Kamis, 07 November 2024

Criminal Law Reform: Analysis of Legal Protection for Revenge Porn Victims as a form Electronic-Based Sexual Violence/ Online Gender-Based Violence (Victims’ Rights)

 

Criminal Law Reform: Analysis of Legal Protection for Revenge Porn Victims

as a form Electronic-Based Sexual Violence/ Online Gender-Based Violence

 (Victims’ Rights)

Pembaharuan Hukum Pidana : Analisis Perlindungan Hukum terhadap Korban Revenge Porn sebagai Bentuk Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik/ Kekerasan Berbasis Gender Online

 (Hak-hak Korban)

 

Utari Nelviandi, Pascasarjana Universitas Lancang Kuning

 

        Penggunaan media internet pada masa sekarang merupakan hal yang sangat penting bagi pemenuhan  kebutuhan. Semakin banyaknya penggunaan internet di Indonesia tidak hanya  memberikan  keuntungan,  akan  tetapi  juga kerugian akibat penyalahgunaan media internet sebagai sarana melakukan kejahatan, termasuk kekerasan seksual di dunia digital. Kekerasan seksual terus bertransformasi mengikuti arus perkembangan zaman. Ditengah masifnya informasi digital, kekerasan seksual secara daring tidak dapat dihindari. Kekerasan seksual melalui media internet semakin mengkhawatirkan karenanya koban terbanyak berasal dari kaum perempuan. Komnas Perempuan sendiri mencatat pada tahun 2019 terjadi kenaikan pengaduan mengenai hal ini, yang pada tahun sebelumnya 65 kasus menjadi 97 kasus. Komnas Perempuan memberikan istilah terhadap kekerasan seksual melalui media internet yaitu dengan “kekerasan terhadap perempuan (KtP) berbasis cyber”. Kekerasan seksual yang banyak menyasar kaum perempuan ini juga termasuk dalam kekekerasan berbasis gender. Adapun jenis atau bentuk kekerasan terhadap perempuan (KtP) berbasis cyber yang kian marak terjadi dan dilaporkan adalah revenge porn. Revenge porn merupakan kasus pornografi yang baru di Indonesia namun seiring berjalannya waktu kian mengkahwatirkan. Pornografi balas dendam atau Revenge Porn merupakan tindakan balas dendam yang melibatkan penyebaran materi pornografi dari seseorang, baik diperoleh secara sukarela atau secara paksa. Penyebaran revenge porn memiliki ciri khas yang membedakan dengan penyebaran pornografi seperti biasanya dan yang membedakan adalah penyebaran pornografi tersebut bukan hanya semata-mata bermaksud supaya orang lain mengetahui materi pornogarfi tersebut, penyebarluasan materi pornografi pada revenge porn memiliki tujuan untuk membalaskan rasa sakit hatinya atau balas dendam karena kandasnya hubungan percintaan dan dengan menyebarkan materi pornografi yang memuat gambar, foto atau video dari mantan pasangan tersebut agar korban atau mantan pasangan merasa malu atau direndahkan kehormatannya. Tujuan dari Revenge Porn adalah untuk melakukan balas dendam demi membalaskan rasa sakit hati terhadap korban.

        Berdasarkan jurnal hukum internasional yang ditulis oleh Roni Rosenberg and Hadar Dancig-Rosenberg dengan judul “Revenge Porn In The Shadow of the First Amendment (Univerisity of pennsylvania journal of constitutional law), Vol. 24 (2022) yang dijelaskan bahwa pada kasus Revenge Porn korban dapat mengalami kekerasan fisik maupun kekerasan non fisik. Kekerasan fisik bisa berupa verbal bertujuan mengancam korban hingga mendominasi agar korban terpaksa menuruti keinginan pelaku. Selain kekerasan fisik dan non fisik, korban juga menderita kerugian yang kemudian dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan mereka antara lain psikologi, tekanan mental, emosional, kerugian ekonomi, keterasingan sosial, kehilangan kepercayaan diri, hingga mengisolasi diri dan mengalami keterbatasan untuk berpartisikasi dalam ruang online maupun offline. Distribusi non konsensual konten (gambar dan/atau video) intim tersebut dimotivasi setidaknya oleh balas dendan setelah hubungan pelaku dan korban berakhir, hal ini mengingat fakta bahwa perempuan adalah mayoritas korban dalam kasus seperti ini. Meskipun istilah Revenge Porn namun konsep ini tidak mencakup keseluruhan kasus dimana gambar atau video intim disebarluaskan tanpa persetujuan, karena dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa tidak adanya hubungan antara pelaku dan korban dengan motif mencari keuntungan finansial maupun hiburan.

        Dalam penelitian yang berjudul Revenge Porn In The Shadow of the First Amendment ini juga dijelaskan bahwa persyaratan niat/ mens rea adalah mubazir dan kurangnya persetujuan dari kesadaran korban dan penyebar mengenai hal tersebut harus memadai pengakuan yakni:

1)      Jika penyebar mengetahui bahwa korban tidak memberikan persetujuannya dan tetap menyebarkan gambar tersebut, maka itu merupakan indikasi yang jelas tentang dirinya persetujuan terhadap penyangkalan martabat dan otonominya. Kemauan pihak penyebar untuk menghapus kepentingan tersebut tidak bergantung pada keberadaannya bukan karena niat untuk menyakiti, melainkan karena adanya pilihan untuk melakukan hal tersebut, meskipun penyebaran gambar eksplisit merupakan konsekuensi dari motif lain atau minat.

2)      Persyaratan kesengajaan akan menjadikan pelanggaran hampir tidak dapat diterapkan, mengingat ada maksud yang jelas untuk menyakiti atau melecehkan hanya pada sebagian kecil kasus. Dengan tidak memvonis saat penyebarnya menyadari kurangnya persetujuan korban, sebuah pesan dikirimkan oleh masyarakat bahwa tindakan seperti itu tidak berbahaya. Selain itu, keputusan ini mengurangi pencegahan dan menyangkal pengakuan atas kerugian yang ditimbulkan pada banyak korban.

3)      Persyaratan kesengajaan dapat digunakan oleh pembuat undang-undang untuk membatasi pelanggaran mengingat ketegangannya dengan nilai sosial yang menebus. Hal ini terjadi di berbagai tempat pelanggaran yang melanggar kebebasan berpendapat, mengingat kebebasan berpendapat itu merupakan nilai sosial yang penting. Seperti yang kami jelaskan di atas, dalam hal balas dendam pornografi, perlindungan konstitusional terhadap penyebar dan penerima kebebasan berpendapat harus sangat dibatasi karena alasan-alasan tersebut kebebasan berpendapat dalam konteks ini tidak berlaku mengingat adanya penghapusan otonomi korban.

        Dalam penelitian jurnal hukum internasional lainnya yakni dengan penulis Samantha Bates dengan judul “Revenge Porn and Mental Health: A Qualitative Analysis of the Mental Health Effects of Revenge Porn on Female Survivors” Sage Feminist Criminology, Vol. 1, No. 21, 2016 dalam jurnal ini dijelaskan bahwa “Sexual assault survivors commonly experience numerous mental health issues, such as PTSD, depression, anxiety, self-blame, substance abuse, and denial/avoidance.” Dalam jurnal ini disebutkan juga Revenge porn memberikan dampak yang serius bagi korbannya. Walaupun hal tersebut dilakukan secara daring atau online, dampak yang dirasakan korban dapat berimbas juga di kehidupan nyata. Dampak yang menimpa korban dari revenge porn tersebut diantaranya sebagai berikut: a). Konten pornografi yang tersebar dapat menyebabkan terhambatnya karir korban dalam pekerjaan, selain itu korban juga mendapatkan reputasi buruk dan bahkan tidak akan memperoleh pekerjaan; b).Dengan tersebarnya konten pornografi tersebut menyebabkan korban mendapatkan komentar miring dan dipermalukan oleh banyak orang, hal tersebut membuat korban rentan melakukan tindakan nekat berupa bunuh diri karena merasa tertekan; c). Korban rentan mendapatkan ancaman dan pemerasan dari pihak ketiga atau dari mantan pasangannya dikarenakan orang tersebut telah melihat konten pornografi yang telah tersebar luas di media internet; d). Korban dari revenge porn menghindari berbagai situs online karena merasa trauma dan takut ketika melihat konten tersebut yang beredar luas di internet yang berakibat terjadinya perundungan di media online terhadap korban, korban juga menarik diri dari pergaulan lingkungannya di karenakan merasa tertekan dan cemas; e). Korban dari revenge porn juga rentan mengalami gangguan kejiwaan berupa depresi dan kecemasan; dan f). Korban akan mendapat pelecehan secara offline atau konvensional dari orang yang pernah menonton penyebaran konten tersebut karena menganggap korban adalah perempuan yang pantas untuk diperlakukan seperti demikian. Maka dari itu begitu luas dan besarnya dampak dari korban Revenge Porn ini sehingga perlunya aturan hukum yang lebih komprehensif untuk melindungi hak-hak korban.

        Pada awalnya pengaturan terkait kekerasan berbasis gender online/ kekerasan seksual berbasis elektronik khususnya Revenge Porn pengaturannya dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun praktiknya terhadap ketiga hukum positif ini telah menimbulkan problematika pengaturan Revenge Porn di Indonesia. Seringkali ketentuan dalam UU ITE menimbulkan ketidakpastian, inkonsistensi antara penegak hukum serta aturan yang tumpang tindih dengan ketentuan yang ada dalam KUHP. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan UU ITE sebagai alat untuk melakukan kriminalisasi terhadap korban yang sudah seharusnya dilindungi secara hukum.

        Salah satu ketentuan yang mempengaruhi inkonsistensi penegakan hukum Revenge Porn ini di Indonesia terdapat dalam Pasal 27 UU ITE yang mana saat dihadapkan dengan kasus dimana pemeran dalam gambar atau video didasarkan pada kesepakatan untuk melakukan perekaman namun tidak untuk disebarluaskan. Dalam kasus seperti ini, sering terjadi dimana pihak ketiga melakukan pencurian gambar atau video untuk disalahgunakan dan disebarluaskan. Sehingga atas hal ini menimbulkan adanya posibilitas bahwa pemeran gambar atau video bermuatan pornografi ikut terjerat hukum karena tidak adaya batasan terkait unsur “membuat dapat diaksesnya.” Pengecualian ini dirasa telah menimbulkan ambiguitas dengan tidak adanya kepastian hukum terkait tindakan yang termasuk pengecualian atas “kepentingan sendiri” sehingga penegakan hukumnya seringkali dilekatkan pada subjektivitas hakim dalam menilai. Hal ini terjadi dikarenakan lemahnya kerangka hukum perlindungan bagi korban KBGO menurut hukum positif di Indonesia. Belum memadainya peraturan perundang-undangan dalam mengatasi kasus Revenge Porn sangat berdampak pada perlindungan hukum, serta akses keadilan bagi korban dan pemenuhan hak atas perlindungan, pemulihan dan penanganan terhadap korban.

        Lahirnya Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai payung hukum dan angin segar terhadap persoalan kekerasan seksual berbasisi gender terutama dalam kasus Revenge Porn di Indonesia dan tentunya memberikan kepastian dan perlindungan hukum yang komprehensif bagi korban. Pada pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UU TPKS telah mengatur terkait dengan eksistensi kekerasan seksual berbasis elektronik/ kekerasan seksual berbasis gender online dengan maksud Revenge Porn atau sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 ayat (2) UU TPKS adalah melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, menyesatkan dan memperdaya, maka diancam pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp. 300 Juta. Dengan ketentuan yang ada pada UU TPKS saat ini, maka aparat penegak hukum telah memiliki legal standing atau alas untuk dapat menangani setiap persoalan kekerasan seksual khususnya Revenge Porn di media sosial.

        Merujuk pada pasal 1 angka 16 UU TPKS, disebutkan bahwa Hak Korban adalah hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh Korban dan pada pasal Pasal 66 ayat (1) disebutkan bahwa Korban berhak atas Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Penanganan adalah tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial (Pasal 1 angka 17 UU TPKS). Pelindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 18 UU TPKS). Dan Pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial Korban (Pasal 1 angka 19 UU TPKS). Hak Korban Kekerasan Seksual dalam UU TPKS tersebut dijabarkan dalam Pasal 68-70.

        Pentingnya perubahan secara mendasar terkait ketentuan hak penanganan bagi korban kekerasan seksual di dalam UU TPKS dapat dilihat beberapa hal. Pertama mengenai ketentuan hak penanganan ini menjamin hak korban untuk mendapat pelayanan kesehatan yang dijamin oleh negara. Pelayanan kesehatan ini wajib diberikan pada korban kekerasan seksual tanpa membedakan jenis kelamin dan status korban dewasa atau anak-anak. Pelayanan kesehatan yang diberikan berupa pelayanan kesehatan secara mental maupun psikis dipenuhi melalui fasilitas negara. Kedua dekonstruksi ketentuan hak atas penanganan ini menjamin hak korban mendapatkan pelayanan hukum.

        Mengenai hak atas pelindungan bagi korban kekerasan seksual dalam UU TPKS menjamin hak korban dalam tiga hal. Pertama, korban kekerasan seksual akan terlindungi secara hukum dari ancaman fisik, kerahasian identitas dan ancaman hukum pidana maupun perdata dari pelaku. Ketentuan ini menutup celah pelaku untuk melemahkan korban melalui pelaporan pidana. Kedua korban kekerasan seksual mendapat jaminan secara hukum atas perilaku yang merendahkan korban dari aparat penegak hukum tentunya aparat penegak hukum (APH) yang punya persepktif sensitive gender baik serta berpihak kepada korban. Ketiga, korban kekerasan seksual yang berada dilingkungan pendidikan dan pekerjaan terjamin hak hukumnya untuk dilindungi dari tindakan sepihak berupa pemecatan dan pemindahan.

Mengenai hak atas pemulihan memberikan jaminan bagi korban untuk dapat kembali dalam kehidupan yang normal. Pemenuhan hak atas pemulihan ini meliputi tiga hal. Pertama, rehabilitasi medis dan mental. Kedua rehabilitasi sosial, rehabilitasi sosial ini merupakan upaya untuk mengembalikan kemampuan dan kepercayaan diri korban berinteraksi dalam kehidupan masyarakat. Ketiga rehabilitasi material, rehabilitasi material ini dilakukan dengan memberikan kompensasi dan restistusi.

        Salah satu hak pemulihan yang sangat penting diterapkan bagi korban KBGO yakni pada kasus Revenge Porn adalah hak atas penghapusan/ pembekuan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik. Konsep ini disebut sebagai Right to be Forgotten (RTBF). RTBF merupakan hak asasi manusia, sehingga negara wajib untuk respect, protect dan fulfill melalui pembentukan peraturan turunan mengenai mekanisme RTBF.

        Dalam jurnal internasional yang ditulis oleh Sayid Mohammad Rifqi Noval dengan judul “The Challenge of Indonesia in Applying the Right to Be Forgotten.” (International Journal of Crime, Law and Social Issues, Vol. 5 No. 2, 2018). Dimana dalam penelitian ini membandingkan bagaimana penerapan RtBF di Indonesia dengan Eropa. Terdapat 2 (dua) perbedaan mencolok yakni, Pertama, di Eropa, implementasi RtBF ini ditujukan pada mesin pencari seperti Google, Yahoo, dan sebagainya. Mesin pencari ini akan menghapus hasil pencarian mengenai data pribadi ketika nama pemilik data tersebut dituliskan. Namun, informasi tersebut masih bisa dicari di situs terkait. Sedangkan di Indonesia, penerapan RtBF ini dibebankan pada pemilik data untuk lebih proaktif dalam permohonan penghapusan data. Untuk mekanisme yang sama di Eropa masih memiliki tantangan terkhusus perlunya suatu peraturan teknis mengenai implementasi peraturan yang sudah ada. Ia meneliti tentang tantangan Indonesia dalam penerapan RtBF secara umum. Pada dasarnya, penerapannya masih belum cukup baik jika dibandingkan dengan Eropa yang bisa secara langsung meminta kepada mesin pencari di Internet untuk melakukan penghapusan konten yang ingin dihapuskan. Maka dari itu, Indonesia harus segera menyiapkan peraturan pemerintah dalam menanggapi RTBF, mengingat potensi masalah jika tidak ada instrumen implementasi yang rinci. Serta untuk lebih menentukan pihak yang berwenang menilai setiap permohonan yang diajukan berdasarkan RTBF.

        Saat ini, tata cara atau mekanisme aturan turunan berkaitan dengan teknis penanganan, pelindungan dan pemulihan Korban diatribusikan menjadi Peraturan Pemerintah sebagaimana Pasal 66 UU TPKS sampai detik ini sejak undang-undang ini disahkan belum dibentuk sehingga implementasi dalam pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual berbasis elektronik belum optimal bahkan cenderung belum dilaksanakan berbagai upaya penanganan, pelindungan dan pemulihan koban KSBE Hal inilah yang membuat kasus KSBE Terus meningkat tajam ibarat seperti fenomena gunung es dimana kasus yang terjadi lebih tinggi daripada yang terlaporkan dikarenakan banyak korban yang takut untuk speak up atau melaporkan kasus yang dialami dikarenakan beberapa faktor mulai dari victim blaming, traumatis, dan aparat yang tidak berpihak pada korban.

        Mengenai perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dalan kasus Revenge Porn sudah diatur secara komprehensif di dalam UU TPKS. Hal ini tercermin dari beberapa muatan seperti jenis-jenis kekerasan seksual berbasis gender online/ kekerasan seksual berbasis elektronik seperti Revenge Porn, hak-hak korban yang diatur secara terperinci, mekanisme pemberian restitusi bagi korban, pembekuan konten pornografi yang tersebar hingga kualifikasi dari penegak hukum yang diharuskan memiliki integritas dan kompentensi terhadap isu kekerasan seksual. Tentunya semua pengaturan ini memberikan sinyal positif bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksul di Indonesia apabila di Implementasikan denagn baik oleh aparat penegak hukum. Namun agar ketentuan ini dapat diimplementasikan maka perlu dibentuk peraturan pelaksana khususnya berkaitan dengan hukum acara. Selain itu diperlukan juga melakukan revisi pada Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Pornografi agar tindak pidana yang beririsan dengan seksualitas/asusila pada kedua undang-undang tersebut dianggap sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) sehingga hak-hak korban dapat dipenuhi secara maksimal sebagaimana pengaturan dalam UU TPKS dan UU perlindungan saksi dan korban yang belum megatur secara komprehensif terkait perlindungan korban.


DAFTAR PUSTAKA

JURNAL INTERNASIONAL

        Roni Rosenberg and Hadar Dancig-Rosenberg, “Revenge Porn In The Shadow of the First Amendment (Univerisity of pennsylvania journal of constitutional law), Vol. 24 (2022).

 

        Samantha Bates,“Revenge Porn and Mental Health: A Qualitative Analysis of the Mental Health Effects of Revenge Porn on Female Survivors” Sage Feminist Criminology, Vol. 1, No. 21, 2016.

 

        Sayid Mohammad Rifqi Noval, “The Challenge of Indonesia in Applying the Right to Be Forgotten.” (International Journal of Crime, Law and Social Issues, Vol. 5 No. 2, 2018).


Tidak ada komentar:

Perspektif Teori Hukum Feminis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Ketidakadilan Gender Pada Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan)

  PERSPEKTIF TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (KETIDAKADILAN GENDER PADA HAK ASASI...