PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYEBARAN KONTEN KEJAHATAN PORNOGRAFI BALAS DENDAM (REVENGE PORN) DI MEDIA SOSIAL DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (UU ITE, UU PORNOGRAFI, UU TPKS)
1. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyebaran Konten Kejahatan Pornografi Balas Dendam (Revenge Porn) di Media Sosial Ditinjau Dari Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
a) Pegertian
Pornografi Balas Dendam (Revenge Porn)
Kekerasan seksual terus bertransformasi
mengikuti arus perkembangan zaman. Ditengah masifnya informasi digital,
kekerasan seksual secara daring tidak dapat dihindari. Kekerasan seksual
melalui media internet semakin mengkhawatirkan karenanya koban terbanyak
berasal dari kaum perempuan. Komnas Perempuan sendiri mencatat padatahun 2019
terjadi kenaikan pengaduan mengenai hal ini, yang pada tahun sebelumnya 65 kasus
menjadi 97 kasus. Komnas Perempuan memberikan istilah terhadap kekerasan seksual
melalui media internet yaitu dengan “kekerasan terhadap perempuan (KtP) berbasis
cyber”. Kekerasan seksual yang banyak menyasar kaum perempuan ini juga termasuk
dalam kekekerasan berbasis gender. Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa
untuk Pengungsi (UNCHR) mendefinisikan kekerasan berbasis gender sebagai “kekerasan
langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Ini termasuk tindakan
yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman
untuk tidakan tersebut, paksaan dan penghapusan kemerdekaan.”[1]
Adapun jenis atau bentuk kekerasan
terhadap perempuan (KtP) berbasis cyber yang kian marak terjadi dan dilaporkan
adalah revenge porn. Revenge porn merupakan kasus pornografi yang
baru di Indonesia namun seiring berjalannya waktu kian mengkahwatirkan. Di
Indonesia sendiri belum diketemukan pengertian mengenai revenge porn,
namun walaupun begitu definisi mengenai revenge porn dapat ditemui di
berbagai literatur asing, diantaranya sebagai berikut:
1) Michael
Salter dan Thomas Crofts pada jurnalnya mendefinisikan revenge porn sebagai
kategori pornografi online yang menyertakan video atau gambar amatir yangdibuat
sendiri atau dibuat dengan izin dari orang yang di gambarkan, tetapi kemudian disebarkan
atau didistribusikan tanpa persetujuan dari orang yang terlibat dalam video
maupun gambar tersebut. Hal inilah yang biasanya dilakukan untuk melampiaskan
rasa balas dendamnya setelah putusnya hubungan.
2) Carmen
M Cusack dalam bukunya memberikan definisi mengenai revenge porn sebagai
porografi yang diproduksi atau disebarkan oleh mantan pasanaganintimdengan
tujuan untuk mempermalukan dan melecehkan korban.
3) Menurut
kamus Cambridge Dictionary pengertian dari revenge porn adalah
gambaratau film seksual pribadi yang menampilkan orang tertentu yang ditayangkan
diinternet oleh mantan pasangan sebagai upaya untuk menghukum atau menyakiti
korban.
Dari beberapa pengertian yang telah
dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian revenge porn
adalah menyebarluaskan konten pornografi yang dilakukan oleh ex-partner dengan
tujuan balas dendam karena merasa sakit hati setelah kandasnya hubungan. Revenge
porn bukan seperti penyebaran pornografi pada umumnya. Penyebaran revenge
porn memiliki ciri khas yang membedakan dengan penyebaran pornografi seperti
biasanya. Ciri khas mengenai penyebaran revenge porn tersebut yaitu:[2]
1) Perbuatan
penyebarluasan informasi informasi bermuatan pornografi.
2) Perolehan
informasi bermuatan pornografi dari hubungan asmara antara pelaku dan korban.
3) Tujuan
perbuatan untuk membalaskan sakit hati atau dendam pelaku akibat perbuatan
korban kepada dirinya.
Melihat dari dari ketiga ciri khas yang
ada diatas, dapat disimpulkan bahwa yang membedakan antara penyebaran revenge
porn dengan penyebaran pornografi pada umunnya adalah penyebaran pornografi
tersebut bukan hanya semata-mata bermaksud supaya orang lain mengetahui materi
pornogarfi tersebut, penyebarluasan materi pornografi pada revenge porn
memiliki tujuan untuk membalaskan rasa sakit hatinya atau balas dendam karena
kandasnya hubungan percintaan dan dengan menyebarkan materi pornografi yang
memuat gambar, foto atau video dari mantan pasangan tersebut agar korban atau
mantan pasangan merasa malu atau direndahkan kehormatannya.
Pornografi balas dendam atau Revenge
Porn merupakan tindakan balas dendam yang melibatkan penyebaran materi
pornografi dari seseorang, baik diperoleh secara sukarela atau secara paksa.
Tujuan dari Revenge Porn adalah untuk melakukan balas dendam demi membalaskan
rasa sakit hati terhadap korban. Nadya Karima Melati, seorang peneliti dari Support
Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) sebuah organisasi
yang berfokus pada masalah pendidikan seksual komprehensif, menjelaskan bahwa
revenge porn atau balas dendam porno merupakan bentuk pemaksaan dan ancaman
terhadap seseorang, umumnya perempuan, untuk menyebarkan konten porno berupa
foto atau video yang pernah dikirimkan kepada pelaku. Tujuan dari perilaku ini
adalah untuk mempermalukan, mengucilkan dan menghancurkan hidup korban.[3]
Pornografi balas dendam (revenge porn)
merujuk pada ancaman atau distribusi materi tanpa persetujuan yang dilakukan
oleh teman, pacar, atau mantan pacar sebagai respons terhadap kekecewaan
mendalam, perasaan terluka, keinginan untuk mempertahankan hubungan, atau untuk
memaksa korban agar memenuhi tuntutan pelaku. Tindakan ini seringkali
melibatkan ancaman, intimidasi, atau paksaan terhada korban. Perbuatan tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk menjelekan nilai sosial korban, mencemarkan nama
baik korban dan juga menurunkan harga diri korban serta bisa dilakukan dengan
tujuan “balas dendam”. Pada umumnya, pelaku revenge porn berasal dari
lingkaran dekat korban, seperti keluarga, pacar, atau mantan pacar, dan
kejahatan ini seringkali terkait dengan tindakan kejahatan cyber.[4]
Revenge porn
memberikan dampak yang serius bagi korbannya. Walaupun hal tersebut dilakukan
secara daring atau online, dampak yang dirasakan korban dapat berimbas juga di
kehidupan nyata. Dampak yang menimpa korban dari revenge porn tersebut
diantaranya sebagai berikut:[5]
1) Konten
pornografi yang tersebar dapat menyebabkan terhambatnya karir korban dalam
pekerjaan, selain itu korban juga mendapatkan reputasi buruk dan bahkan tidak
akan memperoleh pekerjaan.
2) Dengan
tersebarnya konten pornografi tersebut menyebabkan korban mendapatkan komentar
miring dan dipermalukan oleh banyak orang, hal tersebut membuat korban rentan
melakukan tindakan nekat berupa bunuh diri karena merasa tertekan.
3) Korban
rentan mendapatkan ancaman dan pemerasan dari pihak ketiga atau dari mantan
pasangannya dikarenakan orang tersebut telah melihat konten pornografi yang
telah tersebar luas di media internet.
4) Korban
dari revenge porn menghindari berbagai situs online karena merasa trauma
dan takut ketika melihat konten tersebut yang beredar luas di internet yang
berakibat terjadinya perundungan di media online terhadap korban, korban juga
menarik diri dari pergaulan lingkungannya di karenakan merasa tertekan dan
cemas.
5) Korban
dari revenge porn juga rentan mengalami gangguan kejiwaan berupa depresi
dan kecemasan.
6) Korban
akan mendapat pelecehan secara offline atau konvensional dari orang yang pernah
menonton penyebaran konten tersebut karena menganggap korban adalah perempuan
yang pantas untuk diperlakukan seperti demikian
b) Peraturan
Perundang-undangan yang Mengatur Tindak Pidana Pornografi Balas Dendam (revenge
porn)
a.
Revenge Porn
dalam KUHP
Situasi ini mengacu pada kondisi di mana
ketentuan terkait pornografi hanya dapat diberlakukan melalui KUHP, sementara
Undang-Undang Pornografi tidak memberikan landasan hukum yang cukup untuk
penerapan. Namun, menemukan situasi semacam itu sulit dilakukan karena cakupan
yang luas dari ketentuan undang-undang terkait pornografi.
KUHP merupakan undang-undang yang mengatur
kesusilaan secara luas karena dalam BAB XIV diatur mengenai kejahatan terhadap
kesusilaan, dan ruang lingkup terhadap kesusilaan yang diatur mencakup
penyebarluasan materi pornografi, perzinahan, pencabulan, dan termasuk
perjudian, penyebarluasan materi pornografi melalui internet tidak di atur
dalam KUHP. Dalam KUHP, perbuatan yang tergolong melanggar norma kesusilaan
disebut sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau delik kesusilaan.
Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP tersebut dengan sengaja telah
dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk memberikan
perlindungan bagi orang-orang yang dipandang perlu untuk mendapatkan
perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontuchte handelingen dan
terhadap perilaku-perilaku dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung
rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang
kepatutan-kepatutan di bidang kehidupan seksual baik ditinjau dari segi
pandangan masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana
perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat
setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.[6]
KUHP menyebut tiga objek, yaitu tulisan,
gambar, dan benda. Adapun yang termasuk benda ialah alat untuk mencegah dan
menggugurkan kehamilan. KUHP di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai
bentuk-bentuk kekerasan seksual. Tindak pidana kekerasan seksual yang diatur
dalam KUHP hanyalah tindak pidana pemerkosaan, tetapi KUHP memiliki pengaturan
mengenai larangan kepemilikan data yang melanggar asusila seperti Pasal 281,
Pasal 282, Pasal 283, Pasal 532, dan Pasal 533 KUHP, berikut ini merupakan
pasal-pasal yang mengatur kejahatan terhadap kesusilaan.
b.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
Dalam kasus revenge porn, pelaku dengan
sengaja menyebarkan konten porno korban dengan alasan balas dendam, sehingga
pelaku dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berbunyi :
“Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”
Namun, bunyi Pasal 27 ayat (1) UU ITE
telah menimbulkan banyaknya kontroversi di masyarakat. Kontroversi ini
diakibatkan oleh penggunaan kata melanggar kesusilaan dalam bunyi pasal
tersebut, mengingat bahwa UU ITE sendiri tidak memberikan penjelasan secara
rinci mengenai istilah melanggar kesusilaan tersebut. Nilai kesusilaan memiliki
cakupan yang sangat luas tergantung dari waktu serta kondisi saat terjadinya
suatu perbuatan, sedangkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tidak memberikan batasan
yang jelas. Hal inilah yang mengakibatkan bunyi pasal ini bersifat multitafsir
sehingga banyak masyarakat menyebutnya sebagai pasal karet.
Kerancuan yang terdapat pada bunyi Pasal
27 ayat (1) UU ITE menjadikan pasal tersebut tidak cukup baik untuk dijadikan
acuan dan dasar hukum dalam menangani kasus revenge porn. Selain itu
dalam UU ITE terkait hak untuk dihapuskan informasi yang merugikan bagi
seseorang. Ketetuan hukum tersebut diatur dalam Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3)
yang berbunyi :[7]
(1) “Kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi
melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan
atas persetujuan Orang yang bersangkutan”.
(2) “Setiap
Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan
gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini”;
(3) “Setiap
Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas
permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan”.
Ketentuan hukum tersebut memberikan hak
bagi pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat penggunaan informasi elektronik
di media elektronik. Hak yang diatur ada 3 (tiga) bentuk, yaitu hak untuk
memberikan persetujuan atas informasi yang ditampilkan di media internet, hak
untuk meminta ganti rugi, serta hak atas penghapusan informasi yang merugikan
dirinya oleh penyelenggara sistem elektronik. UU ITE mengatur bahwa korban
berhak mendapatkan hak untuk dilupakan. Hal ini sangat bermanfaat mengingat
terancamnya reputasi korban revenge porn yang foto-foto pribadinya tersebar di
media maya. Namun, berkaca pada fakta di lapangan, proses penghapusan informasi
membutuhkan waktu yang sangat lama. Dengan proses yang sangat lambat, hal itu
menyebabkan konten pornografi tersebut terlanjut tersebar luas.
Untuk
Pasal 29 berbunyi:
“Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang
ditujukan secara pribadi.”
Sedangkan
untuk pasal 45 ayat (1) berbunyi :
“Setiap
orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).”
c.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi menyatakan bahwa pornografi merupakan setiap gambar, sketsa,
foto, tulisan, suara, kebisingan, gambar bergerak, animasi, sketsa obrolan,
gerak tubuh atau pesan lain yang dikirimkan melalui komunikasi dalam bentuk
apapun terkirim atau presentasi publik yang mengandung pelecehan seksual yang
tidak senonoh atau bertentangan dengan standar kesopanan masyarakat.[8]
Dalam UU Pornografi tidak memberi batasan
pegertian tindak pidana pornografi, tetapi UU Pornografi sekedar memuat batasan
pornografi dan merumuskan bentuk-bentuk tindak pidana pornografi [9]
Dalam kasus pornografi balas dendam
dijerat dengan Pasal 32 UU Pornografi yang berbunyi:
“Setiap
orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”[10]
Ketentuan pidana dalam UU Pornografi
diatur dalam Bab VII Pasal 29 sampai dengan Pasal 38. Pada dasarnya beberapa
ketentuan pidana dalam undang-undang ini dapat digunakan untuk menjerat pelaku
pornografi melalui internet, khususnya pada menyiarkan, mempertontonkan,
mempertunjukan atau menjadi model pornografi yang dilakukan melalui media
sosial berbasis live streaming video, seperti Pasal 29, Pasal 30, Pasal 34,
Pasal 36, dengan unsur perbuatannya seperti pada Pasal 29 dengan unsur
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi, Pasal 30 dengan unsur menyediakan jasa pornografi,
Pasal 34 dengan unsur menjadi objek atau model yang mengandung muatan
pornografi, Pasal 36 dengan unsur mempertontonkan diri atau orang lain dalam
pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi
seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi.
UU Pornografi tidak memberikan penjelasan
secara rinci tentang bagaimana cara menyiarkan, mempertontonkan, maupun
menyalahgunakan internet untuk penyebaran pornografi, namun berdasarkan
pengertian pornografi yang menyatakan media atau sarananya adalah melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum. Jika
memperhatikan Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 29 maka dapat dirinci bahwa yang
menjadi unsur dalam tindak pidana pornografi ada 2 hal yaitu perbuatan dan objeknya,
dimana unsur perbuatan tindak pidana pornografi terdiri dari memproduksi,
membuat, memperbanyak, menggandakan menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, menyediakan, meminjamkan
atau mengunduh, memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki,
menyimpan, mengajak, membujuk, melibatkan anak dan menyalahgunakan kekuasaan.
Perbuatan tindak pidana pornografi
terdapat tumpang tindih pengertian antara satu dengan yang lainnya seperti
pengertian memproduksi dengan membuat, memperbanyak dengan menggunakan,
menyebarluaskan dengan mengedarkan dan memperjualbelikan, hal ini juga
diperjelas dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan “penggunaan” termasuk memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki atau menyimpan, hal ini mempunyai akibat bahwa dalam
satu kasus tertentu maka dapat diterapkan dua atau tiga perbuatan pidana
sekaligus. Kekaburan dalam penerapan pasal sebagai pijakan terhadap semua
peraturan dan hukum akan berpengaruh dalam menerapkan aturan hukum pada suatu
peraturan yang konkret. Dalam penentuan pelaku tindak pidana pornografi dalam
UU Pornografi masih terdapat kejanggalan sebagaimana yang di atur pada Pasal 8,
9, dan 11 UU Pornografi, Pasal 8 mengatur “setiap orang dilarang dengan sengaja
atau persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan
pornografi”. Kemudian pasal 9 menyebutkan “setiap orang dilarang menjadikan
orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi”.
Selanjutnya pada pasal 11 mengatur bahwa
“setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan atau sebagai objek
pornografi”. Unsur sengaja yang terdapat dalam Pasal 8 UU Pornografi ini
disebutkan dengan kalimat “dengan sengaja”. Unsur “dengan sengaja” merupakan
unsur subjektif. Unsur subjektif yang berpengaruh dalam penentuan pelaku tindak
pidana pornografi untuk pertanggungjawaban pidananya di mana dalam pemeriksaan
di depan sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) wajib membuktikan bahwa perilaku
pelaku memenuhi unsur “dengan sengaja” (dolus/opzet/atau kesengajaan) tersebut.
Untuk mengetahui unsur “dengan sengaja” maka harus terdiri beberapa indikasi
seperti niat atau kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan
kejahatan tertentu; b) adanya perbuatan permulaan; c) perbuatan yang melanggar
hukum; dan d) adanya akibat dari perbuatannya. Menurut doktrin Yurisprudensi
menjelaskan unsur subjektif “dengan sengaja” adalah bahwa perbuatan yang
dilakukan terdakwa tersebut dilakukan dengan sengaja atau terdakwa menyadari
akan perbuatan yang dilakukannya akibat yang timbul dari perbuatannya. Merujuk
pada ketentuan Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang adalah
orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum”. Pemaknaan yang paling mendasar di dalam Undang-Undang
Pornografi yaitu tentang orang ini masih mempunyai artian yang sangat
multitafsir. Seharusnya di dalam undang-undang ini disebutkan dan dijelaskan
secara tegas tentang orang dalam artian sebagai “pelaku tindak pidana
pornografi” dan orang dalam artian sebagai “korban” tindak pidana pornografi.
d.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022
tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Kasus pornografi balas dendam atau revenge
porn telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meskipun
undang-undang ini tidak secara eksplisit menyebutkan definisi pornografi balas
dendam. Namun, dijelaskan bahwa kekerasan seksual dianggap sebagai pelanggaran
hak asasi manusia, tindak kejahatan terhadap martabat manusia dan bentuk
diskriminasi yang perlu dihilangkan. UU TPKS ini sendiri menjadi payung hukum
yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana kekerasan seksual di
Indonesia. Dalam UU TPKS ini pun diatur beberapa muatan seperti jenis-jenis
kekerasan seksual, perlindungan serta hak-hak dari korban, restitusi bagi
korban, hingga pengaturan terhadap Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang
lebih komprehensif dan mendalam.[11] Jika dikaitkan dengan
kasus revenge porn yang merupakan salah satu bentuk dari KBGO, maka kita dapat
melihat bahwa UU TPKS ini memiliki potensi untuk mengakomodasi permasalahan
tersebut.[12]
Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) UU TPKS
juga mengatur perbuatan lain diluar UU TPKS yang juga beririsan dengan
kekerasan seksual. Pasal ini disebut sebagai “pasal jembatan” yang
menghubungkan keberlakuan UU TPKS dalam mekanisme penyelesaian kasus dengan
undang-undang lainnya.[13] Sebagaimana bunyi Pasal 4
ayat (1) huruf I, KSBE sudah secara terang disebutkan sebagai satu tindak
pidana baru pasca pengesahan Undang-Undang ini. Penjelasan mengenai KSBE
terdapat pada Pasal 14 yang menyatakan:[14]
“(1) Setiap Orang yang tanpa hak:
a)
melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau
tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan
orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar;
b)
mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen
elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan
terhadap keinginan seksual; dan/atau
c)
melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan
sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen
elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual
berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud:
a)
untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa;
atau
b)
menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya
melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).”
Berdasarkan bunyi pasal tersebut
dapat diketahui bahwa tindak pidana dari KSBE terdiri dari tiga perbuatan,
yaitu:
a) Melakukan perekaman
dan/atau mengambil gambar
atau tangkapan layar yang
bermuatan seksual di luar
kehendak atau tanpa persetujuan orang
yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; dan/atau
b) Mentransmisikan
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar
kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual;
c) Melakukan penguntitan
dan/atau pelacakan menggunakan sistem
elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen
elektronik untuk tujuan seksual.[15]
c) Penyelesaian dan Penegakan Hukum
Terhadap Kasus Revenge Porn
Untuk menyelesaikan kasus revenge porn
melalui pengadilan maka dengan adanya Due process of law diartikan
sebagai seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar
beracara dalam hukum pidana yang berlaku universal. Penyelesaian suatu perkara
harus memenuhi due process of law, melalui pengadilan yang bebas dari pengaruh
apapun dan dari siapapun. Untuk dapat mencapai due process of law dengan baik,
salah satu yang dibutuhkan adalah dilakukannya proses pembuktian secara baik.
Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap
Jilid II, pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam
proses pemeriksaan sidang pengadilan. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat
bukti yang ditentukan Undang-Undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman.[16]
bahwa pembuktian harus didasarkan pada
setidaknya pada dua alat bukti yang sah. Pengertian alat bukti dirumuskan dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu: “Alat bukti yang sah ialah: (a) keterangan
saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; (e) keterangan terdakwa.”
Oleh karena itu, apabila diduga terjadi kekerasaan seksual, hal-hal yang dapat
digunakan untuk membantu pembuktian kasus kekerasan seksual adalah kelima hal
di atas. Dalam proses pembuktian kekerasan seksual pun, diharapkan aparat
penegak hukum tidak bersifat diskriminatif. Terutama, diharapkan tidak
menyalahkan korban ataupun memberikan stigma buruk kepada korban tersebut. Hal
ini dikarenakan korban yang telah bersedia datang dengan kondisi yang masih
merasa depresi, dan takut,tentunya butuh perlindungan bukan malah mendapati
tanggapan seseorang yang menyalahkan korban (Victim Blaming) yang dapat
memperburuk keadaan korban.[17]
Selain itu dalam, kelemahan mendasar
adalah terabaikannya hak korban kejahatan dalam proses penanganan perkara
pidana maupun akibat yang harus di tanggung oleh korban kejahatan, Korban yang
dihadapkan pada proses pengadilan mengalami penderitaan karena diharuskan untuk
mengulangi atau menceritakan kembali derita yang dirasakan. Proses tersebut
terbagi sebagai berikut:
a) Sebelum
Sidang Pengadilan, dalam keadaan sakit dan terganggu mental serta jiwanya
korban berusaha untuk membuat laporan kepada polisi. Hal tersebut dilakukan
oleh korban sebagai bagian dari pengumpulan bukti dengan menceritakan kembali
kejadian yang menimbulkan trauma kepada polisi. Tidak jarang korban juga merasa
ketakutan karena mendapatkan ancaman dari pelaku.
b) Selama
Sidang Pengadilan, dalam kondisi yang masih trauma terkadang korban berusaha
untuk tetap hadir di persidangan pengadilan sebagai saksi. Namun tanpa disadari
kehadiran korban dalam persidangan justru akan semakin membuka trauma secara
emosional karena korban dalam memberikan kesaksian harus mengulangi cerita
terhadap pelecehan seksual yang di alami. Dalam kesempatan yang sama, korban
juga harus di hadapkan kepada pelaku yang telah melakukan pelecehan seksual
kepadanya. Tidak jarang pembelaan atau keterangan dari pelaku justru
menyudutkan korban dan menjadikan korban memiliki andil atas kejahatan yang
terjadi. Posisi korban sendiri di wakili oleh Jaksa, namun kadang tidak dapat
memberikan keuntungan atau perlindungan yang maksimal bagi korban. Sehingga
sangat penting kedudukan pendamping bagi korban dalam menghadapi proses
peradilan.
c) Setelah
Sidang Pengadilan, ketika pelaku sudah di vonis bersalah, dan menjalani hukuman
di lembaga pemasyarakatan, kedudukan korban seringkali terlupakan terutama yang
berkaitan dengan ganti kerugian atas kejadian yang menimpa korban. Korban
terpaksa harus menanggung penderitaannya sendiri, dan bertanggung jawab atas
apa yang terjadi pada dirinya. Korbanpun dihantui rasa trauma, takut, karena
tidaknya pemulihan yang diberikan kepada korban.[18]
Kepentingan korban dalam penyelesaian
kasus revenge porn gagal terlindungi ketika penanganan kasus tidak di
lakukan secara optimal, permasalahan yang sering kali terjadi adalah tahap
ketika pemeriksaan laporan korban, keterbatasan penegek hukum dalam
mewawancarai korban sering kali merendahkan korban, korban kerap ditanyai
apakah menikmati persetubuhan tersebut dan dihadapkan dengan pelaku. Penegak
hukum juga kurang profesional dalam mengumpulkan alat bukti. Dalam pengumpulan
alat bukti, korban tak jarang juga tepaksa menghabiskan jutaan rupiah untuk
mendapatkan visum, perlakuan ini membuat korban kian trauma dan enggan
melaporkan kasus kekerasaan seksual yang di alaminya.
Penegakan hukum pidana terhadap kasus revenge
porn ini pada umumnya dilakukan dengan tiga tahapan yaitu: Pertama, Tahap
Formulasi, Peraturan yang membahas tentang pornografi dapat kita temui pada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP buku kedua Bab XIV Pasal 282
terkait Kejahatan Terhadap Kesusilaan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dan UU TPKS. Kedua, Tahap Aplikasi, Untuk menyelesaikan perkara pidana terdapat
beberapa tahap yang di lakukan diantaranya penyelidikan dan penyidikan yang
dilakukan oleh kepolisian dengan cara menangkap tersangka dan mengumpulkan
bukti-bukti, penuntutan yang dilakukan oleh jaksa dengan memberikan pembuktian
terhadap segala perkara yang ditangani, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
yang dilakukan oleh hakim, pada tahap ini juga akan disertai dengan pemberian
bukti bukti oleh jaksa penuntut umum, yang didapat atas hasil penyidikan dari
pihak kepolisian. Ketiga, Tahap Eksekusi, Pelaku tindak pidana penyebarluasan
Konten Pornografi.
Salah satu contoh kasus yang sedang ramai
menjadi perbincangan masyarakat saat ini mengenai tindakan kekerasan seksual
berbasis elektronik adalah kasus Rebecca Klopper (RK) seorang tokoh publik
figure yang terkenal di kalangan anak muda Indonesia, dimana namanya terseret
usai sebuah video syur tersebar di internet dan diduga perempuan dalam video
itu adalah dirinya. Setelah diselidiki, diduga kuat pelaku penyebaran konten
intim non-consensual itu adalah mantan kekasih RK yang telah melakukan
perekaman saat mereka sedang melakukan hubungan intim tetapi keadaan RK sedang
tidak sadarkan diri sehingga dia tidak menghendaki perekaman tersebut. Diduga
motif penyebaran ini adalah bentuk pelampiasan dari mantan RK karena dendam
masa lalu. Kasus ini telah dilaporkan oleh RK ke pihak kepolisian dan telah
diterima lalu telah dilanjutkan pada tahap penyidikan. Kekerasan seksual
berbasis elektronik yang dialami RK ini bisa menjerat pelaku dengan Pasal 14
ayat (1) poin a yaitu melakukan perekaman bermuatan seksual tanpa persetujuan
orang yang menjadi objek perekaman.[19]
2. Faktor-Faktor
Penghambat dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyebaran Konten
Kejahatan Pornografi Balas Dendam (Revenge Porn) di Media Sosial
Dalam penyelesaian kasus pornografi balas
dendam terdapat beberapa kendala atau hambatan, diantaranya :[20]
1) Belum
adanya implementasi UU TPKS yang seharusnya menjadi payung hukum khusus dalam
menyelesaikan kasus pornografi balas dendam dikarenakan belum adanya regulasi
turunan dari peraturan tersebut. Penyelesaian kasus masih mengacu pada KUHP, UU
ITE, dan UU Pornografi, Namun, ketiga regulasi tersebut tidak secara spesifik
memberikan jaminan perlindungan pada korban karena rumusannya yang sangat umum
dengan unsur-unsur yang terbatas.
2) Minimnya
Perpektif Gender dikalangan Aparat Penegak Hukum, instansi penegak hukum itu
sendiri harusnya dibarengi dengan peningkatan kualitas instrument hukum, mulai
dari kepolisian, dan kejaksaan. Dalam proses tegaknya hukum, profesionalisme
dalam arti kecakapan dan keterampilan serta kemampuan intelektual dalam bidang
tugasnya sangat diperlukan bagi aparat penegak hukum. Tujuannya adalah agar ia
mampu melaksanakan tugasnya dengan cepat, tepat tuntas dan memenuhi rasa
keadilan bagi pelaku, masyarakat, maupun korban. Mengingat rumusan tindak
pidana yang terbatas, tambah diperparah dengan minimnya perspektif gender dari
aparat penegak hukum. Kerap kali tindakan pornografi balas dendam (revenge
porn) yang bentuknya ancaman kepada korban dianggap bukan sebagai tindak
kekerasan atau kejahatan pidana, melainkan sebagai tindakan candaan belaka.
Asumsi ini muncul sebagai akibat dari dampak Kekerasan Berbasis Gender Online
(KBGO) yang dianggap “tidak tampak” atau tidak berimplikasi langsung terhadap
fisik, seperti tidak ada luka lebam atau tanda-tanda kekerasan fisik lainnya
yang dapat dilihat secara langsung. Padahal pornografi balas dendam (revenge
porn) memberikan dampak luar biasa secara psikologis dan dapat mempengaruhi
kondisi mental korban dalam jangka waktu yang lama.
3) Budaya
misoginis dan patriarki yang subur dan mengakar, budaya misoginis kerap
mengecilkan dan bahkan menormalisasi kekerasan dan/atau serangan terhadap
perempuan diranah online, sehingga tidak perlu ditangani. Budaya ini pula yang
kemudian mendorong tingginya victim blaming dan stigmatisasi terhadap
korban perempuan, sehingga mengakibatkan korban tidak mencari bantuan saat
mengalami kekerasan tersebut. Korban merasa malu untuk bersuara atau bahkan
sekedar untuk pembelaan diri. Hal ini dikarenakan mereka tidak memperoleh rasa
aman jika mereka mengungkapkan apa yang terjadi pada mereka. Budaya misoginis
dan patriarki yang masih kental dalam cara pikir aparat penegak hukum serta
pihak-pihak pemangku kewajiban lainnya membuat sebagian besar kasus-kasus KBGO
yang terlaporkan tidak ditanggapi dengan serius dan tidak terselesaikan dengan
adil. Patriarki dan pelanggengan nilai dan norma sosial, budaya dan agama
meletakkan moralitas sebagai faktor utama untuk mendefinisikan derajat perempuan.
Akibatnya, pendapat, sikap dan perilaku yang dianggap melanggar moral bisa
dijadikan alasan untuk membenarkan serangan ataupun kekerasan terhadap
perempuan. Hal ini kemudian membuat perempuan rentan untuk menjadi korban
berlapis dalam kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO. Perempuan yang
lebih sering dijadikan sasaran dan juga penghakiman sosial. Kemudian ini
berdampak pada kaburnya elemen-elemen kekerasan yang sebenarnya, seperti
pelanggaran atas consent, privasi, dan control atas data maupun informasi
personal. Perempuan yang menjadi korban dan bahkan menyalahkan diri sendiri
sebagai penyebab kekerasan berlapis yang terjadi kepadanya.
4) Penyebaran
foto ataupun video intim dianggap sebagai konsensual, aparat penegak hukum
sangat jarang menerapkan analisis konsensual berlapis. Korban kerap kali
dianggap telah menyetujui foto/video intim miliknya untuk disebarkan, karena ia
bersedia difoto dan/atau diambil video intimnya dan/atau membagikan foto
dan/atau video intimnya kepada pelaku. Padahal, persetujuan untuk
difoto/direkam tidak sama dengan persetujuan untuk disebarluaskan. Lebih lanjut
korban juga kerap mendapat stigma karena dianggap telah bersedia melakukan
aktivitas seksual, sekalipun perekaman maupun penyebarluasan foto/video
tersebut dilakukan tanpa persetujuan korban.
5) Penanganan
sering kali berakibat blacklash hukum penerapan pasal-pasal terkait kekerasan
seksual termasuk yang diatur dalam UU Pornografi dan UU ITE kerap kali
ditafsirkan sangat luas, sehingga justru bisa mengkriminalisasi korban. Dengan
penafsiran pasal yang sangat "karet” dan minimnya perspektif gender dari
aparat penegak hukum, korban dapat dikategorikan sebagai pelaku. Selain itu,
dalam beberapa kasus, korban justru diancam dengan pasal pencemaran nama baik
dalam UU ITE ketika melakukan call out publik.
Adapun Faktor lain penghambat dalam
penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana revenge porn adalah:
Pertama, Substansi Hukum (Undang-Undang), dalam UU ITE pengaturan tentang cyberporn
sangat terbatas sekali. Di mana hanya terdapat sedikit pasal yang mengaturnya,
serta secara eksplisit tentunya belum dapat dijadikan lex specialis terhadap
kejahatan pornografi atau cyberporn itu sendiri sedangkan dalam UU TPKS
belum adanya aturan turunan yang mengatur pelaksanaan dari Revenge Porn.
Kedua, Aparat Penegak Hukum, secara umum penyidik Polri masih sangat minim
dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer
serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus cyberporn.
Ketiga, Sarana dan Prasarana, untuk dapat membuktikan jejak para pelaku
kejahatan cyberporn di dalam menjalankan aksinya terutama yang
berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri yang
belum memadai karena belum ada komputer forensik. Keempat, Masyarakat, terkait
dengan kurangnya kepedulian masyarakat di dalam penegakan hukum dan
penanggulangan kejahatan cyberporn masih sering dirasakan, seperti
enggan untuk melapor jika mengetahui kejahatan cyberporn. Kelima,
Kebudayaan, kebudayaan masyarakat Indonesia ini semakin berkiblat pada budaya
asing. Salah satu contohnya adalah dalam hal berpacaran yang berbau seksual.
[1] Komnas Perempuan, Korban
Bersuara, Data Bicara: Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai Wujud Komitmen
Negara, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2019), hlm. 55.
[2] Hwian Christianto, “Konsep Hak
Untuk Dilupakan Sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn Berdasarkan Pasal 26
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Mimbar Hukum, Vol. 32, No.
2. 2020, hlm. 181.
[3] Nadya Karima Melati, “Bagaimana
Mencari Bantuan Dalam Kasus Revenge Porn”,
https://magdalene.co/story/bagaimana-mencari-bantuan-dalam-kasus-revenge-porn
diakses pada 22 April 2024 pukul 14:48.
[4] Teguh Prasetyo. Hukum Pidana Edisi
Revisi. Jakarta. Rajawali Pers. 2016. hlm 50.
[5] Samantha Bates, “Revenge Porn
and Mental Health: A Qualitative Analysis of the Mental Health Effects of
Revenge Porn on Female Survivors”, Sage Feminist Criminology, vol. 1, no.
21, 2016, 2.
[6] Ibid.
[7] Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
[8] Uneto, Nirmala Permata. “Penerapan
Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pornografi Menurut Undang-Undang No
44 Tahun 2008 Tentang Pornografi”. Jurnal Lex Crimen Vol. 7, No.7, (2018): 104
[9] Adami Chazawi, Tindak Pidana
Pornografi (Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Mengenai Tegaknya Tatanan
Kehidupan Akhlak dan Moral Kesusilaan Yang Menjunjung Tinggi Nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab), CV. Putra
Media Nusantara, Surabaya 2009, hal. 137.
[10] Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi
[11]
Farly Renaldy, dkk,”Sanksi
Pidana Terhadap Pelecehan Seksual Nonfisik Dalam Konteks Undang-Undang No 12
Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual”, Jurnal Fakultas Hukum
Unsrat Lex Privatum. Vol 13. No. 01. 2024.
[12]
Dea Tri Afrida, Sekstorsi
Sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam Sistem Hukum
di Indonesia, http://delicti.fhuk.unand.ac.id/index.php/jdc/article/view/2, di Akses pada 8 Januari 2024
pukul 14.00 WIB.
[13]
Rafilino Watak, 2023, Tindak
Pidana Pelecehan Seksual Secara Verbal dalam Hukum Positif di Indonesia”
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Lex Privatum
Vol.XII/No.1/jul/2023, hlm. 5.
[14] Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
[15]
Dea Tri Afrida, Sekstorsi
Sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam Sistem Hukum
di Indonesia, http://delicti.fhuk.unand.ac.id/index.php/jdc/article/view/2, di Akses pada 8 Januari 2024
pukul 14.00 WIB.
[16] Barda Nawawi Arief, Pembaharuan
Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti,
Bandung,, 2011, hal. 3
[17] Soedarto, Kapita Selekta Hukum
Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal 113
[18] Ibid.
[19]
Euggelia C.P Rumetor,
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Menurut
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,
Lex Privatum Vol.XI/No.5/jun/2023.
[20] Imelia Sintia, Analisi
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Sebagai Korban Pornografi Balas Dendam
(Revenge Porn) Vol 1 No 3 November 2021 hal 1-10 Fakultas Hukum, Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara diakses Jurnal Homepage:
http://jurnalmahasiswa.umsu.ac.id/index.php/jimhum pada 21 April 2024.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar