Kamis, 07 November 2024

Politik Hukum Pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) di Indonesia

 


                            Politik Hukum Pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) di Indonesia



Oleh: Utari Nelviandi

1.      Persoalan atau Masalah yang Dihadapi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia

Persoalan PRT terjadi sebab PRT mengalami kondisi dimana mereka tak memiliki norma hukum sebagaimana pekerja formal pada umumnya serta belum terdapat kontrol daripada lembaga  yang  berhak  serta  belum  ada  perjanjian  kerjanya.  Masalah  yang  kerap  dihadapi oleh PRT, yaitu:[5]

a)      Persoalan Struktural

Persoalan struktural merupakan berbagai  jenis  masalah  dengan  skala  besar  serta  mendasar. Masalah tersebut  telah  lama  secara  sistematis  baik  secara  sadar  maupun  tidak  terus  mengikat  manusia  pada  kondisi  yang terpuruk. PRT dalam persoalan struktural setidaknya menghadapi 2 (dua) hal, yaitu: 1). Kemiskinan keluarga PRT menyebabkan lenyapnya kesempatan mereka untuk sekolah, sehingga menjadikan mereka tak mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal    tersebut mengakibatkan mereka terjerat dalam keadaan  kerja  dimana  itu  tak  layak  dengan kemungkinan mewujudkan praktik pemaksaan kerja. Rendahnya gaji sebagaimana didapatkan nantinya tak bisa membiayai Pendidikan keturunannya pada jenjang yang tinggi. Hal itu dapat menciptakan suatu kemungkinan kondisi anak  mereka  tetap  berada  pada  kondisi  ayah  ibunya saat ini; 2). Diskriminasi PRT mengalami  hal  itu  dengan  didasari  oleh   konstruksi   gender   serta   kelas   sosial sehingga menjadikan PRT tetap diam dan menerima kondisinya yang demikian. Selain itu, diskriminasi juga menyebabkan PRT menerima upah lebih  rendah  yang  tidak  sesuai  dengan  jam kerja mereka.[6]

b)      Persoalan Kondisi Kerja

1)      Gaji yang Rendah Gaji sebagaimana didapat oleh PRT sangat senjang dari   klasifikasi upah layak apabila dipadankan pada waktu bekerja serta jenis  kegiatan yang  mereka  lakukan. Pemerintah nyatanya belum menciptakan batas gaji terendah bagi pekerja informal yang dalam hal ini adalah PRT.

2)      Tidak Adanya Standar Jam Kerja Ketiadaan batasan atas beban kerja yang ditanggung PRT menjadikannya harus bekerja dalam  rentang  waktu  panjang  dari  periode  kerja sebagaimana telah dibenahi lewat UU No. 13/2003 yakni selama 8 jam sehari. Akan tetapi waktu kerja PRT tidak mengikuti aturan tersebut sehingga  mereka  kesulitan mendapat waktu istirahat baik pekanan, tahunan, libur haid serta bersalin.

3)      Tidak tersedianya pertanggungan sosial, Kesehatan serta bantuan lainnya.

4)      Ketiadaan jenis tunjangan kerja tersebut diakibatkan karena PRT diklaim     sebagai  pekerja  informal.  PRT  tidak  mendapatkan   lingkungan   kerja   yang   layak sebab mereka tidak memperoleh jaminan dan tunjangan selama dan   setelah  bekerja.  Artinya,  fasilitas  dan  tunjangan pada PRT sangat bergantung pada kebaikan majikannya.

c)      Rentan Mendapatkan Tindakan Kekerasan

Kekerasan Fisik  yang  kerap  dialami  oleh PRT  berupa  pemukulan  hingga  penganiayaan  dengan  berbagai  bentuk  seperti  disiram  air  panas, dicambuk, dan berbagai jenis kekerasan fisik lainnya

Kekerasan Psikis umumnya dalam bentuk makian, celaan, dipanggil  dengan  panggilan  yang  tidak  layak  yang    tujuannya    menghina    fisik    maupun merendahkan PRT itu sendiri.

Kekerasan Seksual PRT yang merupakan jenis pekerjaan dengan   perempuan sebagai   subyek yang melakukannya tak luput dari kekerasan seksual. Bentuknya dapat berupa rayuan, dipegang pada bagian seksualnya, pemaksaan  untuk melakukan oral seks hingga pemerkosaan.[7]  

Adapun alasan PRT gampang mengalami kekerasan  secara  seksual  karena beberapa hal, antara  lain: Dasar hubungan antara PRT dan majikannya terletak   pada   kekuasaan pada majikannya. Oleh karena itu, majikan  dapat  melakukan berbagai jenis kekerasan termasuk secara seksual kepada PRT. Majikan memandang PRT hanya sebagai seseorang yang hidupnya sangat tergantung  padanya dalam hal keuangan yang tak mempunyai keterampilan serta pendidikan. Tidak adanya kontrol secara sosial maupun anggota keluarga lainnya yang bisa  mengantisipasi  tindakan  tidak  senonoh  terhadap PRT.[8]

d)      Keleluasaan Guna Memperoleh Keterangan yang Terbatas

Keterbatasan   tersebut   diawali   dengan   perampasan kemerdekaan PRT karena pemberi  kerjanya dengan berimbas PRT sulit berinteraksi bersama anggota   keluarganya   maupun  orang  lain  di  luar  rumah  majikannya. Kondisi tersebut diperparah dengan keberadaan nilai sosial sebagaimana memiliki anggapan mengenai urusan pribadi dalam keluarga tak bisa diganggu. Kondisi yang demikian menjadikan semakin sulitnya guna merekomendasikan pertolongan terhadap PRT sebagai penyintas kekerasan.

e)      Tidak Adanya Organisasi PRT

Tidak seperti pekerja sektor formal yang mempunyai organisasi kerja mereka, PRT mengalami kondisi sebaliknya. Hal tersebut selain karena PRT  termasuk  pekerja  informal  juga lantaran mereka kesulitan mendapat informasi mengenai pendirian Lembaga sebagaimana bisa   menegakkan apa yang seharusnya PRT peroleh sebagai perempuan, pelaku kerja maupun sebagai penduduk.

Berdasarkan hal tersebut, Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT tetap harus disahkan untuk memenuhi berbagai hak PRT. Permana mengemukakan bahwa dalam draf RUU PRT, sejumlah hak dan kewajiban telah diatur secara spesifik. Dalam Pasal 11, PRT berhak:[9]

a)      Menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

b)      Bekerja pada jam kerja yang manusiawi

c)      Mendapatkan cuti sesuai dengan kesepakatan PRT dan Pemberi Kerja

d)      Mendapatkan upah dan tunjangan hari raya sesuai kesepakatan dengan Pemberi Kerja.

e)      Mendapatkan jaminan sosial kesehatan sebagai penerima bantuan iuran

f)       Mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja mengakhiri Hubungan Kerja apabila terjadi pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja.

Pengajuan RUU Perlindungan PRT telah dilakukan sejak 2004, namun hingga 2023 ini belum disahkan padahal memiliki urgensi besar karena banyaknya kasus perlindungan PRT yang tidak terselesaikan. Selain pengajuan RUU Perlindungan PRT, upaya-upaya lain terus dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum.[10]

2.      Politik Hukum Dalam Pembentukan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) di Indonesia

PRT merupakan salah satu pekerjaan yang memberikan jasa yaitu tenaga mereka untuk mengerjakan sesuatu. Kehadiran PRT di zaman modern saat ini sangat dibutuhkan oleh banyak kalangan, terutama bagi masyarakat perkotaan. Karena masyarakat menganggap kehadiran PRT dapat meringankan dan mempermudah dalam mengerjakan berbagai urusan yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga. Jika merujuk dari definisi pekerja seharusnya PRT termasuk dalam pekerja/buruh yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Akan tetapi Undang-Undang ini secara substantif tidak mengatur tentang PRT, karena tidak ada satupun pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang secara eksplisit menyinggung atau berkaitan dengan PRT. Yang berarti PRT tidak diberi perlindungan di bawah Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sehingga dalam menjalankan pekerjaannya, PRT masuk dalam situasi pekerjaan yang tidak memiliki norma-norma hukum selayaknya pekerja formal, pengawasan dari instansi yang berwewenang.[11]

Adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Permenaker PPRT ini memberikan definisi PRT adalah Pekerja Rumah Tangga adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain.[12] Namun demikian, pengakuan melalui regulasi ini penting untuk diperkuat dan diperluas lagi mengingat Peraturan Menteri bersifat terbatas pada pengakuan dan belum menyentuh dimensi perlindungan yang lebih substantif. Selanjutnya Permenaker PPRT terlihat hanya menjelaskan hak dan kewajiban PRT secara umum, dan belum mampu mengakomodir hak dan kewajiban PRT secara terperinci. Permenaker PPRT ini belum merincikan hak-hak yang didapatkan oleh PRT. Selain itu Permenaker PPRT ini tidak memuat sanksi pidana melainkan hanya memuat sanksi administrasi yang hanya ditujukan kepada Lembaga Penyalur PRT saja, dan tidak ada sanksi yang ditujukan kepada majikan dan juga tidak memuat sanksi pidana untuk memperkuat payung hukum kepada PRT.[13]

Sejauh ini, satu-satunya perlindungan hukum yang dapat diharapkan oleh PRT hanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan terhadap PRT (Permenaker PPRT). Permenaker PPRT ini sendiri pun juga memiliki problematika yaitu tidak menjangkau UU Ketenagakerjaan. Permenaker PPRT juga tidak merinci perihal standarisasi upah, pengaturan jam kerja, cuti mingguan dan tahunan, hak berkomunikasi serta berserikat. Upaya yang dikeluarkan kementerian untuk memberi perlindungan hukum terhadap PRT perempuan dan anak melalui juga menemui kebuntuan berupa ambiguitas. Pasalnya, terdapat pertentangan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (KEP.235/MEN/2003) tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan Atau Moral Anak yang tidak memasukan PRT dalam cakupannya. Hal ini memperlihatkan belum ada konsensus bersama oleh pemerintah dalam memandang permasalahan perlindungan PRT dari kekerasan.[14]

Apabila dilihat dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.[15] Tatkala PRT yang bekerja disuatu keluarga apabila mengalami kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh majikannya yang mana masuk dalam ruang lingkup rumah tangga, penyiksaan fisik oleh majikan tersebut dapat dijerat secara pidana dengan Pasal 44 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT. Sedangkan kekerasan psikis dapat dijerat dengan Pasal 45 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT. Namun dilihat dari ruang lingkup tersebut terlihat Undang-Undang ini semata-mata hanya memberikan perlindungan kepada PRT yang bekerja penuh dan menetap bersama majikannya. Sedangkan kekerasan dan penyiksaan terhadap PRT dapat berimbas juga kepada para PRT yang bekerja paruh waktu atau tidak menetap. Oleh karena itu, Undang-Undang PKDRT ini belum mampu menampung perlindungan PRT serta belum bisa dijadikan payung hukum dari PRT yang ada di Indonesia. Keterbatasan regulasi mengenai perlindungan PRT ini mengakibatkan belum terdapat jaminan PRT di Indonesia yang terbebas dari eksploitasi, ketidakadilan atas keseimbangan hak dan kewajibannya, bahkan tindakan kekerasan terhadap PRT.

Pemerintah telah membuat Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai payung hukum untuk memperkuat perlindungan terhadap PRT dalam bekerja. RUU PPRT ini telah berjalan sangat panjang, sudah 20 tahun sejak diusulkan untuk pertama kalinya dari tahun 2004. Politik Hukum merupakan kebijakan pemerintah mengenai hukum mana yang akan dipertahankan, hukum mana yang akan diganti, hukum mana yang akan direvisi dan hukum mana yang akan dihilangkan. Dengan demikian melalui politik hukum negara membuat suatu rancangan dan rencana pembangunan hukum nasional di Indonesia. Dengan adanya Undang-Undang PPRT maka akan diakui sebagai pekerja sebagaimana profesi pekerja yang lain dan mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum tidak sekedar legalitas, namun yang paling penting adalah perspektif dan sensitivitas perlindungan itu sendiri berdasarkan penghormatan, penegakan dan penghargaan kepada manusia dengan hakhak asasinya yang melekat pada dirinya. Untuk itu, desakan untuk pengesahan RUU PPRT sudah menjadi keharusan agar tidak terjadi konflik berkelanjutan antara PRT dan pemberi kerja atau majikan. Kehadiran pemerintah dalam pengesahan RUU PPRT sudah menjadi tuntutan agar jaminan hukum terhadap PRT tersebut dapat sejajar dengan profesiprofesi lainnya di Indonesia.

 Politik hukum Pengaturan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia ini seharusnya menjadi kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Dengan demikian, teori politik hukum yang ditujukan dalam pengaturan perlindungan PRT ini mempunyai misi merancang atau melakukan perubahan terhadap hukum untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pengertian politik hukum yaitu bagian dari ilmu hukum yang membahas perubahan yang berlaku (ius constitutum) menjadi hukum yang seharusnya (ius constituendum) untuk memenuhi perubahan kehidupan dalam masyarakat.[16]



[1] Mutia Cherawaty thalib, “Masalah dan Ekspektasi Pekerja Rumah Tangga: dari soal perlindungan hingga produk regulasi”, Ideas Publishing, Gorontalo, 2020, hlm 14

[2] Ibid.

[3] Triana Sofiani dkk, “Membangun Konsep Ideal Hubungan Kerja Antara Pekerja Rumah Tangga Dan Majikan Berbasis Hak-Hak Buruh Dalam Islam”, Prosiding Konferensi, IAIN Sunan Ampel, 2013, hlm. 2391.

[4] Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Literasi Nusantara, Malang, 2020, hlm. 63.

[5] Rizky  Meitha  Kumala and Vinsya Murtiningsih,“Tinjauan Perlindungan Hukum Pekerja Rumah   Tangga (Prt) Dalam Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),” Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan 2, no. 3 (2013): 215.

[6] Ibid.

[7] Abel Parvez, dkk, Rekonstruksi RUU PPRT Sebagai Upaya Perlindungan Hukum dalam Penanggulangan Kekerasan Terhadap PRT Perempuan dan Anak, IPMHI Law Journal Volume 2 (1) 2022.

[8] Erwindya Julia Anggraeni, Tinjauan RUU PPRT Terhadap Persoalan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia, Jurnal Hukum dan HAM Wicarana, Vol. 3, No. 1, Maret 2024: 1-9.

 

[9] Rakhmad Hidayatulloh Permana. 2023. Draf RUU PPRT: PRT Dapat Jaminan Sosial, Ada One Month Notice Sebelum Resign. Diakses dalam https://news.detik.com/berita/d-6523832/draf-ruu-pprt-prt-dapatjaminan-sosial-ada-one-month-notice-sebelum-resign.

[10] Luh Putu Try Aryawati dan I Made Sarjana, “Kedudukan Pembantu Rumah Tangga Sebagai Pekerja Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”, Kertha Semaya, No. 02, Vol. 02, 2014, hlm. 8-9.

[11] Agusmidah, Membangun Aturan Bagi Pekerja Rumah Tangga, Mewujudkan Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum Samudera Keadilan, Volume 12, Nomor 1, Januari-Juni 2017, hlm. 19.

[12] Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

[13] Ibid.

[14] “Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan Atau Moral Anak,” No. 235 (2003).

[15] Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[16] Yuherman, “Politik Hukum Peradilan dalam Praktek Penyelesaian Sengketa”, Artikel dalam Jurnal Yustisia, Edisi Nomor 81, 2010, hlm. 71.

Tidak ada komentar:

Perspektif Teori Hukum Feminis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Ketidakadilan Gender Pada Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan)

  PERSPEKTIF TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (KETIDAKADILAN GENDER PADA HAK ASASI...