Criminal Law Reform: Analysis of Legal
Protection for Revenge Porn Victims
as a form Electronic-Based Sexual Violence/ Online
Gender-Based Violence
(Victims’ Rights)
Pembaharuan
Hukum Pidana : Analisis Perlindungan Hukum terhadap Korban Revenge Porn sebagai
Bentuk Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik/ Kekerasan Berbasis Gender Online
(Hak-hak Korban)
Utari Nelviandi, Pascasarjana Universitas
Lancang Kuning
Penggunaan media internet pada masa sekarang
merupakan hal yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan. Semakin banyaknya penggunaan
internet di Indonesia tidak hanya
memberikan keuntungan, akan
tetapi juga kerugian akibat penyalahgunaan
media internet sebagai sarana melakukan kejahatan, termasuk kekerasan seksual
di dunia digital. Kekerasan seksual terus bertransformasi mengikuti arus
perkembangan zaman. Ditengah masifnya informasi digital, kekerasan seksual
secara daring tidak dapat dihindari. Kekerasan seksual melalui media internet
semakin mengkhawatirkan karenanya koban terbanyak berasal dari kaum perempuan.
Komnas Perempuan sendiri mencatat pada tahun 2019 terjadi kenaikan pengaduan
mengenai hal ini, yang pada tahun sebelumnya 65 kasus menjadi 97 kasus. Komnas
Perempuan memberikan istilah terhadap kekerasan seksual melalui media internet
yaitu dengan “kekerasan terhadap perempuan (KtP) berbasis cyber”.
Kekerasan seksual yang banyak menyasar kaum perempuan ini juga termasuk dalam
kekekerasan berbasis gender. Adapun jenis atau bentuk kekerasan terhadap
perempuan (KtP) berbasis cyber yang kian marak terjadi dan dilaporkan
adalah revenge porn. Revenge porn merupakan kasus pornografi yang
baru di Indonesia namun seiring berjalannya waktu kian mengkahwatirkan.
Pornografi balas dendam atau Revenge Porn merupakan tindakan balas
dendam yang melibatkan penyebaran materi pornografi dari seseorang, baik
diperoleh secara sukarela atau secara paksa. Penyebaran revenge porn
memiliki ciri khas yang membedakan dengan penyebaran pornografi seperti
biasanya dan yang membedakan adalah penyebaran pornografi tersebut bukan hanya
semata-mata bermaksud supaya orang lain mengetahui materi pornogarfi tersebut,
penyebarluasan materi pornografi pada revenge porn memiliki tujuan untuk
membalaskan rasa sakit hatinya atau balas dendam karena kandasnya hubungan
percintaan dan dengan menyebarkan materi pornografi yang memuat gambar, foto
atau video dari mantan pasangan tersebut agar korban atau mantan pasangan
merasa malu atau direndahkan kehormatannya. Tujuan dari Revenge Porn
adalah untuk melakukan balas dendam demi membalaskan rasa sakit hati terhadap
korban.
Berdasarkan jurnal hukum
internasional yang ditulis oleh Roni Rosenberg and Hadar Dancig-Rosenberg dengan
judul “Revenge Porn In The Shadow of the First Amendment (Univerisity of
pennsylvania journal of constitutional law), Vol. 24 (2022) yang
dijelaskan bahwa pada kasus Revenge Porn korban dapat mengalami
kekerasan fisik maupun kekerasan non fisik. Kekerasan fisik bisa berupa verbal
bertujuan mengancam korban hingga mendominasi agar korban terpaksa menuruti
keinginan pelaku. Selain kekerasan fisik dan non fisik, korban juga menderita
kerugian yang kemudian dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan mereka antara
lain psikologi, tekanan mental, emosional, kerugian ekonomi, keterasingan
sosial, kehilangan kepercayaan diri, hingga mengisolasi diri dan mengalami
keterbatasan untuk berpartisikasi dalam ruang online maupun offline. Distribusi
non konsensual konten (gambar dan/atau video) intim tersebut dimotivasi
setidaknya oleh balas dendan setelah hubungan pelaku dan korban berakhir, hal
ini mengingat fakta bahwa perempuan adalah mayoritas korban dalam kasus seperti
ini. Meskipun istilah Revenge Porn namun konsep ini tidak mencakup
keseluruhan kasus dimana gambar atau video intim disebarluaskan tanpa
persetujuan, karena dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa tidak adanya hubungan
antara pelaku dan korban dengan motif mencari keuntungan finansial maupun
hiburan.
Dalam penelitian yang berjudul Revenge
Porn In The Shadow of the First Amendment ini juga dijelaskan bahwa persyaratan niat/ mens rea adalah mubazir dan kurangnya persetujuan
dari kesadaran
korban dan penyebar mengenai hal tersebut harus memadai pengakuan yakni:
1) Jika penyebar mengetahui bahwa korban tidak
memberikan persetujuannya dan tetap menyebarkan gambar tersebut, maka itu
merupakan indikasi yang jelas tentang dirinya persetujuan terhadap penyangkalan martabat
dan otonominya. Kemauan pihak penyebar untuk menghapus kepentingan tersebut
tidak bergantung pada keberadaannya bukan karena niat untuk menyakiti, melainkan
karena adanya pilihan untuk melakukan hal tersebut, meskipun penyebaran gambar
eksplisit merupakan konsekuensi dari motif lain atau minat.
2) Persyaratan kesengajaan akan menjadikan
pelanggaran hampir tidak dapat diterapkan, mengingat ada maksud yang jelas untuk
menyakiti atau melecehkan hanya pada sebagian kecil kasus. Dengan tidak
memvonis saat penyebarnya menyadari kurangnya persetujuan korban, sebuah
pesan dikirimkan oleh masyarakat bahwa tindakan seperti itu tidak berbahaya.
Selain itu, keputusan ini mengurangi pencegahan dan menyangkal pengakuan atas kerugian yang
ditimbulkan pada banyak korban.
3) Persyaratan kesengajaan dapat digunakan
oleh pembuat undang-undang untuk membatasi pelanggaran mengingat ketegangannya dengan nilai
sosial yang menebus. Hal ini terjadi di berbagai tempat pelanggaran yang melanggar kebebasan
berpendapat, mengingat kebebasan berpendapat itu merupakan nilai sosial yang penting. Seperti
yang kami jelaskan di atas, dalam hal balas dendam pornografi, perlindungan konstitusional
terhadap penyebar dan penerima kebebasan berpendapat harus sangat dibatasi karena alasan-alasan
tersebut kebebasan berpendapat dalam konteks ini tidak berlaku mengingat adanya
penghapusan otonomi korban.
Dalam penelitian jurnal hukum
internasional lainnya yakni dengan penulis Samantha Bates dengan judul “Revenge
Porn and Mental Health: A Qualitative Analysis of the Mental Health Effects of
Revenge Porn on Female Survivors” Sage Feminist Criminology, Vol. 1,
No. 21, 2016 dalam jurnal ini dijelaskan bahwa “Sexual assault survivors
commonly experience numerous mental health issues, such as PTSD, depression,
anxiety, self-blame, substance abuse, and denial/avoidance.” Dalam jurnal
ini disebutkan juga Revenge porn memberikan dampak yang serius bagi
korbannya. Walaupun hal tersebut dilakukan secara daring atau online, dampak
yang dirasakan korban dapat berimbas juga di kehidupan nyata. Dampak yang menimpa
korban dari revenge porn tersebut diantaranya sebagai berikut: a). Konten
pornografi yang tersebar dapat menyebabkan terhambatnya karir korban dalam
pekerjaan, selain itu korban juga mendapatkan reputasi buruk dan bahkan tidak
akan memperoleh pekerjaan; b).Dengan tersebarnya konten pornografi tersebut
menyebabkan korban mendapatkan komentar miring dan dipermalukan oleh banyak
orang, hal tersebut membuat korban rentan melakukan tindakan nekat berupa bunuh
diri karena merasa tertekan; c). Korban rentan mendapatkan ancaman dan
pemerasan dari pihak ketiga atau dari mantan pasangannya dikarenakan orang
tersebut telah melihat konten pornografi yang telah tersebar luas di media
internet; d). Korban dari revenge porn menghindari berbagai situs online
karena merasa trauma dan takut ketika melihat konten tersebut yang beredar luas
di internet yang berakibat terjadinya perundungan di media online terhadap
korban, korban juga menarik diri dari pergaulan lingkungannya di karenakan
merasa tertekan dan cemas; e). Korban dari revenge porn juga rentan
mengalami gangguan kejiwaan berupa depresi dan kecemasan; dan f). Korban akan
mendapat pelecehan secara offline atau konvensional dari orang yang pernah
menonton penyebaran konten tersebut karena menganggap korban adalah perempuan
yang pantas untuk diperlakukan seperti demikian. Maka dari itu begitu luas dan
besarnya dampak dari korban Revenge Porn ini sehingga perlunya aturan
hukum yang lebih komprehensif untuk melindungi hak-hak korban.
Pada awalnya pengaturan terkait
kekerasan berbasis gender online/ kekerasan seksual berbasis elektronik
khususnya Revenge Porn pengaturannya dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Namun praktiknya terhadap ketiga hukum positif ini telah menimbulkan
problematika pengaturan Revenge Porn di Indonesia. Seringkali ketentuan
dalam UU ITE menimbulkan ketidakpastian, inkonsistensi antara penegak hukum
serta aturan yang tumpang tindih dengan ketentuan yang ada dalam KUHP. Bahkan
tidak sedikit yang menjadikan UU ITE sebagai alat untuk melakukan kriminalisasi
terhadap korban yang sudah seharusnya dilindungi secara hukum.
Salah satu ketentuan yang mempengaruhi
inkonsistensi penegakan hukum Revenge Porn ini di Indonesia terdapat
dalam Pasal 27 UU ITE yang mana saat dihadapkan dengan kasus dimana pemeran
dalam gambar atau video didasarkan pada kesepakatan untuk melakukan perekaman
namun tidak untuk disebarluaskan. Dalam kasus seperti ini, sering terjadi
dimana pihak ketiga melakukan pencurian gambar atau video untuk disalahgunakan
dan disebarluaskan. Sehingga atas hal ini menimbulkan adanya posibilitas bahwa pemeran
gambar atau video bermuatan pornografi ikut terjerat hukum karena tidak adaya
batasan terkait unsur “membuat dapat diaksesnya.” Pengecualian ini dirasa telah
menimbulkan ambiguitas dengan tidak adanya kepastian hukum terkait tindakan
yang termasuk pengecualian atas “kepentingan sendiri” sehingga penegakan
hukumnya seringkali dilekatkan pada subjektivitas hakim dalam menilai. Hal ini
terjadi dikarenakan lemahnya kerangka hukum perlindungan bagi korban KBGO
menurut hukum positif di Indonesia. Belum memadainya peraturan
perundang-undangan dalam mengatasi kasus Revenge Porn sangat berdampak
pada perlindungan hukum, serta akses keadilan bagi korban dan pemenuhan hak atas
perlindungan, pemulihan dan penanganan terhadap korban.
Lahirnya Undang-undang Nomor 12 tahun
2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai payung hukum dan
angin segar terhadap persoalan kekerasan seksual berbasisi gender terutama
dalam kasus Revenge Porn di Indonesia dan tentunya memberikan kepastian
dan perlindungan hukum yang komprehensif bagi korban. Pada pasal 14 ayat (1)
dan ayat (2) UU TPKS telah mengatur terkait dengan eksistensi kekerasan seksual
berbasis elektronik/ kekerasan seksual berbasis gender online dengan maksud Revenge
Porn atau sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 ayat (2) UU TPKS adalah
melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, menyesatkan dan memperdaya, maka
diancam pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp. 300
Juta. Dengan ketentuan yang ada pada UU TPKS saat ini, maka aparat penegak
hukum telah memiliki legal standing atau alas untuk dapat menangani
setiap persoalan kekerasan seksual khususnya Revenge Porn di media
sosial.
Merujuk pada pasal 1 angka 16 UU TPKS, disebutkan bahwa Hak Korban
adalah hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan yang didapatkan,
digunakan, dan dinikmati oleh Korban dan pada pasal Pasal 66 ayat (1) disebutkan
bahwa Korban berhak atas Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan sejak
terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Penanganan adalah tindakan yang dilakukan
untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi sosial,
penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial (Pasal 1
angka 17 UU TPKS). Pelindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan
untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan
oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 1 angka 18 UU TPKS). Dan Pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan
kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial Korban (Pasal 1 angka 19 UU TPKS). Hak Korban Kekerasan
Seksual dalam UU TPKS tersebut dijabarkan dalam Pasal 68-70.
Pentingnya perubahan secara mendasar terkait ketentuan hak penanganan bagi korban kekerasan seksual di
dalam UU TPKS dapat dilihat beberapa hal. Pertama mengenai ketentuan hak penanganan ini menjamin hak korban untuk
mendapat pelayanan kesehatan yang dijamin oleh negara. Pelayanan kesehatan ini
wajib diberikan pada korban kekerasan seksual tanpa membedakan jenis kelamin
dan status korban dewasa atau anak-anak. Pelayanan kesehatan yang diberikan
berupa pelayanan kesehatan secara mental maupun psikis dipenuhi melalui
fasilitas negara. Kedua dekonstruksi ketentuan hak atas penanganan ini menjamin
hak korban mendapatkan pelayanan hukum.
Mengenai hak atas pelindungan bagi korban kekerasan seksual dalam UU TPKS
menjamin hak korban dalam tiga hal. Pertama, korban kekerasan seksual akan
terlindungi secara hukum dari ancaman fisik, kerahasian identitas dan ancaman
hukum pidana maupun perdata dari pelaku. Ketentuan ini menutup celah pelaku
untuk melemahkan korban melalui pelaporan pidana. Kedua korban kekerasan
seksual mendapat jaminan secara hukum atas perilaku yang merendahkan korban
dari aparat penegak hukum tentunya aparat penegak hukum (APH) yang punya
persepktif sensitive gender baik serta berpihak kepada korban. Ketiga, korban kekerasan seksual yang berada
dilingkungan pendidikan dan pekerjaan terjamin hak hukumnya untuk dilindungi
dari tindakan sepihak berupa pemecatan dan pemindahan.
Mengenai hak atas pemulihan memberikan jaminan
bagi korban untuk dapat kembali dalam kehidupan yang normal. Pemenuhan hak atas
pemulihan ini meliputi tiga hal. Pertama, rehabilitasi medis dan mental. Kedua rehabilitasi
sosial, rehabilitasi sosial ini merupakan upaya untuk mengembalikan kemampuan
dan kepercayaan diri korban berinteraksi dalam kehidupan masyarakat. Ketiga rehabilitasi
material, rehabilitasi material ini dilakukan dengan memberikan kompensasi dan
restistusi.
Salah satu hak pemulihan yang sangat penting diterapkan bagi korban
KBGO yakni pada kasus Revenge Porn adalah hak atas penghapusan/ pembekuan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan
seksual dengan media elektronik. Konsep ini disebut sebagai Right to be
Forgotten (RTBF). RTBF merupakan hak
asasi manusia, sehingga negara wajib untuk respect, protect dan fulfill
melalui pembentukan peraturan turunan mengenai mekanisme RTBF.
Dalam jurnal internasional yang ditulis
oleh Sayid Mohammad Rifqi Noval dengan judul “The Challenge of Indonesia in
Applying the Right to Be Forgotten.” (International Journal of Crime,
Law and Social Issues, Vol. 5 No. 2, 2018). Dimana dalam penelitian ini
membandingkan bagaimana penerapan RtBF di Indonesia dengan Eropa. Terdapat 2
(dua) perbedaan mencolok yakni, Pertama, di Eropa, implementasi RtBF ini
ditujukan pada mesin pencari seperti Google, Yahoo, dan sebagainya. Mesin
pencari ini akan menghapus hasil pencarian mengenai data pribadi ketika nama
pemilik data tersebut dituliskan. Namun, informasi tersebut masih bisa dicari
di situs terkait. Sedangkan di Indonesia, penerapan RtBF ini dibebankan pada
pemilik data untuk lebih proaktif dalam permohonan penghapusan data. Untuk
mekanisme yang sama di Eropa masih memiliki tantangan terkhusus perlunya suatu
peraturan teknis mengenai implementasi peraturan yang sudah ada. Ia meneliti
tentang tantangan Indonesia dalam penerapan RtBF secara umum. Pada dasarnya,
penerapannya masih belum cukup baik jika dibandingkan dengan Eropa yang bisa
secara langsung meminta kepada mesin pencari di Internet untuk melakukan
penghapusan konten yang ingin dihapuskan. Maka dari itu, Indonesia harus segera menyiapkan peraturan
pemerintah dalam menanggapi RTBF, mengingat potensi masalah jika tidak ada
instrumen implementasi yang rinci. Serta untuk lebih menentukan pihak yang
berwenang menilai setiap permohonan yang diajukan berdasarkan RTBF.
Saat ini, tata cara atau mekanisme aturan turunan berkaitan dengan teknis penanganan, pelindungan dan
pemulihan Korban diatribusikan menjadi Peraturan Pemerintah sebagaimana Pasal
66 UU TPKS sampai detik ini sejak undang-undang ini disahkan belum
dibentuk sehingga implementasi dalam pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual
berbasis elektronik belum optimal bahkan cenderung belum dilaksanakan berbagai
upaya penanganan, pelindungan dan pemulihan koban KSBE Hal inilah yang membuat
kasus KSBE Terus meningkat tajam ibarat seperti fenomena gunung es dimana kasus
yang terjadi lebih tinggi daripada yang terlaporkan dikarenakan banyak korban
yang takut untuk speak up atau melaporkan kasus yang dialami dikarenakan
beberapa faktor mulai dari victim blaming, traumatis, dan aparat yang
tidak berpihak pada korban.
Mengenai perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dalan kasus Revenge Porn sudah diatur secara komprehensif di dalam UU TPKS. Hal ini tercermin dari beberapa muatan seperti jenis-jenis kekerasan seksual berbasis gender online/ kekerasan seksual berbasis elektronik seperti Revenge Porn, hak-hak korban yang diatur secara terperinci, mekanisme pemberian restitusi bagi korban, pembekuan konten pornografi yang tersebar hingga kualifikasi dari penegak hukum yang diharuskan memiliki integritas dan kompentensi terhadap isu kekerasan seksual. Tentunya semua pengaturan ini memberikan sinyal positif bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksul di Indonesia apabila di Implementasikan denagn baik oleh aparat penegak hukum. Namun agar ketentuan ini dapat diimplementasikan maka perlu dibentuk peraturan pelaksana khususnya berkaitan dengan hukum acara. Selain itu diperlukan juga melakukan revisi pada Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Pornografi agar tindak pidana yang beririsan dengan seksualitas/asusila pada kedua undang-undang tersebut dianggap sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) sehingga hak-hak korban dapat dipenuhi secara maksimal sebagaimana pengaturan dalam UU TPKS dan UU perlindungan saksi dan korban yang belum megatur secara komprehensif terkait perlindungan korban.
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL
INTERNASIONAL
Roni Rosenberg and Hadar
Dancig-Rosenberg, “Revenge Porn In The Shadow of the First Amendment
(Univerisity of pennsylvania journal of constitutional law), Vol. 24
(2022).
Samantha Bates,“Revenge Porn and
Mental Health: A Qualitative Analysis of the Mental Health Effects of Revenge
Porn on Female Survivors” Sage Feminist Criminology, Vol. 1, No. 21,
2016.
Sayid Mohammad Rifqi Noval, “The
Challenge of Indonesia in Applying the Right to Be Forgotten.” (International
Journal of Crime, Law and Social Issues, Vol. 5 No. 2, 2018).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar