Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Peretasan (Hacking) sebagai Bentuk Kejahatan Cyber Crime
Oleh: Utari Nelviandi, S.H.
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana
dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia adalah negara hukum Pancasila, yaitu negara hukum yang berdasarkan
makna dari Pancasila. Artinya bahwa Indonesia memiliki pemaknaan tersendiri
dalam menentukan ciri negara hukum Indonesia. Maksud dari negara hukum yaitu
segala tatanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan atas hukum
yang berlaku. Negara Indonesia dalam mempraktekkan hukum bernegara mengguakan
berbagai asas-asas negara hukum yaitu asas pancasila, negara hukum, kedaulatan
rakyat, negara kesatuan, dan pemisahan kekuasaan.[1]
Orang yang melakukan suatu tindak pidana
disebut dengan penjahat (criminal). Dalam kehidupan sehari-hari yang
bermasyarakat sering sekali terjadi kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan
oleh orang tertentu dengan mengancam sebagian dari anggota masyarakat, dalam
ilmu hukum dikenal dengan sebutan tindak pidana kejahatan. Salah satu tindak
pidana yang sedang marak-maraknya di tengah-tengah masyarakat saat ini ialah Cybercrime
(tindak pidana komputer).[2]
Dalam era globalisasi negara Indonesia
banyak sekali perkembangan seperti munculnya teknologi yang menyebakan efek
positif dan negatif. Efek positif yang terlihat seperti pengetahuan dalam
bidang teknologi sehingga Daya fikir manusia berkembang, salah satu kemajuan
teknologi dalam aspek pengetahuan adalah hukum seperti Cyber Law, tetapi
Atas pengetahuan tersebut tidak semua orang dapat memanfaatkannya dengan bijak
dan benar, sehingga menyebabkan timbulnya sebuah pengetahuan yang
disalahgunakan seperti kejahatan Cyber yang sangat merugikan banyak
orang. Efek negatif Perkembangan teknologi yang melahirkan kejahatan Cyber
seperti tindak pidana peretasan. Kejahatan peretasan dilakukan dengan cara
memasuki jejaring internet menggunakan komputer atau handphone sebagai alat
untuk mengakses, nyebarkan dan memalsukan data, dokumen orang lain dan dianggap
merugikan terhadap orang atau organisasi.
Tindak pidana peretasan adalah serangkaian
upaya hukum untuk menindak pelaku kejahatan peretasan yang dilakukan dengan
cara masuk ke dalam sistem elektronik milik orang lain yang bersifat pribadi,
dengan cara apapun sehingga merupakan tindakan terlarang. Tindakan ini
dilakukan tidak hanya semata-mata untuk mencari keuntungan dan menemukan titik
lemah dari si target. Kejahatan ini dapat digolongkan lebih relatif baru jika dibandingkan
dengan kejahatan konvensional lainnya. Kemampuan dalam membuat program yang
disalahgunakan oleh seseorang yang tidak bertanggungjawab dan menyebabkan
munculnya sebuah pelanggaran hukum yang berdampak merugikan orang lain atau
beberapa pihak yang telah sejak awal menjadi target sasaran. Salah satu
contohnya adalah tindakan meretas situs web atau akun media sosial yang
bersifat pribadi milik orang lain seperti facebook dan juga denga cara
mengirimkan wibsite berupa undangan kepada whatsapp sehingga pelaku bisa
mengakses data milik korban yang telah di targetkan.[3]
Tindak pidana peretasan ialah salah satu
bagian dari kejahatan mayatara atau cybercrime yang muncul akibat adanya
kemajuan teknologi. Hail ini telah diatur dalam pasal 30 ayat (1), (2), (3)
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut dengan UU ITE
dan untuk sanksi pidananya telah diatur dalam pasal 46 ayat (1),(2),(3) UU ITE.
Dalam upaya memangani tindak pidana peretasan juga muncul upaya perlindungan
data pribadi yang di atur dalam undang-undang nomor 27 tahun 2022 tentang
perlindungan data pribadi, perlindungan data pribadi dijelaskan dalam pasal 1
ayat 2 yang berbunyi “Pelindungan Data Pribadi adalah keseluruhan upaya
untuk melindungi Data Pribadi dalam rangkaian pemrosesan Data pribadi guna
menjamin hak konstitusional subjek Data Pribadi.”[4]
Pasal ini sudah jelas tertera unsur setiap
orang, unsur dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum, unsur mengakses
komputer dan/ atau sistem elektronik milik orang lain, serta unsur dengan cara
apapun beserta sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku peretasan (hacking), jadi
seharusnya dalam penegakan hukum di indonesia harus semakin di perkuat dari
sektor cybernya dan jika terdapat pelaku peretasan tersebut hendaklah ditangani
secepatnya berdasarakan peraturan yang ada.
Kenyataanya pada saat ini marak terjadi
tindak pidana peretasan seperti kasus tentang peretasan marak terjadi di seluruh
dunia, di indonesia yang terbaru kasus tindak pidana peretasann yaitu dilakukan
oleh hacker Bjorka yang meretas data dokumen negara dokumen penting masyarakat
Indonesia sampai data pribadi Presiden Jokowi, data Kominfo dan BIN (Badan
Intelejen Nasional) yang menyebabkan data data pribadi yang harusnya dilindung
tetapi kenyataanya berhasil di retas dan yang terjadi sampai sekarang kasus
Bjorka masih belum teratasi. Dari fenomena diatas kejahatan peretasan masing
sering terjadi dikalangan masyarakat khususnya yang beraktifitas di dunia maya
menggukan smartphone atau gadget.
Selain mendatangkan keuntungan atau nilai-nilai positif, teknologi juga mengandung muatan yang merugikan kehidupan bangsa. Maraknya tindakan peretasan menimbulkan banyak kerugian berupa meteriil dan nonmateriil yang diderita oleh korban itu sendiri. Peretasan ini juga tidak hanya dilakukan pada situs web tetapi juga pada akun media sosial milik perseorangan. Dari sekian banyak sisi gelap dari kemajuan tekonologi, teknologi masih menyimpan banyak keuntungan positif seperti adanya email, e-commerce, internet banking, dan hal lain semacamnya.
Penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana peretasan atau hacking yang tergolong ke dalam ranah kejahatan mayantara atau cybercrime dilakukan dengan menerapkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang ini akan memberikan sanksi berupa membayar denda serta hukuman kurungan penjara sebagaimana telah dicantumkan dalam pasal 30 ayat (1), (2), dan (3). Sanski pidananya telah diatur dalam pasal 46 ayat (1), (2), dan (3). Upaya dalam melakukan penanggulangan kejahatan mayantara atau cybercrime telah mengacu pada Undang-Udang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan berbagai upaya lain seperti upaya preventif seperti pemblokiran, edukasi terhadap masyarakat, dan hal-hal positif lainnya yang dapat mencegah terjadinya suatu kejahatan, serta melakukan upaya represif yang mana upaya ini dilakukan setelah terjadinya suatu tindak pidana, seperti penjatuhan sanksi terhadap pelaku.
Faktor yang mempengaruhi tindak pidana peretasan dikota Pekanbaru ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: Pertama undang-undang, undang-undang disebut dengan peraturan yang merupakan produk hukum yang dibuat untuk di tegakkan sehingga memberikan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadialan; Kedua penegak hukum, penegakan hukum dilakukan oleh aparat penegak hukum yaitu kepolisan yang mempunyai wewnang khusus dan keahliahn khusus untuk menangani tindak pidana peretasan; Ketiga sarana dan fasilitas, sarana dan fasilitas merupakan penunjang kinerja aparat penegak hukum untuk penangani kasus tindak pidana peretasan seperti pengumpulan bukti dibutuhkan tim khusus; Keempat masyarakat, masyarakt merupakan faktor utama dalam penegakan hukum, kesadaran masyarakat terhadap hukum sangatlah penting; Kelima budaya, budaya merupakan kebiasaan masyarakat yang timbul dari nilai-nilai yang ada dikalangan masyarakat.
[1] Rafi Septia Budianto Pansariadi, Tindak
Pidana Cyber Crime dan Penegakan Hukumnya, Binamulia Hukum, Volume 12,
Nomor 2, Desember 2023 (287-298).
[2] Risman Hi Mustafa, Mulyati
Pawennai, et.al., “Peretasan Terhadap Sistem Elektronik Pada Aplikasi
Angkutan Umum” dalam Qawanin Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1. No. 1 (Agustus
2020), h. 63
[3] I Gusti Ayu Suanti Karnadi Singgi,
I Gusti Bagus Suryawan, et.al., “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Peretasan Sebagai Bentuk Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)” dalam Jurnal
Konstruksi Hukum, Volume 1. No. 2, (Oktober 2020), h. 336.
[4] Undang-undang nomor 27 tahun 2022
tentang perlindungan data pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar