Kamis, 07 November 2024

Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyebaran Konten Kejahatan Pornografi Balas Dendam (Revenge Porn) di Media Sosial Ditinjau Dari Peraturan Perundang-undangan di Indonesia (UU ITE, UU Pornografi dan UU TPKS).

 

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYEBARAN KONTEN KEJAHATAN PORNOGRAFI BALAS DENDAM (REVENGE PORN) DI MEDIA SOSIAL DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (UU ITE, UU PORNOGRAFI, UU TPKS) 

1.  Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyebaran Konten Kejahatan Pornografi Balas Dendam (Revenge Porn) di Media Sosial Ditinjau Dari Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

a)      Pegertian Pornografi Balas Dendam (Revenge Porn)

Kekerasan seksual terus bertransformasi mengikuti arus perkembangan zaman. Ditengah masifnya informasi digital, kekerasan seksual secara daring tidak dapat dihindari. Kekerasan seksual melalui media internet semakin mengkhawatirkan karenanya koban terbanyak berasal dari kaum perempuan. Komnas Perempuan sendiri mencatat padatahun 2019 terjadi kenaikan pengaduan mengenai hal ini, yang pada tahun sebelumnya 65 kasus menjadi 97 kasus. Komnas Perempuan memberikan istilah terhadap kekerasan seksual melalui media internet yaitu dengan “kekerasan terhadap perempuan (KtP) berbasis cyber”. Kekerasan seksual yang banyak menyasar kaum perempuan ini juga termasuk dalam kekekerasan berbasis gender. Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNCHR) mendefinisikan kekerasan berbasis gender sebagai “kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Ini termasuk tindakan yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman untuk tidakan tersebut, paksaan dan penghapusan kemerdekaan.”[1]

Adapun jenis atau bentuk kekerasan terhadap perempuan (KtP) berbasis cyber yang kian marak terjadi dan dilaporkan adalah revenge porn. Revenge porn merupakan kasus pornografi yang baru di Indonesia namun seiring berjalannya waktu kian mengkahwatirkan. Di Indonesia sendiri belum diketemukan pengertian mengenai revenge porn, namun walaupun begitu definisi mengenai revenge porn dapat ditemui di berbagai literatur asing, diantaranya sebagai berikut:

1)      Michael Salter dan Thomas Crofts pada jurnalnya mendefinisikan revenge porn sebagai kategori pornografi online yang menyertakan video atau gambar amatir yangdibuat sendiri atau dibuat dengan izin dari orang yang di gambarkan, tetapi kemudian disebarkan atau didistribusikan tanpa persetujuan dari orang yang terlibat dalam video maupun gambar tersebut. Hal inilah yang biasanya dilakukan untuk melampiaskan rasa balas dendamnya setelah putusnya hubungan.

2)      Carmen M Cusack dalam bukunya memberikan definisi mengenai revenge porn sebagai porografi yang diproduksi atau disebarkan oleh mantan pasanaganintimdengan tujuan untuk mempermalukan dan melecehkan korban.

3)      Menurut kamus Cambridge Dictionary pengertian dari revenge porn adalah gambaratau film seksual pribadi yang menampilkan orang tertentu yang ditayangkan diinternet oleh mantan pasangan sebagai upaya untuk menghukum atau menyakiti korban.

Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian revenge porn adalah menyebarluaskan konten pornografi yang dilakukan oleh ex-partner dengan tujuan balas dendam karena merasa sakit hati setelah kandasnya hubungan. Revenge porn bukan seperti penyebaran pornografi pada umumnya. Penyebaran revenge porn memiliki ciri khas yang membedakan dengan penyebaran pornografi seperti biasanya. Ciri khas mengenai penyebaran revenge porn tersebut yaitu:[2]

1)      Perbuatan penyebarluasan informasi informasi bermuatan pornografi.

2)      Perolehan informasi bermuatan pornografi dari hubungan asmara antara pelaku dan korban.

3)      Tujuan perbuatan untuk membalaskan sakit hati atau dendam pelaku akibat perbuatan korban kepada dirinya.

Melihat dari dari ketiga ciri khas yang ada diatas, dapat disimpulkan bahwa yang membedakan antara penyebaran revenge porn dengan penyebaran pornografi pada umunnya adalah penyebaran pornografi tersebut bukan hanya semata-mata bermaksud supaya orang lain mengetahui materi pornogarfi tersebut, penyebarluasan materi pornografi pada revenge porn memiliki tujuan untuk membalaskan rasa sakit hatinya atau balas dendam karena kandasnya hubungan percintaan dan dengan menyebarkan materi pornografi yang memuat gambar, foto atau video dari mantan pasangan tersebut agar korban atau mantan pasangan merasa malu atau direndahkan kehormatannya.

Pornografi balas dendam atau Revenge Porn merupakan tindakan balas dendam yang melibatkan penyebaran materi pornografi dari seseorang, baik diperoleh secara sukarela atau secara paksa. Tujuan dari Revenge Porn adalah untuk melakukan balas dendam demi membalaskan rasa sakit hati terhadap korban. Nadya Karima Melati, seorang peneliti dari Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) sebuah organisasi yang berfokus pada masalah pendidikan seksual komprehensif, menjelaskan bahwa revenge porn atau balas dendam porno merupakan bentuk pemaksaan dan ancaman terhadap seseorang, umumnya perempuan, untuk menyebarkan konten porno berupa foto atau video yang pernah dikirimkan kepada pelaku. Tujuan dari perilaku ini adalah untuk mempermalukan, mengucilkan dan menghancurkan hidup korban.[3]

Pornografi balas dendam (revenge porn) merujuk pada ancaman atau distribusi materi tanpa persetujuan yang dilakukan oleh teman, pacar, atau mantan pacar sebagai respons terhadap kekecewaan mendalam, perasaan terluka, keinginan untuk mempertahankan hubungan, atau untuk memaksa korban agar memenuhi tuntutan pelaku. Tindakan ini seringkali melibatkan ancaman, intimidasi, atau paksaan terhada korban. Perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjelekan nilai sosial korban, mencemarkan nama baik korban dan juga menurunkan harga diri korban serta bisa dilakukan dengan tujuan “balas dendam”. Pada umumnya, pelaku revenge porn berasal dari lingkaran dekat korban, seperti keluarga, pacar, atau mantan pacar, dan kejahatan ini seringkali terkait dengan tindakan kejahatan cyber.[4]

Revenge porn memberikan dampak yang serius bagi korbannya. Walaupun hal tersebut dilakukan secara daring atau online, dampak yang dirasakan korban dapat berimbas juga di kehidupan nyata. Dampak yang menimpa korban dari revenge porn tersebut diantaranya sebagai berikut:[5]

1)      Konten pornografi yang tersebar dapat menyebabkan terhambatnya karir korban dalam pekerjaan, selain itu korban juga mendapatkan reputasi buruk dan bahkan tidak akan memperoleh pekerjaan.

2)      Dengan tersebarnya konten pornografi tersebut menyebabkan korban mendapatkan komentar miring dan dipermalukan oleh banyak orang, hal tersebut membuat korban rentan melakukan tindakan nekat berupa bunuh diri karena merasa tertekan.

3)      Korban rentan mendapatkan ancaman dan pemerasan dari pihak ketiga atau dari mantan pasangannya dikarenakan orang tersebut telah melihat konten pornografi yang telah tersebar luas di media internet.

4)      Korban dari revenge porn menghindari berbagai situs online karena merasa trauma dan takut ketika melihat konten tersebut yang beredar luas di internet yang berakibat terjadinya perundungan di media online terhadap korban, korban juga menarik diri dari pergaulan lingkungannya di karenakan merasa tertekan dan cemas.

5)      Korban dari revenge porn juga rentan mengalami gangguan kejiwaan berupa depresi dan kecemasan.

6)      Korban akan mendapat pelecehan secara offline atau konvensional dari orang yang pernah menonton penyebaran konten tersebut karena menganggap korban adalah perempuan yang pantas untuk diperlakukan seperti demikian

b)     Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Tindak Pidana Pornografi Balas Dendam (revenge porn)

a.      Revenge Porn dalam KUHP

Situasi ini mengacu pada kondisi di mana ketentuan terkait pornografi hanya dapat diberlakukan melalui KUHP, sementara Undang-Undang Pornografi tidak memberikan landasan hukum yang cukup untuk penerapan. Namun, menemukan situasi semacam itu sulit dilakukan karena cakupan yang luas dari ketentuan undang-undang terkait pornografi.

KUHP merupakan undang-undang yang mengatur kesusilaan secara luas karena dalam BAB XIV diatur mengenai kejahatan terhadap kesusilaan, dan ruang lingkup terhadap kesusilaan yang diatur mencakup penyebarluasan materi pornografi, perzinahan, pencabulan, dan termasuk perjudian, penyebarluasan materi pornografi melalui internet tidak di atur dalam KUHP. Dalam KUHP, perbuatan yang tergolong melanggar norma kesusilaan disebut sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau delik kesusilaan. Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP tersebut dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang dipandang perlu untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontuchte handelingen dan terhadap perilaku-perilaku dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang kepatutan-kepatutan di bidang kehidupan seksual baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.[6]

KUHP menyebut tiga objek, yaitu tulisan, gambar, dan benda. Adapun yang termasuk benda ialah alat untuk mencegah dan menggugurkan kehamilan. KUHP di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual. Tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP hanyalah tindak pidana pemerkosaan, tetapi KUHP memiliki pengaturan mengenai larangan kepemilikan data yang melanggar asusila seperti Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 532, dan Pasal 533 KUHP, berikut ini merupakan pasal-pasal yang mengatur kejahatan terhadap kesusilaan.

b.      Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Dalam kasus revenge porn, pelaku dengan sengaja menyebarkan konten porno korban dengan alasan balas dendam, sehingga pelaku dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berbunyi :

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”

Namun, bunyi Pasal 27 ayat (1) UU ITE telah menimbulkan banyaknya kontroversi di masyarakat. Kontroversi ini diakibatkan oleh penggunaan kata melanggar kesusilaan dalam bunyi pasal tersebut, mengingat bahwa UU ITE sendiri tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai istilah melanggar kesusilaan tersebut. Nilai kesusilaan memiliki cakupan yang sangat luas tergantung dari waktu serta kondisi saat terjadinya suatu perbuatan, sedangkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tidak memberikan batasan yang jelas. Hal inilah yang mengakibatkan bunyi pasal ini bersifat multitafsir sehingga banyak masyarakat menyebutnya sebagai pasal karet.

      Kerancuan yang terdapat pada bunyi Pasal 27 ayat (1) UU ITE menjadikan pasal tersebut tidak cukup baik untuk dijadikan acuan dan dasar hukum dalam menangani kasus revenge porn. Selain itu dalam UU ITE terkait hak untuk dihapuskan informasi yang merugikan bagi seseorang. Ketetuan hukum tersebut diatur dalam Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) yang berbunyi :[7]

(1)   “Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan”.

(2)   “Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini”;

(3)   “Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”.

Ketentuan hukum tersebut memberikan hak bagi pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat penggunaan informasi elektronik di media elektronik. Hak yang diatur ada 3 (tiga) bentuk, yaitu hak untuk memberikan persetujuan atas informasi yang ditampilkan di media internet, hak untuk meminta ganti rugi, serta hak atas penghapusan informasi yang merugikan dirinya oleh penyelenggara sistem elektronik. UU ITE mengatur bahwa korban berhak mendapatkan hak untuk dilupakan. Hal ini sangat bermanfaat mengingat terancamnya reputasi korban revenge porn yang foto-foto pribadinya tersebar di media maya. Namun, berkaca pada fakta di lapangan, proses penghapusan informasi membutuhkan waktu yang sangat lama. Dengan proses yang sangat lambat, hal itu menyebabkan konten pornografi tersebut terlanjut tersebar luas.

Untuk Pasal 29 berbunyi:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”

Sedangkan untuk pasal 45 ayat (1) berbunyi :

“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

c.       Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyatakan bahwa pornografi merupakan setiap gambar, sketsa, foto, tulisan, suara, kebisingan, gambar bergerak, animasi, sketsa obrolan, gerak tubuh atau pesan lain yang dikirimkan melalui komunikasi dalam bentuk apapun terkirim atau presentasi publik yang mengandung pelecehan seksual yang tidak senonoh atau bertentangan dengan standar kesopanan masyarakat.[8]

Dalam UU Pornografi tidak memberi batasan pegertian tindak pidana pornografi, tetapi UU Pornografi sekedar memuat batasan pornografi dan merumuskan bentuk-bentuk tindak pidana pornografi [9]

Dalam kasus pornografi balas dendam dijerat dengan Pasal 32 UU Pornografi yang berbunyi:

“Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”[10]

Ketentuan pidana dalam UU Pornografi diatur dalam Bab VII Pasal 29 sampai dengan Pasal 38. Pada dasarnya beberapa ketentuan pidana dalam undang-undang ini dapat digunakan untuk menjerat pelaku pornografi melalui internet, khususnya pada menyiarkan, mempertontonkan, mempertunjukan atau menjadi model pornografi yang dilakukan melalui media sosial berbasis live streaming video, seperti Pasal 29, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 36, dengan unsur perbuatannya seperti pada Pasal 29 dengan unsur memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi, Pasal 30 dengan unsur menyediakan jasa pornografi, Pasal 34 dengan unsur menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi, Pasal 36 dengan unsur mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi.

UU Pornografi tidak memberikan penjelasan secara rinci tentang bagaimana cara menyiarkan, mempertontonkan, maupun menyalahgunakan internet untuk penyebaran pornografi, namun berdasarkan pengertian pornografi yang menyatakan media atau sarananya adalah melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum. Jika memperhatikan Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 29 maka dapat dirinci bahwa yang menjadi unsur dalam tindak pidana pornografi ada 2 hal yaitu perbuatan dan objeknya, dimana unsur perbuatan tindak pidana pornografi terdiri dari memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, menyediakan, meminjamkan atau mengunduh, memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, menyimpan, mengajak, membujuk, melibatkan anak dan menyalahgunakan kekuasaan.

Perbuatan tindak pidana pornografi terdapat tumpang tindih pengertian antara satu dengan yang lainnya seperti pengertian memproduksi dengan membuat, memperbanyak dengan menggunakan, menyebarluaskan dengan mengedarkan dan memperjualbelikan, hal ini juga diperjelas dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “penggunaan” termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan, hal ini mempunyai akibat bahwa dalam satu kasus tertentu maka dapat diterapkan dua atau tiga perbuatan pidana sekaligus. Kekaburan dalam penerapan pasal sebagai pijakan terhadap semua peraturan dan hukum akan berpengaruh dalam menerapkan aturan hukum pada suatu peraturan yang konkret. Dalam penentuan pelaku tindak pidana pornografi dalam UU Pornografi masih terdapat kejanggalan sebagaimana yang di atur pada Pasal 8, 9, dan 11 UU Pornografi, Pasal 8 mengatur “setiap orang dilarang dengan sengaja atau persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”. Kemudian pasal 9 menyebutkan “setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi”.

Selanjutnya pada pasal 11 mengatur bahwa “setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan atau sebagai objek pornografi”. Unsur sengaja yang terdapat dalam Pasal 8 UU Pornografi ini disebutkan dengan kalimat “dengan sengaja”. Unsur “dengan sengaja” merupakan unsur subjektif. Unsur subjektif yang berpengaruh dalam penentuan pelaku tindak pidana pornografi untuk pertanggungjawaban pidananya di mana dalam pemeriksaan di depan sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) wajib membuktikan bahwa perilaku pelaku memenuhi unsur “dengan sengaja” (dolus/opzet/atau kesengajaan) tersebut. Untuk mengetahui unsur “dengan sengaja” maka harus terdiri beberapa indikasi seperti niat atau kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu; b) adanya perbuatan permulaan; c) perbuatan yang melanggar hukum; dan d) adanya akibat dari perbuatannya. Menurut doktrin Yurisprudensi menjelaskan unsur subjektif “dengan sengaja” adalah bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut dilakukan dengan sengaja atau terdakwa menyadari akan perbuatan yang dilakukannya akibat yang timbul dari perbuatannya. Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Pemaknaan yang paling mendasar di dalam Undang-Undang Pornografi yaitu tentang orang ini masih mempunyai artian yang sangat multitafsir. Seharusnya di dalam undang-undang ini disebutkan dan dijelaskan secara tegas tentang orang dalam artian sebagai “pelaku tindak pidana pornografi” dan orang dalam artian sebagai “korban” tindak pidana pornografi.

d.      Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Kasus pornografi balas dendam atau revenge porn telah diatur dalam  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meskipun undang-undang ini tidak secara eksplisit menyebutkan definisi pornografi balas dendam. Namun, dijelaskan bahwa kekerasan seksual dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, tindak kejahatan terhadap martabat manusia dan bentuk diskriminasi yang perlu dihilangkan. UU TPKS ini sendiri menjadi payung hukum yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia. Dalam UU TPKS ini pun diatur beberapa muatan seperti jenis-jenis kekerasan seksual, perlindungan serta hak-hak dari korban, restitusi bagi korban, hingga pengaturan terhadap Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang lebih komprehensif dan mendalam.[11] Jika dikaitkan dengan kasus revenge porn yang merupakan salah satu bentuk dari KBGO, maka kita dapat melihat bahwa UU TPKS ini memiliki potensi untuk mengakomodasi permasalahan tersebut.[12]

Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) UU TPKS juga mengatur perbuatan lain diluar UU TPKS yang juga beririsan dengan kekerasan seksual. Pasal ini disebut sebagai “pasal jembatan” yang menghubungkan keberlakuan UU TPKS dalam mekanisme penyelesaian kasus dengan undang-undang lainnya.[13] Sebagaimana bunyi Pasal 4 ayat (1) huruf I, KSBE sudah secara terang disebutkan sebagai satu tindak pidana baru pasca pengesahan Undang-Undang ini. Penjelasan mengenai KSBE terdapat pada Pasal 14 yang menyatakan:[14]

                              “(1) Setiap Orang yang tanpa hak:

a)      melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar;

b)      mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau

c)      melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).          

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud:

a)      untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau

b)      menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

 

Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa tindak pidana dari KSBE terdiri dari tiga perbuatan, yaitu:

a)      Melakukan perekaman dan/atau  mengambil  gambar  atau  tangkapan layar  yang  bermuatan seksual  di  luar  kehendak atau tanpa persetujuan orang  yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; dan/atau

b)      Mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual;

c)      Melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem  elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual.[15]

c)      Penyelesaian dan Penegakan Hukum Terhadap Kasus Revenge Porn

Untuk menyelesaikan kasus revenge porn melalui pengadilan maka dengan adanya Due process of law diartikan sebagai seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara dalam hukum pidana yang berlaku universal. Penyelesaian suatu perkara harus memenuhi due process of law, melalui pengadilan yang bebas dari pengaruh apapun dan dari siapapun. Untuk dapat mencapai due process of law dengan baik, salah satu yang dibutuhkan adalah dilakukannya proses pembuktian secara baik. Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap Jilid II, pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman.[16]

bahwa pembuktian harus didasarkan pada setidaknya pada dua alat bukti yang sah. Pengertian alat bukti dirumuskan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu: “Alat bukti yang sah ialah: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; (e) keterangan terdakwa.” Oleh karena itu, apabila diduga terjadi kekerasaan seksual, hal-hal yang dapat digunakan untuk membantu pembuktian kasus kekerasan seksual adalah kelima hal di atas. Dalam proses pembuktian kekerasan seksual pun, diharapkan aparat penegak hukum tidak bersifat diskriminatif. Terutama, diharapkan tidak menyalahkan korban ataupun memberikan stigma buruk kepada korban tersebut. Hal ini dikarenakan korban yang telah bersedia datang dengan kondisi yang masih merasa depresi, dan takut,tentunya butuh perlindungan bukan malah mendapati tanggapan seseorang yang menyalahkan korban (Victim Blaming) yang dapat memperburuk keadaan korban.[17]

Selain itu dalam, kelemahan mendasar adalah terabaikannya hak korban kejahatan dalam proses penanganan perkara pidana maupun akibat yang harus di tanggung oleh korban kejahatan, Korban yang dihadapkan pada proses pengadilan mengalami penderitaan karena diharuskan untuk mengulangi atau menceritakan kembali derita yang dirasakan. Proses tersebut terbagi sebagai berikut:

a)      Sebelum Sidang Pengadilan, dalam keadaan sakit dan terganggu mental serta jiwanya korban berusaha untuk membuat laporan kepada polisi. Hal tersebut dilakukan oleh korban sebagai bagian dari pengumpulan bukti dengan menceritakan kembali kejadian yang menimbulkan trauma kepada polisi. Tidak jarang korban juga merasa ketakutan karena mendapatkan ancaman dari pelaku.

b)      Selama Sidang Pengadilan, dalam kondisi yang masih trauma terkadang korban berusaha untuk tetap hadir di persidangan pengadilan sebagai saksi. Namun tanpa disadari kehadiran korban dalam persidangan justru akan semakin membuka trauma secara emosional karena korban dalam memberikan kesaksian harus mengulangi cerita terhadap pelecehan seksual yang di alami. Dalam kesempatan yang sama, korban juga harus di hadapkan kepada pelaku yang telah melakukan pelecehan seksual kepadanya. Tidak jarang pembelaan atau keterangan dari pelaku justru menyudutkan korban dan menjadikan korban memiliki andil atas kejahatan yang terjadi. Posisi korban sendiri di wakili oleh Jaksa, namun kadang tidak dapat memberikan keuntungan atau perlindungan yang maksimal bagi korban. Sehingga sangat penting kedudukan pendamping bagi korban dalam menghadapi proses peradilan. 

c)      Setelah Sidang Pengadilan, ketika pelaku sudah di vonis bersalah, dan menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan, kedudukan korban seringkali terlupakan terutama yang berkaitan dengan ganti kerugian atas kejadian yang menimpa korban. Korban terpaksa harus menanggung penderitaannya sendiri, dan bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada dirinya. Korbanpun dihantui rasa trauma, takut, karena tidaknya pemulihan yang diberikan kepada korban.[18]

Kepentingan korban dalam penyelesaian kasus revenge porn gagal terlindungi ketika penanganan kasus tidak di lakukan secara optimal, permasalahan yang sering kali terjadi adalah tahap ketika pemeriksaan laporan korban, keterbatasan penegek hukum dalam mewawancarai korban sering kali merendahkan korban, korban kerap ditanyai apakah menikmati persetubuhan tersebut dan dihadapkan dengan pelaku. Penegak hukum juga kurang profesional dalam mengumpulkan alat bukti. Dalam pengumpulan alat bukti, korban tak jarang juga tepaksa menghabiskan jutaan rupiah untuk mendapatkan visum, perlakuan ini membuat korban kian trauma dan enggan melaporkan kasus kekerasaan seksual yang di alaminya.

Penegakan hukum pidana terhadap kasus revenge porn ini pada umumnya dilakukan dengan tiga tahapan yaitu: Pertama, Tahap Formulasi, Peraturan yang membahas tentang pornografi dapat kita temui pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP buku kedua Bab XIV Pasal 282 terkait Kejahatan Terhadap Kesusilaan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU TPKS. Kedua, Tahap Aplikasi, Untuk menyelesaikan perkara pidana terdapat beberapa tahap yang di lakukan diantaranya penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian dengan cara menangkap tersangka dan mengumpulkan bukti-bukti, penuntutan yang dilakukan oleh jaksa dengan memberikan pembuktian terhadap segala perkara yang ditangani, dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan oleh hakim, pada tahap ini juga akan disertai dengan pemberian bukti bukti oleh jaksa penuntut umum, yang didapat atas hasil penyidikan dari pihak kepolisian. Ketiga, Tahap Eksekusi, Pelaku tindak pidana penyebarluasan Konten Pornografi.

Salah satu contoh kasus yang sedang ramai menjadi perbincangan masyarakat saat ini mengenai tindakan kekerasan seksual berbasis elektronik adalah kasus Rebecca Klopper (RK) seorang tokoh publik figure yang terkenal di kalangan anak muda Indonesia, dimana namanya terseret usai sebuah video syur tersebar di internet dan diduga perempuan dalam video itu adalah dirinya. Setelah diselidiki, diduga kuat pelaku penyebaran konten intim non-consensual itu adalah mantan kekasih RK yang telah melakukan perekaman saat mereka sedang melakukan hubungan intim tetapi keadaan RK sedang tidak sadarkan diri sehingga dia tidak menghendaki perekaman tersebut. Diduga motif penyebaran ini adalah bentuk pelampiasan dari mantan RK karena dendam masa lalu. Kasus ini telah dilaporkan oleh RK ke pihak kepolisian dan telah diterima lalu telah dilanjutkan pada tahap penyidikan. Kekerasan seksual berbasis elektronik yang dialami RK ini bisa menjerat pelaku dengan Pasal 14 ayat (1) poin a yaitu melakukan perekaman bermuatan seksual tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman.[19]

2.      Faktor-Faktor Penghambat dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyebaran Konten Kejahatan Pornografi Balas Dendam (Revenge Porn) di Media Sosial

Dalam penyelesaian kasus pornografi balas dendam terdapat beberapa kendala atau hambatan, diantaranya :[20]

1)      Belum adanya implementasi UU TPKS yang seharusnya menjadi payung hukum khusus dalam menyelesaikan kasus pornografi balas dendam dikarenakan belum adanya regulasi turunan dari peraturan tersebut. Penyelesaian kasus masih mengacu pada KUHP, UU ITE, dan UU Pornografi, Namun, ketiga regulasi tersebut tidak secara spesifik memberikan jaminan perlindungan pada korban karena rumusannya yang sangat umum dengan unsur-unsur yang terbatas.

2)      Minimnya Perpektif Gender dikalangan Aparat Penegak Hukum, instansi penegak hukum itu sendiri harusnya dibarengi dengan peningkatan kualitas instrument hukum, mulai dari kepolisian, dan kejaksaan. Dalam proses tegaknya hukum, profesionalisme dalam arti kecakapan dan keterampilan serta kemampuan intelektual dalam bidang tugasnya sangat diperlukan bagi aparat penegak hukum. Tujuannya adalah agar ia mampu melaksanakan tugasnya dengan cepat, tepat tuntas dan memenuhi rasa keadilan bagi pelaku, masyarakat, maupun korban. Mengingat rumusan tindak pidana yang terbatas, tambah diperparah dengan minimnya perspektif gender dari aparat penegak hukum. Kerap kali tindakan pornografi balas dendam (revenge porn) yang bentuknya ancaman kepada korban dianggap bukan sebagai tindak kekerasan atau kejahatan pidana, melainkan sebagai tindakan candaan belaka. Asumsi ini muncul sebagai akibat dari dampak Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang dianggap “tidak tampak” atau tidak berimplikasi langsung terhadap fisik, seperti tidak ada luka lebam atau tanda-tanda kekerasan fisik lainnya yang dapat dilihat secara langsung. Padahal pornografi balas dendam (revenge porn) memberikan dampak luar biasa secara psikologis dan dapat mempengaruhi kondisi mental korban dalam jangka waktu yang lama.

3)      Budaya misoginis dan patriarki yang subur dan mengakar, budaya misoginis kerap mengecilkan dan bahkan menormalisasi kekerasan dan/atau serangan terhadap perempuan diranah online, sehingga tidak perlu ditangani. Budaya ini pula yang kemudian mendorong tingginya victim blaming dan stigmatisasi terhadap korban perempuan, sehingga mengakibatkan korban tidak mencari bantuan saat mengalami kekerasan tersebut. Korban merasa malu untuk bersuara atau bahkan sekedar untuk pembelaan diri. Hal ini dikarenakan mereka tidak memperoleh rasa aman jika mereka mengungkapkan apa yang terjadi pada mereka. Budaya misoginis dan patriarki yang masih kental dalam cara pikir aparat penegak hukum serta pihak-pihak pemangku kewajiban lainnya membuat sebagian besar kasus-kasus KBGO yang terlaporkan tidak ditanggapi dengan serius dan tidak terselesaikan dengan adil. Patriarki dan pelanggengan nilai dan norma sosial, budaya dan agama meletakkan moralitas sebagai faktor utama untuk mendefinisikan derajat perempuan. Akibatnya, pendapat, sikap dan perilaku yang dianggap melanggar moral bisa dijadikan alasan untuk membenarkan serangan ataupun kekerasan terhadap perempuan. Hal ini kemudian membuat perempuan rentan untuk menjadi korban berlapis dalam kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO. Perempuan yang lebih sering dijadikan sasaran dan juga penghakiman sosial. Kemudian ini berdampak pada kaburnya elemen-elemen kekerasan yang sebenarnya, seperti pelanggaran atas consent, privasi, dan control atas data maupun informasi personal. Perempuan yang menjadi korban dan bahkan menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekerasan berlapis yang terjadi kepadanya.

4)      Penyebaran foto ataupun video intim dianggap sebagai konsensual, aparat penegak hukum sangat jarang menerapkan analisis konsensual berlapis. Korban kerap kali dianggap telah menyetujui foto/video intim miliknya untuk disebarkan, karena ia bersedia difoto dan/atau diambil video intimnya dan/atau membagikan foto dan/atau video intimnya kepada pelaku. Padahal, persetujuan untuk difoto/direkam tidak sama dengan persetujuan untuk disebarluaskan. Lebih lanjut korban juga kerap mendapat stigma karena dianggap telah bersedia melakukan aktivitas seksual, sekalipun perekaman maupun penyebarluasan foto/video tersebut dilakukan tanpa persetujuan korban.

5)      Penanganan sering kali berakibat blacklash hukum penerapan pasal-pasal terkait kekerasan seksual termasuk yang diatur dalam UU Pornografi dan UU ITE kerap kali ditafsirkan sangat luas, sehingga justru bisa mengkriminalisasi korban. Dengan penafsiran pasal yang sangat "karet” dan minimnya perspektif gender dari aparat penegak hukum, korban dapat dikategorikan sebagai pelaku. Selain itu, dalam beberapa kasus, korban justru diancam dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE ketika melakukan call out publik.

Adapun Faktor lain penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana revenge porn adalah: Pertama, Substansi Hukum (Undang-Undang), dalam UU ITE pengaturan tentang cyberporn sangat terbatas sekali. Di mana hanya terdapat sedikit pasal yang mengaturnya, serta secara eksplisit tentunya belum dapat dijadikan lex specialis terhadap kejahatan pornografi atau cyberporn itu sendiri sedangkan dalam UU TPKS belum adanya aturan turunan yang mengatur pelaksanaan dari Revenge Porn. Kedua, Aparat Penegak Hukum, secara umum penyidik Polri masih sangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus cyberporn. Ketiga, Sarana dan Prasarana, untuk dapat membuktikan jejak para pelaku kejahatan cyberporn di dalam menjalankan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri yang belum memadai karena belum ada komputer forensik. Keempat, Masyarakat, terkait dengan kurangnya kepedulian masyarakat di dalam penegakan hukum dan penanggulangan kejahatan cyberporn masih sering dirasakan, seperti enggan untuk melapor jika mengetahui kejahatan cyberporn. Kelima, Kebudayaan, kebudayaan masyarakat Indonesia ini semakin berkiblat pada budaya asing. Salah satu contohnya adalah dalam hal berpacaran yang berbau seksual.



[1] Komnas Perempuan, Korban Bersuara, Data Bicara: Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai Wujud Komitmen Negara, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2019), hlm. 55.

[2] Hwian Christianto, “Konsep Hak Untuk Dilupakan Sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Mimbar Hukum, Vol. 32, No. 2. 2020, hlm. 181.

[3] Nadya Karima Melati, “Bagaimana Mencari Bantuan Dalam Kasus Revenge Porn”, https://magdalene.co/story/bagaimana-mencari-bantuan-dalam-kasus-revenge-porn diakses pada 22 April 2024 pukul 14:48.

[4] Teguh Prasetyo. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta. Rajawali Pers. 2016. hlm 50.

[5] Samantha Bates, “Revenge Porn and Mental Health: A Qualitative Analysis of the Mental Health Effects of Revenge Porn on Female Survivors”, Sage Feminist Criminology, vol. 1, no. 21, 2016, 2.

[6] Ibid.

[7] Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

[8] Uneto, Nirmala Permata. “Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pornografi Menurut Undang-Undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi”. Jurnal Lex Crimen Vol. 7, No.7, (2018): 104

[9] Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi (Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Mengenai Tegaknya Tatanan Kehidupan Akhlak dan Moral Kesusilaan Yang Menjunjung Tinggi Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab), CV. Putra Media Nusantara, Surabaya 2009, hal. 137.

[10] Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

[11] Farly Renaldy, dkk,”Sanksi Pidana Terhadap Pelecehan Seksual Nonfisik Dalam Konteks Undang-Undang No 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual”, Jurnal Fakultas Hukum Unsrat Lex Privatum. Vol 13. No. 01. 2024.

[12] Dea Tri Afrida, Sekstorsi Sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam Sistem Hukum di Indonesia, http://delicti.fhuk.unand.ac.id/index.php/jdc/article/view/2, di Akses pada 8 Januari 2024 pukul 14.00 WIB.

[13] Rafilino Watak, 2023, Tindak Pidana Pelecehan Seksual Secara Verbal dalam Hukum Positif di Indonesia” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Lex Privatum Vol.XII/No.1/jul/2023, hlm. 5.

[14] Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

[15] Dea Tri Afrida, Sekstorsi Sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam Sistem Hukum di Indonesia, http://delicti.fhuk.unand.ac.id/index.php/jdc/article/view/2, di Akses pada 8 Januari 2024 pukul 14.00 WIB.

[16] Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung,, 2011, hal. 3

[17] Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal 113

[18] Ibid.

[19] Euggelia C.P Rumetor, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Lex Privatum Vol.XI/No.5/jun/2023.

[20] Imelia Sintia, Analisi Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Sebagai Korban Pornografi Balas Dendam (Revenge Porn) Vol 1 No 3 November 2021 hal 1-10 Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara diakses Jurnal Homepage: http://jurnalmahasiswa.umsu.ac.id/index.php/jimhum pada 21 April 2024.

Tidak ada komentar:

Perspektif Teori Hukum Feminis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Ketidakadilan Gender Pada Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan)

  PERSPEKTIF TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (KETIDAKADILAN GENDER PADA HAK ASASI...