1. Persoalan
atau Masalah yang Dihadapi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia
Persoalan PRT terjadi sebab
PRT mengalami kondisi dimana mereka tak memiliki norma hukum sebagaimana pekerja
formal pada umumnya serta belum terdapat kontrol daripada lembaga yang
berhak serta belum
ada perjanjian kerjanya.
Masalah yang kerap
dihadapi oleh PRT, yaitu:[5]
a)
Persoalan Struktural
Persoalan struktural
merupakan berbagai jenis masalah
dengan skala besar
serta mendasar. Masalah tersebut telah
lama secara sistematis
baik secara sadar
maupun tidak terus
mengikat manusia pada
kondisi yang terpuruk. PRT dalam
persoalan struktural setidaknya menghadapi 2 (dua) hal, yaitu: 1). Kemiskinan
keluarga PRT menyebabkan lenyapnya kesempatan mereka untuk sekolah, sehingga
menjadikan mereka tak mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal tersebut mengakibatkan mereka terjerat
dalam keadaan kerja dimana
itu tak layak
dengan kemungkinan mewujudkan praktik pemaksaan kerja. Rendahnya gaji
sebagaimana didapatkan nantinya tak bisa membiayai Pendidikan keturunannya pada
jenjang yang tinggi. Hal itu dapat menciptakan suatu kemungkinan kondisi
anak mereka tetap
berada pada kondisi
ayah ibunya saat ini; 2). Diskriminasi
PRT mengalami hal itu
dengan didasari oleh
konstruksi gender serta kelas
sosial sehingga menjadikan PRT tetap diam dan menerima kondisinya yang
demikian. Selain itu, diskriminasi juga menyebabkan PRT menerima upah lebih rendah
yang tidak sesuai
dengan jam kerja mereka.[6]
b) Persoalan Kondisi Kerja
1) Gaji yang Rendah Gaji
sebagaimana didapat oleh PRT sangat senjang dari klasifikasi upah layak apabila dipadankan
pada waktu bekerja serta jenis kegiatan yang mereka
lakukan. Pemerintah nyatanya belum menciptakan batas gaji terendah bagi
pekerja informal yang dalam hal ini adalah PRT.
2) Tidak Adanya Standar Jam
Kerja Ketiadaan batasan atas beban kerja yang ditanggung PRT menjadikannya
harus bekerja dalam rentang waktu
panjang dari periode
kerja sebagaimana telah dibenahi lewat UU No. 13/2003 yakni selama 8 jam
sehari. Akan tetapi waktu kerja PRT tidak mengikuti aturan tersebut
sehingga mereka kesulitan mendapat waktu istirahat baik
pekanan, tahunan, libur haid serta bersalin.
3) Tidak tersedianya
pertanggungan sosial, Kesehatan serta bantuan lainnya.
4) Ketiadaan jenis
tunjangan kerja tersebut diakibatkan karena PRT diklaim sebagai
pekerja informal. PRT
tidak mendapatkan lingkungan
kerja yang layak sebab mereka tidak memperoleh jaminan
dan tunjangan selama dan setelah bekerja.
Artinya, fasilitas dan
tunjangan pada PRT sangat bergantung pada kebaikan majikannya.
c) Rentan Mendapatkan
Tindakan Kekerasan
Kekerasan Fisik yang
kerap dialami oleh PRT
berupa pemukulan hingga
penganiayaan dengan berbagai
bentuk seperti disiram
air panas, dicambuk, dan berbagai
jenis kekerasan fisik lainnya
Kekerasan Psikis umumnya
dalam bentuk makian, celaan, dipanggil
dengan panggilan yang
tidak layak yang
tujuannya menghina fisik
maupun merendahkan PRT itu sendiri.
Kekerasan Seksual PRT yang
merupakan jenis pekerjaan dengan
perempuan sebagai subyek yang melakukannya
tak luput dari kekerasan seksual. Bentuknya dapat berupa rayuan, dipegang pada bagian
seksualnya, pemaksaan untuk melakukan oral
seks hingga pemerkosaan.[7]
Adapun alasan PRT gampang
mengalami kekerasan secara seksual
karena beberapa hal, antara lain:
Dasar hubungan antara PRT dan majikannya terletak pada
kekuasaan pada majikannya. Oleh karena itu, majikan dapat
melakukan berbagai jenis kekerasan termasuk secara seksual kepada PRT. Majikan
memandang PRT hanya sebagai seseorang yang hidupnya sangat tergantung padanya dalam hal keuangan yang tak mempunyai
keterampilan serta pendidikan. Tidak adanya kontrol secara sosial maupun anggota
keluarga lainnya yang bisa
mengantisipasi tindakan tidak
senonoh terhadap PRT.[8]
d) Keleluasaan Guna
Memperoleh Keterangan yang Terbatas
Keterbatasan tersebut
diawali dengan perampasan kemerdekaan PRT karena pemberi kerjanya dengan berimbas PRT sulit berinteraksi
bersama anggota keluarganya maupun
orang lain di
luar rumah majikannya. Kondisi tersebut diperparah dengan
keberadaan nilai sosial sebagaimana memiliki anggapan mengenai urusan pribadi dalam
keluarga tak bisa diganggu. Kondisi yang demikian menjadikan semakin sulitnya guna
merekomendasikan pertolongan terhadap PRT sebagai penyintas kekerasan.
e) Tidak Adanya Organisasi
PRT
Tidak seperti pekerja sektor formal
yang mempunyai organisasi kerja mereka, PRT mengalami kondisi sebaliknya. Hal tersebut
selain karena PRT termasuk pekerja
informal juga lantaran mereka kesulitan
mendapat informasi mengenai pendirian Lembaga sebagaimana bisa menegakkan apa yang seharusnya PRT peroleh
sebagai perempuan, pelaku kerja maupun sebagai penduduk.
Berdasarkan hal tersebut, Rancangan
Undang-Undang Perlindungan PRT tetap harus disahkan untuk memenuhi berbagai hak
PRT. Permana mengemukakan bahwa dalam draf RUU PRT, sejumlah hak dan kewajiban
telah diatur secara spesifik. Dalam Pasal 11, PRT berhak:[9]
a) Menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
b) Bekerja
pada jam kerja yang manusiawi
c) Mendapatkan
cuti sesuai dengan kesepakatan PRT dan Pemberi Kerja
d) Mendapatkan
upah dan tunjangan hari raya sesuai kesepakatan dengan Pemberi Kerja.
e) Mendapatkan
jaminan sosial kesehatan sebagai penerima bantuan iuran
f) Mendapatkan
jaminan sosial ketenagakerjaan sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja
mengakhiri Hubungan Kerja apabila terjadi pelanggaran terhadap Perjanjian
Kerja.
Pengajuan RUU Perlindungan PRT telah
dilakukan sejak 2004, namun hingga 2023 ini belum disahkan padahal memiliki
urgensi besar karena banyaknya kasus perlindungan PRT yang tidak terselesaikan.
Selain pengajuan RUU Perlindungan PRT, upaya-upaya lain terus dilakukan untuk
memberikan perlindungan hukum.[10]
2. Politik
Hukum Dalam Pembentukan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) di
Indonesia
PRT
merupakan salah satu pekerjaan yang memberikan jasa yaitu tenaga mereka untuk
mengerjakan sesuatu. Kehadiran PRT di zaman modern saat ini sangat dibutuhkan
oleh banyak kalangan, terutama bagi masyarakat perkotaan. Karena masyarakat
menganggap kehadiran PRT dapat meringankan dan mempermudah dalam mengerjakan
berbagai urusan yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga. Jika merujuk dari
definisi pekerja seharusnya PRT termasuk dalam pekerja/buruh yang diatur dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Akan tetapi Undang-Undang ini secara substantif
tidak mengatur tentang PRT, karena tidak ada satupun pasal dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang secara eksplisit menyinggung atau berkaitan dengan PRT.
Yang berarti PRT tidak diberi perlindungan di bawah Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Sehingga dalam menjalankan pekerjaannya, PRT masuk dalam situasi pekerjaan yang
tidak memiliki norma-norma hukum selayaknya pekerja formal, pengawasan dari
instansi yang berwewenang.[11]
Adanya
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Permenaker PPRT ini memberikan definisi PRT
adalah Pekerja Rumah Tangga adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan
dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima
upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain.[12] Namun demikian, pengakuan
melalui regulasi ini penting untuk diperkuat dan diperluas lagi mengingat
Peraturan Menteri bersifat terbatas pada pengakuan dan belum menyentuh dimensi
perlindungan yang lebih substantif. Selanjutnya Permenaker PPRT terlihat hanya
menjelaskan hak dan kewajiban PRT secara umum, dan belum mampu mengakomodir hak
dan kewajiban PRT secara terperinci. Permenaker PPRT ini belum merincikan
hak-hak yang didapatkan oleh PRT. Selain itu Permenaker PPRT ini tidak memuat
sanksi pidana melainkan hanya memuat sanksi administrasi yang hanya ditujukan
kepada Lembaga Penyalur PRT saja, dan tidak ada sanksi yang ditujukan kepada
majikan dan juga tidak memuat sanksi pidana untuk memperkuat payung hukum
kepada PRT.[13]
Sejauh
ini, satu-satunya perlindungan hukum yang dapat diharapkan oleh PRT hanya
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan
terhadap PRT (Permenaker PPRT). Permenaker PPRT ini sendiri pun juga memiliki
problematika yaitu tidak menjangkau UU Ketenagakerjaan. Permenaker PPRT juga
tidak merinci perihal standarisasi upah, pengaturan jam kerja, cuti mingguan
dan tahunan, hak berkomunikasi serta berserikat. Upaya yang dikeluarkan
kementerian untuk memberi perlindungan hukum terhadap PRT perempuan dan anak
melalui juga menemui kebuntuan berupa ambiguitas. Pasalnya, terdapat
pertentangan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(KEP.235/MEN/2003) tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan,
Keselamatan Atau Moral Anak yang tidak memasukan PRT dalam cakupannya. Hal ini
memperlihatkan belum ada konsensus bersama oleh pemerintah dalam memandang
permasalahan perlindungan PRT dari kekerasan.[14]
Apabila
dilihat dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.[15] Tatkala PRT yang bekerja
disuatu keluarga apabila mengalami kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh
majikannya yang mana masuk dalam ruang lingkup rumah tangga, penyiksaan fisik
oleh majikan tersebut dapat dijerat secara pidana dengan Pasal 44 Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT. Sedangkan kekerasan psikis dapat dijerat
dengan Pasal 45 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT. Namun dilihat
dari ruang lingkup tersebut terlihat Undang-Undang ini semata-mata hanya
memberikan perlindungan kepada PRT yang bekerja penuh dan menetap bersama
majikannya. Sedangkan kekerasan dan penyiksaan terhadap PRT dapat berimbas juga
kepada para PRT yang bekerja paruh waktu atau tidak menetap. Oleh karena itu,
Undang-Undang PKDRT ini belum mampu menampung perlindungan PRT serta belum bisa
dijadikan payung hukum dari PRT yang ada di Indonesia. Keterbatasan regulasi
mengenai perlindungan PRT ini mengakibatkan belum terdapat jaminan PRT di
Indonesia yang terbebas dari eksploitasi, ketidakadilan atas keseimbangan hak
dan kewajibannya, bahkan tindakan kekerasan terhadap PRT.
Pemerintah
telah membuat Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai
payung hukum untuk memperkuat perlindungan terhadap PRT dalam bekerja. RUU PPRT
ini telah berjalan sangat panjang, sudah 20 tahun sejak diusulkan untuk pertama
kalinya dari tahun 2004. Politik Hukum merupakan kebijakan pemerintah mengenai
hukum mana yang akan dipertahankan, hukum mana yang akan diganti, hukum mana
yang akan direvisi dan hukum mana yang akan dihilangkan. Dengan demikian
melalui politik hukum negara membuat suatu rancangan dan rencana pembangunan
hukum nasional di Indonesia. Dengan adanya Undang-Undang PPRT maka akan diakui
sebagai pekerja sebagaimana profesi pekerja yang lain dan mendapatkan
perlindungan hukum. Perlindungan hukum tidak sekedar legalitas, namun yang
paling penting adalah perspektif dan sensitivitas perlindungan itu sendiri
berdasarkan penghormatan, penegakan dan penghargaan kepada manusia dengan
hakhak asasinya yang melekat pada dirinya. Untuk itu, desakan untuk pengesahan
RUU PPRT sudah menjadi keharusan agar tidak terjadi konflik berkelanjutan
antara PRT dan pemberi kerja atau majikan. Kehadiran pemerintah dalam
pengesahan RUU PPRT sudah menjadi tuntutan agar jaminan hukum terhadap PRT
tersebut dapat sejajar dengan profesiprofesi lainnya di Indonesia.
Politik hukum Pengaturan Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga di Indonesia ini seharusnya menjadi kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Dengan
demikian, teori politik hukum yang ditujukan dalam pengaturan perlindungan PRT
ini mempunyai misi merancang atau melakukan perubahan terhadap hukum untuk
memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Hal tersebut sesuai
dengan pengertian politik hukum yaitu bagian dari ilmu hukum yang membahas
perubahan yang berlaku (ius constitutum) menjadi hukum yang seharusnya (ius
constituendum) untuk memenuhi perubahan kehidupan dalam masyarakat.[16]
[1] Mutia Cherawaty thalib, “Masalah
dan Ekspektasi Pekerja Rumah Tangga: dari soal perlindungan hingga produk
regulasi”, Ideas Publishing, Gorontalo, 2020, hlm 14
[2] Ibid.
[3] Triana Sofiani dkk, “Membangun
Konsep Ideal Hubungan Kerja Antara Pekerja Rumah Tangga Dan Majikan Berbasis
Hak-Hak Buruh Dalam Islam”, Prosiding Konferensi, IAIN Sunan Ampel, 2013,
hlm. 2391.
[4] Arifuddin Muda Harahap, Pengantar
Hukum Ketenagakerjaan, Literasi Nusantara, Malang, 2020, hlm. 63.
[5] Rizky Meitha
Kumala and Vinsya Murtiningsih,“Tinjauan Perlindungan Hukum Pekerja Rumah Tangga (Prt) Dalam Kasus Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT),” Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan 2,
no. 3 (2013): 215.
[6] Ibid.
[7] Abel Parvez, dkk,
Rekonstruksi RUU PPRT Sebagai Upaya Perlindungan Hukum dalam Penanggulangan Kekerasan
Terhadap PRT Perempuan dan Anak, IPMHI Law Journal Volume 2 (1) 2022.
[8] Erwindya Julia
Anggraeni, Tinjauan RUU PPRT Terhadap Persoalan Pekerja Rumah Tangga di
Indonesia, Jurnal Hukum dan HAM Wicarana, Vol. 3, No. 1, Maret 2024: 1-9.
[9] Rakhmad Hidayatulloh Permana.
2023. Draf RUU PPRT: PRT Dapat Jaminan Sosial, Ada One Month Notice Sebelum
Resign. Diakses dalam
https://news.detik.com/berita/d-6523832/draf-ruu-pprt-prt-dapatjaminan-sosial-ada-one-month-notice-sebelum-resign.
[10] Luh Putu Try Aryawati dan I Made
Sarjana, “Kedudukan Pembantu Rumah Tangga Sebagai Pekerja Ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”, Kertha Semaya,
No. 02, Vol. 02, 2014, hlm. 8-9.
[11] Agusmidah, Membangun Aturan
Bagi Pekerja Rumah Tangga, Mewujudkan Hak Asasi Manusia, Jurnal
Hukum Samudera Keadilan, Volume 12, Nomor 1, Januari-Juni 2017, hlm. 19.
[12] Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga.
[13] Ibid.
[14] “Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan,
Keselamatan Atau Moral Anak,” No. 235 (2003).
[15] Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[16] Yuherman, “Politik Hukum
Peradilan dalam Praktek Penyelesaian Sengketa”, Artikel dalam Jurnal
Yustisia, Edisi Nomor 81, 2010, hlm. 71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar