Kamis, 07 November 2024

Kebijakan Hukum Pidana terhadap Delik Perzinaan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP DELIK PERZINAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)  

Oleh: Utari Nelviandi, S.H. 

1. 

1.            Kitab Undang-undang Hiukium Pidana (KUHP) merupakan Buku atau kitab acuan yang sebagai mana kita tahu Undang-Undang ini merupakan pedoman Hukum Pidana bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi Undang-Undang ini mieriupakan suatu produk belanda atau produk kolonial, yang dimana kariena merupakan suatu produk kolonial dan siekarang siudah mierdieka maka siekarang ada kieinginan iuntiuk di lakiukan adanya piembahariuan kariena di anggap sudah tidak sesuai lagi diengan keadaan bangsa Indoniesia. Salah satu isu pembaharuan yang menjadi perbincangan dalam Undang-Undang Hukum Pidana yaitu mengenai tentang pembaharuan delik zina, yang dimana delik zina di UndangUndang yang lama atau sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan bangsa Indonesia yang sekarang ini.

Isi dari pasal Perzinaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang Lama di jelaskan dalam Bab XIV Buku kedua tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 284 berbunyi:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; 2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga. (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75. (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. (5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.[1]

Berbeda dengan penjelasan dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yaitu Undang- Undang terbarunya yang di jelaskan dalam Bab XV tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Keempat Perzinaan Pasal 411 berbunyi:

“(1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. (2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri lagi orang yang terikat perkawinan. b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. (3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayal l2l tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30. (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.”

Pasal 412 berbunyi:

“(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. (2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. (3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30. (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.”[2]

 Pasal 413 “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga batihnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.”

Penjelasan lebih detailnya tentang KUHP yang lama dengan yang baru di jelaskan bahwa. dalam KUHP yang lama, delik kesusilaan terdapat pada Bab XIV yang terdiri atas Pasal 281 hingga Pasal 303. Tidak adanya kualifikasi atau pengelompokan terhadap setiap bentuk perbuatan, artinya tidak adanya sekat pembeda antara perbuatan satu dengan perbuatan lainnya. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru diperluas semuanya, delik kesusilaan terdapat dalam Bab XV yang terdiri atas Pasal 406 hingga Pasal 427. Antara tiap perbuatan telah dikelompokkan atau dikualifikasi atas beberapa bagian. Seperti bagian satu tentang kesusilaan di muka umum, bagian dua tentang pornografi, bagian tiga tentang mempertunjukkan alat pencegahan kehamilan dan alat penggugur kandungan dan seterusnya. Mengenai delik perzinaan tercantum dalam bagian keempat tentang perzinaan yang terdiri atas tiga pasal yaitu Pasal 411 tentang persetubuhan zina, Pasal 412 tentang kumpul kebo, dan Pasal 413 tentang hubungan inses. Sebelumnya, tidak ada pasal dalam KUHP yang mengatur tentang perbuatan kumpul kebo (kohabitasi) dan hubungan inses. Dalam hal ini terdapat adanya perluasan kriminalisasi terhadap delik perzinaan.

Merujuk pada aturan KUHP, perzinahan diidentikkan dengan overspel yang mana pengertiannya jauh lebih sempit daripada perzinahan itu sendiri. Akan menjadi kurang tepat apabila penerjemahan overspell sebagai “zina”, hal tersebut dikarenakan bukan hanya mengandung hubungan persetubuhan bagi yang sudah menikah saja (adultery), tetapi juga bagi yang orang yang melakukan hubungan seksual di luar perkawinan, itu belum terikat perkawinan dengan orang lain (fornication). Padahal fornication merupakan penerjemahan dari ontuch, bukan overspell sebagaimana tertulis dalam KUHP berbahasa Belanda. Dengan demikian, istilah overspel dapat dipahami sebagai berikut:[3]

1)      Istilah overspel dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan yang berdasarkan pada Pasal 27 KUH Perdata. Oleh karena itu, antara laki-laki dan perempuan lajang yang berhubungan seksual tidak dapat dikategorikan sebagai overspel.

2)      Bila mana adanya persetujuan ataupun restu yang diberikan oleh suami ataupun istri terhadap perbuatan persetubuhan yang dilakukan baik oleh suami ataupun istri maka tidak dianggap sebagai overspel.[4]

Kata zina yang memiliki konteks berbeda di Indonesia menjadi berbeda arah dengan overspell dalam bahasa Belanda aslinya. Hal ini menimbulkan akibat yang sangat panjang yang mana akan terdapat perbedaan, multitafsir, bersifat karet dalam penerapan, dan lainnya. Di sisi lain salah satu asas hukum pidana adalah lex scripta, lex certa, dan lex stricta. Semuanya harus jelas, tegas, dan tidak multitafsir.[5]

Delik perzinaan atau dalam bahasa Belandanya yaitu overspel harus memenuhi syarat adanya unsur kesengajaan (opzettleijk delict). Kesengajaan menurut Memorie van Toelichting didefinisikan sebagai perbuatan, “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens), artinya kesengajaan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus dikehendaki dan diketahui apa yang ia perbuat beserta akibatnya. Dalam konteks perbuatan perzinaan haruslah terbukti bahwa pelaku zina menghendaki dan atau mengetahui perbuatan perzinaan yang dilakukannya. Selain harus memenuhi unsur kesengajaan, perbuatan perzinaan secara alamiah haruslah dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dengan adanya penetrasi antar kelamin laki-laki dan perempuan, sehingga delik perzinaan tidak dapat dikenakan terhadap dua orang yang berjenis kelamin sama. Bahwa tidak adanya persetujuan antara suami dan istri terhadap perbuatan zina yang dilakukan pasangannya sebagai syarat lain dari dianggap sahnya suatu perbuatan zina seperti yang dirumuskan dalam Pasal 284. Hal ini diterangkan melalui Hooge Raad dalam Arrest-nya tanggal 16 Mei 1946. Sehingga tidak termasuk perbuatan zina bila mana adanya persetujuan baik dari suami maupun istri, misalnya dalam konteks suami bekerja sebagai germo dan istri menjadi pelacur bawahannya.

KUHP yang saat ini telah berlaku mengatur terkait dengan Tindak Pidana Perzinaan. Meski tidak diatur dalam bagian tersendiri mengenai perzinaan, tetapi pasal-pasal ini menjadi bagian dari bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Sementara itu pada konsep KUHP terbaru, Tindak Pidana Perzinaan diatur dalam bagian tersendiri dalam bab mengenai Tindak Pidana terhadap Kesusilaan. Empat perbuatan yang dikategorikan termasuk menjadi bagian Tindak Pidana Perzinaan antara lain:[6]

1)      Melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dapat dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua, atau anaknya. (Pasal 411).

2)      Melakukan persetubuhan dengan perempuan namun mengingkari janji mengawininya.

3)      Melakukan “kumpul kebo” (Samenleven/Cohabitation) atau melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan (Pasal 412).

4)      Melakukan persetubuhan dengan keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga. Dimana pasal 413 yang berbunyi: “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga batihnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.”

Dapat dicermati bahwa lingkup Tindak Pidana Perzinaan yang diformulasikan dalam KUHP terbaru lebih luas daripada yang diatur dalam KUHP. Pasal 412 KUHP terbaru dengan memperluas pengertian zina atas dasar kriminaliasasi hubungan seksual di luar perkawinan antara laki-laki dan perempuan lajang. Dalam pendekatan terhadap nilai-nilai, tidak sejalan dengan nilai-nilai moral masyarakat Indonesia yang religius. Dasar perluasan makna perzinahan adalah teori kebijakan hukum pidana. Bahwa kebijakan hukum pidana adalah arah yang bertujuan untuk menentukan:

1)      Sejauh mana ketentuan pidana yang berlaku memerlukan perubahan atau pembaruan;

2)      Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak pidana;

3)      Menentukan metode penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilakukan.[7]

Dari KUHP terbaru ini terdapat ketentuan pasal yang mengatur hukuman untuk perzinahan, kumpul kebo, hingga hubungan sedarah. Hukuman untuk pelaku zina, kumpul kebo, hingga hubungan sedarah berbeda-beda. Di jelaskan dalam Pasal 411-413 UU No. 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru atau pembaharuan telah memperluas substansi delik zina dengan tidak membedakan antara mereka yang telah kawin dengan yang belum kawin, begitu pula tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan tindak pidana. Artinya setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang lain baik yang telah terikat perkawinan atau yang belum terikat perkawinan dapat dikatakan sebagai perbuatan zina. Dalam Pasal 284 KUHP ini tidak menjelaskan larangan apabila laki-laki dan perempuan lajang melakukan zina akan dikenakan hukuman karena tidak memiliki ikatan perkawinan dan tidak dapat disebut sebagai perzinaan. Maka, laki- laki dan perempuan tersebut tidak dikenakan hukum. Hal ini menyebabkan adanya celah bagi orang-orang yang belum menikah untuk melakukan zina tanpa takut dijerat hukuman pidana. Sedangkan dalam Pasal 411 KUHP Pembaharuan, telah diperluas lingkup kriminalisasinya, kali ini tidak memberikan celah kepada laki-laki atau perempuan lajang untuk melakukan zina. Semua orang yang terlibat dalam perkawinan maupun lajang, jika melakukan perzinaan maka akan dijatuhi pidana.[8]

Ditinjau dari sifat deliknya, Pasal 284 KUHP termasuk dalam delik aduan, yaitu delik yang akan terlaksana apabila ada yang mengajukan aduan atau gugatan terhadap pelaku. Jenis aduan dalam pasal ini adalah delik aduan absolut, yaituapabila terjadi perzinaan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP, Maka pelaku tidak bisa dipidanakan kecuali yang mengadu adalah pihak suami atau istri yang dirugikan dalam perzinaan. Sejatinya menjadikan delik ini sebagai delik absolut dinilai kurang baik di mata masyarakat. Karena dalam pandangan masyarakat yang memiliki nilai sosial dan budaya, perzinaan bukan hanya permasalahan pasangan dan orang yang berzina saja. Tetapi juga berdampak pada lingkungan dan warga sekitarnya atau bahkan hingga ke keluarga yang bersangkutan.

Keberadaan delik aduan absolut ini juga bisa menjadi celah jahat apabila terjadi di lingkungan yang memandang lemah perempuan dan pro terhadap kaum laki-laki. Delik aduan absolut juga bisa menjadi celah terjadinya kejahatan seksual seperti perdagangan wanita hingga aborsi anak. Sedangkan dalam Pasal 411 KUHP Pembaharuan, delik aduan absolut yang digunakan diperluas cakupan pengadunya. yang Semula hanya berlaku pada suami atau istri yang menjadi korban kini pengadu bisa dari suami, istri, anak, dan orang tua yang dirugikan. Pembaharuan delik aduan absolut ini sejatinya bukan ingin melewati batas privat namun untuk menjaga nilai-nilai sosial budaya yang sudah ditanamkan dalam diri masyarakat Indonesia.

Dalam Pasal 284 KUHP pidana yang dijatuhkan hanya berupa pidana penjara paling lama 9 bulan. Pemberian pidana yang sangat singkat ini di harapkan menimbulkan efek jera dan tidak akan terjadi lagi. akan tetapi karena semakin berbahaya apabila pelaku melakukan perbuatannya kembali. Masyarakat juga khawatir karena tidak merasa aman dengan hukum yang berlaku dan mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Maka dalam Pasal 411 KUHP diperbaharui hukuman pidananya menjadi pidana selama 1 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,00.

Selanjutnya pada Pasal 412 tentang perbuatan kumpul kebo. Di Indonesia sendiri sebelumnya memberikan sanksi bagi pasangan lawan jenis yang belum terikat dalam perkawinan namun sudah berada disatu rumah yang sama dan tidak mempunyai hubungan darah. Perbuatan ini sangat meresahkan masyarakat karena belum adanya delik yang mengatur berkaitan dengan hal ini di dalam KUHP. Akibatnya, perilaku kumpul kebo ini dibiarkan saja oleh masyarakat dan skenario terburuknya adalah tindakan main hakim sendiri oleh warga yang menolak keberadaan kumpul kebo. Diaturnya perbuatan kumpul kebo ini diharapkan bisa mengurangi pasangan lawan jenis yang belum menikah untuk tinggal disatu atap dan minimalisasi adanya akibat dari perilaku tersebut seperti zina, pemerkosaan, narkoba, hingga pembunuhan. Perbuatan kumpul kebo ini juga merupakan delik aduan absolut yang mempunyai syarat seperti pada Pasal 411 yaitu hanya bisa diadukan oleh suami/istri, orang tua, dan anak.[9]

Terakhir yaitu Pasal 413 yang di dalamnya itu mengandung makna atau arti suatu hubungan sedarah atau membahas tentang hubungan inses. Dalam pengertian singkat, inses dapat diartikan hubungan seksual terlarang yang dilakukan oleh anggota keluarga dekat. Hubungan ini dianggap telah melanggar hukum adat dan agama. Inses secara luas ada tiga tipe inses yang pertama parental incest. Hubungan seksual terlarang yang dijalin oleh orang tua dan anak. Hubungan ini hanya terjadi pada lingkup keluarga inti saja. Kedua, tipe sibling incest yang dilakukan oleh saudara sekandungnya. Ketiga, famili incest yang dilakukan oleh kerabat dekat yang memiliki turunan menyamping dan ke bawah. Dalam Pasal 417 KUHP Pembaharuan disebutkan bahwa dilarang hukumnya jika bersetubuh dengan kerabat atau keluarga dekat yang memiliki keturunan menyamping dan ke bawah sebanyak tiga generasi berturut-turut. Hal ini dapat dipidanakan penjara paling lama 12 tahun. Sebelumnya tidak ada peraturan yang mengatur tentang perzinaan inses atas dasar suka sama suka di dalam KUHP. KUHP hanya mengatur perzinaan yang terjadi karena pencabulan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga.

Hal ini karena delik perzinaan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP tidak sesuai dengan karakteristik dan filosofi bangsa Indonesia. Dalam rumusan Pasal 284 KUHP menerangkan bahwa yang dimaksud dengan zina adalah pelanggaran terhadap kesetiaan terhadap perkawinan yang mana bila adanya persetujuan dari salah satu pasangan tidak dianggap sebagai perbuatan zina. Pasal 284 pun tidak mengakomodir perbuatan zina yang dilakukan oleh pria dan wanita lajang, kohabitasi, maupun inses yang kerap terjadi di masyarakat. Melalui KUHP Baru, substansi delik perzinaan dalam KUHP akan direkonstruksi dan diperluas pemaknaannya untuk menyesuaikan terhadap nilai dan karakteristik bangsa Indonesia melalui instrument kebijakan hukum pidana.[10]

  Aspek-Aspek Kebijakan atau Politik Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Delik Perzinaan

Adapun 3 aspek kebijakan/ politik hukum pidana berkaitan dengan delik perzinaan sebagai berikut:

a)      Aspek Filosofis

Delik perzinaan adalah salah satu jenis delik yang diatur dalam Buku II KUHP Pembaharuan, yaitu pada Pasal 411 hingga Pasal 413. Perubahan mendasar yang kita temukan dalam pengaturan perzinaan di KUHP Pembahruan adalah berkaitan dengan filosofis yang mendasari rumusan norma perzinaan. Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam KUHP warisan kolonial Belanda, perzinaan hanya dikenal apabila seorang laki-laki yang terikat dalam tali perkawinan melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang kawin ataupun belum kawin, begitupun sebaliknya. Sehingga dalam hal ini KUHP tidak memandang bahwa perbuatan zina ketika pelakunya adalah pria dan wanita yang sama-sama belum terikat tali perkawinan (belum kawin) dan didasarkan pada kesukarelaan masingmasing pihak untuk melakukannya (suka sama suka). Sebagaimana yang kita ketahui bahwa KUHP yang sekarang masih berlaku merupakan warisan sejak zaman penjajahan Belanda sehingga banyak pasal yang memang sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan politik maupun kultural masyarakat termasuk di dalamnya terkait dengan delik perzinaan.

Hal ini dikarenakan KUHP warisan kolonial Belanda didasarkan pada ideologi liberalisme dan individualisme. Dengan demikian perubahan pada delik perizinan tersebut dimaksudkan untuk merekonstruksi delik perzinaan yang terdapat pada KUHP dengan mengacu pada politik hukum, keadaan, perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta menciptakan keseimbangan berdasarkan nilai moral religius Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam rangka merekonstruksi delik perzinaan adalah aspek filosofis. Aspek filosofis berkenaan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa serta ketentuan UUD NRI 1945 sebagai konstitusi bangsa. Melalui Pancasila sebagai norma dasar dalam usaha pembentukan hukum nasional berpedoman pada tujuan hukum yang didasarkan kepada cita hukum Pancasila yang bertujuan memberikan pengayoman. Pancasila sebagai cita hukum memandang hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada jiwa bangsa. Politik hukum pidana juga harus dilandaskan pada tujuan politik nasional Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UUD NRI 1945 pada alinea ke IV yang salah satunya adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.[11]

b)      Aspek Sosiologis

Ditinjau dari aspek sosiologis, politik hukum pidana bertujuan untukmencapai pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat di suatu negara. Artinya politik hukum yang dibangun disesuaikan dengan nilai dan karakteristik masyarakat tersebut. Hal ini berarti bahwa dalam pengaturan delik perzinaan di KUHP Pembaharuan. didasarkan atas nilai agama, adat, sosial dan budaya yang dianut oleh masyarakat. Sehingga pandangan masyarakat tentang kesusilaan dan kepatutan memiliki peranan penting dalam politik hukum pidana, salah satunya terdapat delik perzinaan di KUHP Pembaharuan. Menurut nilai dan norma yang berkembang di masyarakat, perbuatan zina adalah perbuatan memalukan dan bertentangan dengan kesusilaan. Sehingga perbuatan zina dalam pandangan masyarakat tidak hanya dipahami bagi seorang laki-laki atau perempuan yang berzina dalam status kawin, melainkan juga terhadap laki-laki atau perempuan yang belum kawin. Dengan demikian, berdasarkan pandangan sosiologis inilah delik perzinaan dalam KUHP dilakukan perubahan.[12]

c)      Aspek Praktik

Ditinjau dari aspek praktikal, maka pembaharuan substansi delik perzinaan dalam KUHP Pembaharuan bertujuan untuk mempertahankan moral bangsa sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perbuatan zina telah nyata bertentangan dengan aspek filosofis yaitu UUD NRI 1945 dan Pancasila serta aspek sosiologis yaitu nilai dan karakteristik masyarakat Indonesia. Maka dengan adanya pembaharuan ini melalui instrumen politik hukum pidana yang didasarkan atas politik hukum bangsa Indonesia akan dapat mencegah perbuatan zina tersebut berlangsung di masyarakat.

Melalui rekonstruksi delik perzinaan dalam KUHP Pembaharuan Pasal 411 hingga Pasal 413 dapat menjerat pelaku zina tidak hanya bagi mereka yang telah terikat tali perkawinan, melainkan juga bagi mereka yang masih lajang dan belum terikat tali perkawinan. Dengan diperluasnya makna perzinaan dalam KUHP Pembaharuan ini akan memberikan efek seperti yang dikemukakan oleh Anselm von Feuerbach yaitu psycologische zwang, artinya dapat memberikan rasa takut terhadap siapa yang melakukan perbuatan tersebut. Sehingga memberikan efek pencegahan (detterent effect) bagi perbuatan tersebut. Dengan demikian, dengan adanya pembaharuan terhadap delik perzinaan melalui politik hukum pidana ini akan berusaha untuk memenuhi tujuan pemidanaan seperti yang diharapkan dalam Pasal 51 KUHP Pembaharuan Huruf C dan D yaitu menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat serta menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.[13]



[1] Dalam Undang-Undang No. 1 Tahiun 1946 (KUHP) yang lama, delik perzinaan diatur dalam Bab XIV dari Buku II Pasal 284 KUHP.

[2] Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

[3] P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 3.

[4] Ahmad Bahiej, “Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel) Dalam Hukum Pidana Indonesia,” Jurnal Sosio-Relegia 2, no. 2 (2003), hlm. 1–2.

[5] Ahmad Bahiej, “Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel) Dalam Hukum Pidana Indonesia,”., hlm. 3-4.

[6] Dhea Sukma Putri, Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan dalam RKUHP, Jurnal Studia Legalia: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 Nomor 1, Oktober 2022, hlm. 28-29.

[7] Ibid.

[8] Teguh Kurniawan dkk, Konstruksi Politik Hukum Perdana terhadap Delik Perzinaan Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Binamulia Hukum Volume 12, Nomor 1, Juli 2023 (11-24).

[9] Ibid.

[10] Raka Indra Pratama, Kebijaka Kriminal Terhadap Tindak Pidana Perzinahan Berdasarkan Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, al-Jinâyah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 8, No. 1, Juni 2022.

[11] Ach Faisol Triwijaya, Yaris Adhial Fajrin, dan Arif Prasetyo Wibowo, “Quo Vadis: Pancasila Sebagai Jiwa Hukum Indonesia,” Jurnal Pendidikan PKN (Pancasila Dan Kewarganegaraan), 1, no. 2 (2020), hlm. 115–129.

[12] Maulidin Darma Wangsa, “Urgensi Perubahan Sifat Tindak Pidana Perzinaan di Indonesia dari Tindak Pidana Aduan Menjadi Tindak Pidana Biasa,” Legal Spirit 2, no. 1 (2018), hlm. 22–35.

[13] AR Suhariyono, “Penentuan Sanksi Pidana Dalam Suatu Undang-Undang,” Jurnal Legislasi Indonesia 6, no. 4 (2018), hlm. 615–666.

Tidak ada komentar:

Perspektif Teori Hukum Feminis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Ketidakadilan Gender Pada Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan)

  PERSPEKTIF TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (KETIDAKADILAN GENDER PADA HAK ASASI...