Undang-undang Perkawinan Indonesia, (Yogyakarta: Trust Media Publishing, 2015), hlm. 76.

[5] Ibid.

[6] Gandhi Lapian, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (Jakarta: Pustaka Obor, 2012), hlm. 27.

[7] Aditya Yuli Sulistyawan “Feminist Legal Theorty dalam Telaah Paradigma: Suatu Pemetaan Filsafat Hukum” Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47. No.1, (Januari 2018). hlm.57.

[8] Adtiya Yuli Sulistyawan, Jurnal Feministh Legal heory Dalam Telaah Paradigma: Suatu Pemetaan Filsafat Hukum), https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/download/18912/13376, di Akses pada 23 Desember 2023 pukul 14.00 WIB.

[9] Siti Musdah Mulia, Islam Dan Gender “Kesetaraan Gender”, (Yogyakarta: Kibar Press, 2006), hlm. 174.

[10] Sahbana, “Wanita Indonesia dalam Keluarga Persepektif Islam, dalam, Jurnal Ilmu Syari‟ah, Keadilan Gender dalam Syari‟at Islam, (Yogyakarta: UIN Press, 2001), hlm. 143.

[11] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

[12] Nur Kholis, dkk, Jurnal Poligami dan ketidakadilan Gender dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia, https://journal.walisongo.ac.id/index.php/ahkam/article/download/1971/1469, di Akses pada 1 Januari 2024, pukul 14.00 WIB.

[13] Niken Savitri, HAM Perempuan, (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2008), hlm. 7.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Arjuwin Taqwa, Skripsi hak dan kewajiban suami istri perspektif gender menurut undang-undang tentang Perkawinan, http://digilib.uinsuka.ac.id/3605/1/BAB%20I%2CV%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf, di akses pada 1 januari 2024 pukul 14.00 WIB.

[17] Habib Shulton, Jurnal Tinjauan Kritis Terhadap hak-hak perempuan dalam Undang-undang Perkawinan, Upaya menegakkan keadilan, https://journal.iaimnumetrolampung.ac.id/index.php/jm/article/download/27/22, di akses pada 1 Januari 2024, pukul 14.00 WIB.

[18] Ibid.

[19] Mela Handayani, Jurnal Permohonan Izin Poligami (Studi Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/Pa.Srg), https://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/syakhsia/article/download/1119/899, di akses pada 26 Desember 2023 pukul 14.00 WIB.

Tidak ada komentar:

Perspektif Teori Hukum Feminis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Ketidakadilan Gender Pada Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan)

  PERSPEKTIF TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (KETIDAKADILAN GENDER PADA HAK ASASI...