PERSPEKTIF TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (KETIDAKADILAN GENDER PADA HAK ASASI MANUSIA BAGI KAUM PEREMPUAN)
1. Pengaturan
dalam Penerapan Hukum Perkawinan di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
a) Latar
Belakang lahirnya Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sesuai
dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional,
Pemerintah memandang perlu adanya suatu peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang perkawinan bagi semua warga negara Indonesia, sehingga
dibuatlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah
yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya
yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional
yang telah mendapat pengakuan hukum, kemudian mereka merefleksikan hal tersebut
dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang
Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres
perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang
keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.
Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[1]
Kemudian
pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299
tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum
Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu berbagai organisasi
terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin
merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk
DPR.5Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial
(1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat
Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh
Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963). Sebagaimana dikemukakan,
berbagai hukum tertulis tentang perkawinan bagi berbagai golongan telah berlaku
di Indonesia sebelum adanya hukum perkawinan secara nasional. Bagi golongan
bumiputera yang beragama Islam, tuntutan untuk memiliki hukum tertulis tentang
perkawinan telah menjadi persoalan sejak masa penjajahan, sebab S. 1895 No. 198
bukanlah peraturan tentang pencatatan perkawinan saja, seperti halnya UU No. 22
Tahun 1946 Jo UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Pada
bulan Maret 1954, RUU Perkawinan Umat Islam telah selesai disusun dan tanggal
19 Juni 1958 RUU Perkawinan tersebut diajukan ke DPR sebagai usulan inisiatif
pemerintah. Namun bersamaan dengan itu, muncul RUU Perkawinan (Umum) atas usul
inisiatif Ny. Sumari (PNI). Kedua RUU itu bertolak belakang, satu berdasarkan
agama, dan yang lainnya berdasarkan faham sekuler. Akan tetapi kedua RUU
Perkawinan tersebut tak sempat menjadi UU Tahun 1967 pemerintah mengajukan lagi
dua buah RUU Perkawinan kepada DPRGR :
1) RUU
tentang Pernikahan Umat Islam, diajukan oleh Menteri Agama bulan Mei 1967
2) RUU
tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, diajukan oleh Menteri Kehakiman bulan
September 1967.
Umat
Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang
Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso
Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk
memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak
berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU
tersebut ke pemerintah.7 Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan
undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada
rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan
lahirnya undang-undang tersebut.[2]
Simposium
Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar
supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan
Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22
Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah
agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU
tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan.8 Selanjutnya organisasi Mahasiswa
yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal
11 Februari 1973. Sebelum RUU tersebut diajukan, tercatat ada beberapa
pertemuan yang mendesak segera diungkapkannya UUP, antara lain :
1) Musyawarah
Nasional Kesejahteraan Keluarga tahun 1962 oleh Departemen Sosial.
2) Konperensi
I tahun 1962 oleh Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4)
Pusat (Departemen Agama).
3) Seminar
Hukum Nasional tahun 1963 oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) bersama
Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi).
4) Tap
MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 tentang perlunya segera diadakan UU tentang
Perkawinan.[3]
Tahun 1968, kedua RUU tersebut dibicarakan
DPRGR, akan tetapi tidak mendapat persetujuan DPRGR. Pemerintah pun menarik
kembali kedua RUU tersebut. Tidak disetujuinya kedua RUU tersebut, ditanggapi
dengan saran dan pendapat oleh beberapa Organisasi yakni Ikatan Sarjana Wanita
Indonesia (ISWI) melalui simposiumnya, tanggal 29-1-1972, badan Musyawarah
Organisasi Islam Wanita Indonesia melalui Sidangnya tanggal 22-2-1972 dan melalui
seminar tentang Pengaruh UU terhadap Kemantapan Perkawinan, tahun 1973. Karena
tidak mendapat persetujuan DPRGR, pemerintah menyiapkan RUU Perkawinan yang
baru, dan pada tanggal 31-7- 1973 RUU Perkawinan yang terdiri 15 bab dan 75
pasal diajukan kepada DPR hasil Pemilu 1971. Tanggal 27-9-1973 Pemerintah dan
DPR mengadakan musyawarah mencari kesepakatan untuk menyempurnakan RUU
Perkawinan tersebut. Setelah melalui perdebatan yang hangat di DPR dan
tanggapan yang panas dari masyarakat Islam terhadap RUU Perkawinan yang
bersifat sekuler itu, akhirnya Fraksi ABRI dan Fraksi Persatuan Pembangunan
dalam pertemuannya telah membentuk konsensus, antara lain:
1) Hukum
agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi ataupun dirubah.
2) Sebagai
Konsekwensi dari point 1, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi
atau dirubah, tegasnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 dan Undang-undang
Nomor 14 tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
3) Hal-hal
yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam
Undang-undang ini dihilangkan (didrop).[4]
Tanggal
22 Desember 1973, setelah mengalami perubahan dan amandemen, RUU Perkawinan
disahkan oleh DPR menjadi UU, dan selanjutnya tanggal 2 Januari 1974
diundangkan oleh Presiden menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (LNRI 1974
Nomor 1). Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah
RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah
menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15
(lima belas). bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal. RUU ini mempunyai tiga
tujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalahmasalah perkawinan,
sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law.
Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan
dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan
tuntutan zaman. dangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU tentang
Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada tanggal 27
September 1973. Pada intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa
memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut. Adapun hasil akhir
undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab
yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.17
Sedang rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73
pasal.
b) Eksistensi Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan
Undang undang Perkawinan (UUP) harus dipahami sebagai Undang-undang (UU)
Nasional yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan yang bulat. UUP merupakan
satu kesatuan UU dan satu kesatuan sistem hukum yang bab-bab, pasal-pasal dan
ayat-ayatnya tidak boleh ditafsirkan bertentangan satu sama lain. Sesuai dengan
sejarahnya, pemahaman dan penafsiran UUP tidak boleh dipertentangkan dengan
hukum agama, khususnya hukum Islam. Bahkan mempelajari UUP harus mempunyai
latar belakang dan dasar pemahaman terhadap hukum Islam, sebab dalam banyak
ketentuannya adalah ajaran/hukum Islam. Memahami UUP dan penafsirannya harus
bertumpu pada pandangan wawasan nusantara, artinya UUP sebagai hukum nasional
hendaknya dipahami dan dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia yang
merupakan satu kesatuan wilayah hukum. UUP adalah mewujudkan hukum nasional
yang baru berdasarkan Pancasila, yang merupakan norma-norma hukum yang
berwawasan nusantara, karena itu, dalam pemahaman babbab, pasal-pasal dan
ayat-ayatnya harus disesuaikan dengan semangat menggantikan ketentuan-ketentuan
hukum yang diskriminatif yang diciptakan oleh Pemerintah Belanda.[5]
UUP merupakan norma hukum nasional di dalam peningkatan pergaulan hidup
internasional bangsa dan negara Indonesia. Karenanya, di dalamnya diatur
perkawinan di luar dan perkawinan campuran. Disadari bahwa sesuai dengan Azas
Bhinneka Tunggal Ika, maka ada perbedaan fundamental antara warga negara
Indonesia di dalam hukum. UUP adalah hukum nasional Indonesia di dalam
pergaulan Internasional. Yang bertatanan hukum internasional. Karena dalam UUP
ada beberapa pasal yang berhubungan dan berkaitan dengan hukum perdata
internasional maka harus dipahami dalam konteks hukum internasional privat
(Hukum Perdata Internasional).
2. Perspektif
Teori Hukum Feminis dalam Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
a) Teori
Hukum Feminis atau Feminish Legal Theory (FLT)
Kata feminist dalam berbagai kamus
sering diartikan sebagai kata benda (noun) atau kata sifat (adjective)
diartikan dengan kata feminism. Feminist merupakan kata sifat (adjective) dan
feminism yang berarti teori tentang kesetaraan politik, ekonomi dan social
berdasarkan jenis kelamin dan aktivitas yang diorganisasi atas nama hak-hak dan
kepentingan perempuan. Feminism berarti advokasi hak-hak perempuan atas
dasar kesetaraan jenis kelamin.[6]
Feminst Legal Theory atau teori hukum
feminis lahir untuk mendobrak tatanan hukum yang timpang karena dunia yang
terlampau patriarki. Para feminis ini menyakini bahwa sejarah yang ditulis
melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan
kaum perempuan dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Sejarah itulah yang
kemudian telah bias menciptakan konsep-konsep tentang keberadaan manusia,
potensi gender dan rekayasa social yang menghasilkan logika, bahasa dan
struktur hukum yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut pandang
laki-laki tersebut. Feminist Legal Theory merupakan bagian dari studi
feminis melandaskan kajian dengan bertitik tolak dari pengalaman perempuan.
Pengalaman perempuan dapat dikatakan sebagai pengalaman particular, karena
tidak semua perempuan ini adalah sama, sehingga hal ini bersifat subjektif. Feminist
Legal Theory sendiri adalah aliran pemikiran yang memihak kepada perempuan
dalam rangka memberdayakan, melindungi dan mengemansipasi perempuan. Disinilah
kita dapat melihat bahwa aliran ini bersifat subjektif, bukan objektif
sebagaimana hukum yang diusung oleh aliran positivism hukum.[7]
Teori Hukum Feminis atau Feminist Legal
Theory (FLT) muncul pertama pada tahun 1970, sebuah pemikiran yang berusaha
melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum terhadap kaum perempuan dan
diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum. Para feminis meyakini bahwa
sejarah ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak
merefleksikan peranan kaum perempuan dalam pembuatan dan penyusunan sejarah.
Sejarah buatan laki-laki tersebut telah dengan bias menciptakan konsep-konsep
tentang keberadaan manusia, potensi gender dan rekayasa sosial yang
menghasilkan bahasa, logika dan struktur hukum yang mencerminkan karakter dan
nilai-nilai dari sudut pandang laki-laki.
Hingga sekarang berkembang berbagai gerakan
feminis, yaitu; Feminist Traditional, Liberal, Marxis, Sosiologis dan Feminist
Radikal. Feminist Traditional menyatakan bahwa perempuan sama rasionalnya
dengan kaum laki-laki dan karenanya harus memiliki kesempatan yang sama dalam
meilih. Feminist Liberal menentang anggapan bahwa adanya kewenangan kaum
laki-laki dan berusaha menghapus perbedaan gender yang disebabkan oleh
peraturan perundang-undangan atau hukum, yang sekaligus membuat kaum perempuan
mampu bersaing di dalam pasar bebes. Feminist Marxis menganggap bahwa negara
bersifat kapitalis, yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai
pekerja. Dengan hancurnya kapitalisme maka kaum perempuan akan terbebaskan.
Feminist Sosiologis, berasusmsi sama mengenai masalahmasalah perempuan, dengan
tujuan untuk membebaskan kaum perempuan dengan cara mewujudkan tatanan sosial
sosialis. Tak ada pembebasan tanpa sosialisme, mereka menganggap bahwa kaum
perempuan akan terbebas jika sistem kepemilikan dihanjurkan. Karenanya mereka
memandang bahwa lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta
dan pemilikan suami atas istri dihapuskan. Feminist Radikal adalah gerakan
pembebasan perempuan yang menggugat budaya patriarkhisme dan seksisme yang
menonjolkan maskulinitas kaum laki-laki.[8]
Charlote Bunch seorang aktifis HAM perempuan,
menyatakan bahwa saat ini isu-isu perempuan secara konkrit harus menjadi fokus
perhatian negara baik pada tingkat nasional, regional maupun tingkat
international. Hanya dengan cara tersebut, isu-isu kaum perempuan khususnya
isu-isu perkawinan dalam UUP dapat dianggap sebagai masalah negara dan bangsa.[9]
b) Teori
Hukum Feminis Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Pada Pasal
Tentang Konsep Poligami, Hak dan Kewajiban serta Kedudukan Suami Istri).
Para
pemikir teori hukum feminis berpendapat bahwa teori hukum yang selama ini
ditampilkan oleh para pemikir hukum terlalu mengkonsentrasikan diri pada
jurispudence yang patriarkhi. Teoriteori yang ditampilkan dan dicoba untuk
memahami adalah teori hukum yang dikembangkan oleh laki-laki dan tentang
bagaimana lakilaki berperan sebagai bagian dari warga negara. Selain hukum yang
secara umum dipengaruhi oleh pola pikir patriarkhis, teori hukum feminis
mengkritik pula peraturan perundang-undangan yang bias gender termasuk UUP. Di
Indonesia peraturan perundang-undangan dan penerapannya merupakan refleksi dari
pola pikir patriarkhis, yang juga merefleksikan pada bagaimana peraturan
perundangan mengatur berbagai permasalahan di dalam masyarakat.
Di Indonesia, pemberlakuan peraturan sangat
dipengaruhi oleh parlemen dimana pengajuan rancangan peraturan baik atas
inisiatif parlemen maupun pengajuan dari pemerintah, harus selalu melalui
pembicaraan atau pembahasan di parlemen yang akhirnya difinalisasi oleh
parlemen pula. Karena itu, parlemenlah yang menjadi wakil dari suara masyarakat
yang akan menyetujui atau menolak usulan atas pemberlakuan suatu peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu, individu-individu di parlemen akan sangat
penting dan menentukan dalam pembentukan sebuah peraturan. Misalnya, prosentase
kaum perempuan sebagai anggota parlemen untuk periode 2003-2008 hanya mencapai
10%. Ini dapat menggambarkan bagaimana signifikansi keterlibatan kaum perempuan
di parlemen dalam perumusan 31 tahun yang lalu pada saat UUP dibentuk.[10]
Sejak UUP disahkan, banyak kalangan yang
menilai kalau UU tersebut masih timpang. Teori Hukum Feminis melihat UU
tersebut belum mengadoptif terhadap tuntutan mereka untuk mengangkat hakhak
asasi kaum perempuan. Sehingga muncul berbagai suara yang mencoba menggugat
berbagai kekurangan dalam UUP tersebut. Munculnya gugatan terhadap UUP
disebabkan oleh fakta sehari-hari yang masih menampakkan
ketimpangan-ketimpangan gender baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat luas
maupun dalam pengadilan (hakim) atau penegak hukum itu sendiri.
Ketimpangan-ketimpangan itu antara lain yakni :
1. Dalam
Ketentuan Poligami
Dapat
ditemukan pada pasal-pasal yang membicarakan persoalan poligami. Ketentuan
poligami diatur dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) butir a, b dan c, dan
Pasal 5 ayat (1) butir, a, b dan c, UUP tahun 1974:
·
Pasal 3: (1) Pada azasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami.
·
Pasal 4: (1) Dalam hal seorang suami
akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
Undangundang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud pada ayat (1) pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang
apabila : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b.
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
·
Pasal 5: (1) Untuk dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
Undangundang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anakanak mereka; c. Adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2)
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.[11]
Peraturan-peraturan pada pasal 3 ayat 1
dan 2 terjadi inkonsistensi. Ayat (1) menegaskan azas monogami, sedangkan pada
ayat (2) memberikan kelonggaran kepada suami untuk berpoligami hingga batas 4
orang isteri. Dan salah satu syarat yang harus dipenuhi suami yang akan
mengajukan permohonan poligami adalah persetujuan isteri. Penjelasan terhadap
persetujuan isteri dijabarkan dalam pasal 59 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam
ayat selanjutnya disebutkan bahwa :
“Dalam
hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk
beristeri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam
pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang
pemberian izin memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi.”
Pada pasal-pasal ini sangat jelas
menunjukkan betapa lemahnya posisi isteri. Sebab, seandainya isteri menolak
memberikan persetujuannya, Pengadilan Agama dengan serta merta dapat mengambil
alih kedudukannya sebagai pemberi izin, meski ada kewenangan untuk mengajukan
banding atau kasasi. Dalam realitas, umumnya para isteri merasa malu dan berat
hati mengajukan banding terhadap keputusan pengadilan menyangkut perkara
poligami, apalagi jika isteri berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Alasan-alasan yang digunakan Undang-Undang Perkawinan dalam memberikan izin
poligami kepada suami juga sangat diskriminatif dan mendudukkan kesalahan lebih
banyak kepada perempuan. Dalam Pasal 4 ayat 2 UU RI. Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan (UUP) yang berbunyi “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila: (a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri; (b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; (c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Undang-Undang perkawinan membolehkan
poligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu. Jelas karena asas yang
dianut oleh Undang-Undang perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak
melainkan disebut monogami terbuka atau monogami yang tidak bersifat mutlak.
Menurut Yahya Harahap, poligami ditempatkan pada status hukum darurat, atau
dalam keadaan yang luar biasa. Disamping itu, poligami tidak semata-mata
kewenangan penuh suami tetapi atas izin dari pengadilan. Persoalan poligami
sekarang ini banyak dilakukan atas dasar cinta yang diawali perkenalan dengan
wanita lain sampai ke tahap yang dilarang oleh agama. Padahal kondisi isteri
tidak dalam keadaan sakit dan tidak kurang satu apapun dalam menjalankan
kewajibannya sebagai isteri, bahkan telah dikaruniai anak.
Dalam Undang-Undang alasan berpoligami harus
jelas. Jika beralasan karena isteri sakit dan tidak dapat melahirkan keturunan
suami harus menunjukan bukti surat keterangan medis yang mengatakan dalih
tersebut. Keterangan medis dikeluarkan dari rumah sakit yang ditunjuk oleh
Pengadilan. Suami juga harus diperiksa kesuburannya karena belum tentu isteri
yang tidak subur, dengan kata lain kemampuan melahirkan keturunan tergantung
pada kesuburan suami. Agar tidak terjadi kondisi saling menyalahkan satu sama
lain.
Penindasan yang dilegalkan secara hukum dalam
bentuk “poligami sepihak” merupakan pintu masuk untuk menghilangkan makna dan
marwah perkawinan itu sendiri. Dan ketentuan semacam ini berpotensi menciptakan
kerancuan pemaknaan atas misi penciptaan keluarga bahagia berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Apa yang dinyatakan Pasal 4 Ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 ini
terkesan memahami perkawinan dari satu sudut pandang saja; yakni kepentingan
laki-laki. Perkawinan yang merupakan peristiwa yang sifatnya sangat privat
sekalipun ternyata masih didominasi laki-laki; alih-alih terjadi kesetaraan
gender antara laki-laki dan perempuan dalam ranah publik. Nilainilai
kemanusiaan, keadilan, kebijaksanaan, dan ketuhanan dalam sila-sila Pancasila
rasanya juga sulit ditemukan dalam pencermatan atas pasal tersebut.[12]
Menurut kaum feminis, diskriminasi
terhadap perempuan dan anak perempuan masih menjadi bagian dalam kehidupan
perempuan di Indonesia. Hukum memang bias gender karena latar belakang
pemikiran, pengalaman dan cara pandang pencetusnya yang sebagian besar
menggunakan nilai-nila “maskulin” sebagai acuannya. Dalam pembentukan atau
perumusan peraturan perundang-undangan hal itu tidak lepas dari adanya unsur
politik dalam proses legislasi yang dipengaruhi oleh pola pikir yang dominan.[13]
Hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh
paradigma Patriarkhisme hukum yang melakukan diskriminasi terhadap kaum
perempuan, tidak terkecuali UUP. Karena patriarkhisme tersebut yang dilakukan
dengan kecenderungan legisme telah melegalisir peraturan perundang-undangan
yang bias gender ke dalam penerapannya yang implikasinya sangat merugikan kaum
perempuan di Indonesia. Hak- hak kaum perempuan terampas dan kaum perempuan
selalu termarginalisasikan. Adanya bias patriarkhi pada hukum, menurut beberapa
Teori Hukum Feminis disebabkan oleh berbagai hal, antara lain biologis, budaya,
dan kekuasaan.[14]
Feminist Legal Theory
menyatakan bahwa bahkan Critical Legal Studies, (CLS) sekalipun
menyoroti keberlakuan UUP semata dari sudut pandang kaum laki-laki, demikian
pula pemikiran-pemikiran Jurisprudence lainnya. Dikatakan bahwa hukum
dan legal theory adalah lahan laki-laki, yaitu laki-laki yang menyusun
hukum dan teori tentang hukum. Nilai laki-laki yang melekat pada hukum itulah
yang kemudian berdampak kepada kelompok lain yang tidak terwakili dalam nilai-nilai
tersebut. Nilai-nilai itu pula sudah sedemikian melektanya sehingga dianggap
umum dan absolut dengan meniadakan nilai-nilai yang lain.
Selanjutnya teori hukum feminis
berpendapat bahwa teori-teori hukum yang selama ini ditampilkan oleh para perumus
UUP, khusunya Pasal mengenai “Poligami” sangat mengkonsentrasikan diri pada Jurisprudence
yang sangat patriarkhi. Teori-teori yang ditampilkan dan dicoba untuk difahami
adalah teori hukum yang dikembangkan oleh laki-laki dan tentang bagaimana
laki-laki berperan sebagai bagian dari warga negara. Meski dalam pembahasan
tentang teori hukum dibahas pula perkembangan gerakan Critical Legal Studies,
secara umum fokus pembahasannya adalah pada permasalahan dan konsep-konsep yang
didefinisikan oleh kaum laki-laki dengan menggunakan ideologi Maskulin.
2. Ketentuan
Pada Hak dan Kewajiban Suami Istri
Pada bagian hak dan kewajiban suami istri,
Hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam pasal 34 :
(1)
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan
rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya
masingmasing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Pasal ini sangat jelas mengindikasikan
adanya pengukuhan pembagian dan pembakuan peran perempuan berdasarkan jenis
kelamin dan sekaligus mengukuhkan domestikasi perempuan. Secara umum difahami
bahwa kewajiban isteri untuk berbakti kepada suaminya seolah tanpa batas.
Ungkapan klise yang muncul dari fakta ini adalah “kewajiban isteri adalah
melayani suami sejak mata suami terbit sampai mata suami terbenam”. Ketentuan
bahwa isteri berkewajiban mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya
membenarkan anggapan stereotip masyarakat bahwa tempat perempuan yang
layak adalah rumah. Jikalau isteri keluar rumah dipandang tidak terhormat.[15] Pasal-Pasal tersebut
sangat jelas mengindikasikan adanya pengukuhan pembagian dan pembakuan peran
perempuan berdasarkan jenis kelamin dan sekaligus mengukuhkan domestik
perempuan. Domestikasi ini mengarah kepada upaya penjinakan, segregasi ruang
dan depolitisasi perempuan.
Hak dan kewajiban suami istri dalam UUP
maupun dalam KHI adalah masih bersifat Bias Gender. Pasal-pasal tersebut
mendikotomi antara ruang public dan ruang privat, tentunya tidak relevan lagi
dengan kondisi bangs aini mulai berkembang secara pandangan hidup serta tidak
adil dan terkesan diskriminasi. Dalam Perspektif Teori Hukum Feminis bahwa hak
dan kewajiban suami dan istri haruslah setara, menganut nilai persamaan dan
kesetaraan tanpa mempersoalkan jenis kelamin (sex). Tentunya gender
sendiri bersifat dinamis, kalau istri mengasuh anak dan suami bekerja mencari
nafkah dan banyak juga ditemukan sebaliknya istri yang mencari nafkah dan suami
yang di rumah mengasuh anak.[16]
Dari uraian sebagaimana di atas yang
terkandung di dalam UUP, maka dapat dikatakan bahwa Pasal-Pasal tersebut jika
dianalisis lebih dalam bertentangan dengan nilainilai universal yang terkandung
di dalam hukum Islam. Hukum Islam menghendaki nilai-nilai keadilan, kesetaraan
di depan hukum, persamaan derajat antara laki-laki dan kaum perempuan. Bentuk
ketidakadilan kaum perempuan yang disebabkan oleh beberapa Pasal yang sifatnya
diskriminasi sebagaimana di atas, jelas bertentangan dengan nilai-nilai hak
asasi manusia (HAM) dimana Islam mengamanahkan pentingnya sebuah perlindungan
terhadap HAM. Karena secara esensial HAM akan selalu melekat dalam diri manusia
khususnya kaum perempuan.
3. Ketentuan
Pada Kedudukan Suami dan Istri
Kedudukan
suami istri diatur dalam Pasal 31:
(1)
Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; (2)
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum; (3) Suami adalah
kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Kandungan isi ketiga ayat
dalam Pasal tersebut tampak inkonsistensi, artinya saling bertentangan satu
sama lain.
Dalam dua ayat pertama dinyatakan
kedudukan suami istri seimbang, baik dalam kehidupan dirumah tangga maupun di
masyarakat, namun bagaimana mungkin bisa dikatakan seimbang sementara pada ayat
berikutnya kedudukan suami sudah dipatok sebagai kepala rumah tangga.
Penggunaan kata “kepala”, dalam menjelaskan kedudukan suami mengandung konotasi
kekuasaan dan sangat terkesan otoriter sehingga tidak salah kalau masyarakat
awam memandang suami identik dengan penguasa diruang lingkup keluarga, termasuk
mewajibkan istri melakukan seluruh tugas-tugas dirumah tangga dan melayani seluruh
keperluan dan kebutuhan dirinya lahir dan batin.
Umumnya pandangan streotip suami
sebagai kepala keluarga didasarkan kepada firman Allah SWT dalam an-Anisa yang
diterjemahkan: laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Berkaitan dengan ayat
tersebut, pertama harus dijelaskan makna qawwam. Kalaupun itu dimaknai dengan
“pemimpin” maka pemimpin yang menghendaki dalam Islam adalah pemimpin
demokratis, penuh kasih sayang dan pengertian, bukan pemimpin yang otoriter,
memaksa dan sewenang-wenang. Dan yang lebih penting lagi adalah harus diahami
bahwa posisi qawwam bagi suami tidaklah otomatis, melainkan sangat tergantung
pada dua syarat yang diterangkan pada penghujung ayat, yakni: Harus memiliki
kualitas yang lebih tinggi daripada istrinya, dan kualitas dimaksud bisa
bermakna kualitas fisik, moral, intelektual dan finansial dan Harus telah
menunaikan kewajibannya memberi nafkah kepada keluarga.
Pasal tentang kedudukan suami istri
sebagaimana di atas, jelas tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Konvensi CEDAW
tentang prinsip don-diskriminasi dan persamaan. Pasal 1 menjelaskan bahwa
“diskriminasi terhadap perempuan" berarti setiap pembedaan, pengucilan
atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh
atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau
penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum
perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara
laki-laki dan perempuan”. Hal inilah yang ditekankan dalam Konvensi CEDAW yaitu
prinsip persamaan dan keadilan antara suami-istri merupakan sebuah keharusan.
Keharusan karena prinsip keadilan serta kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan merupakan sebuah perwujudan HAM yang dimiliki oleh semua umat,
khususnya kaum perempuan. Kenapa konsep HAM itu sesuatu yang sangat penting
dalam kenegaraan Indonesia, karena Indonesia telah memploklamirkan sebagai
konsep negara hukum.[17]
Implikasinya kemudian dapat terlihat pada
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jikalau isteri bekerja mencari nafkah di luar
rumah, pekerjaannya itu hanya dinilai sebagai pekerjaan tambahan, dan karenanya
dibayar sebagai pencari nafkah tambahan, bukan pencari nafkah utama. Akibatnya,
pekerja perempuan selalu digolongkan dalam status pekerja lajang, meskipun
secara riil memiliki suami dan anak. Isteri tidak menerima tunjangan untuk
suami dan anak-anak sebagaimana yang diterima oleh laki-laki. Padahal, sejumlah
penelitian menjelaskan bahwa tidak sedikit dari perempuan yang bekerja itu
justeru merupakan pecari nafkah utama di dalam keluarga, dan di pundak
merekalah seluruh anggota keluarga, termasuk suami, menggantungkan hidupnya.
Secara empiris dapat dikatan bahwa hukum
dan teori hukum didominansi laki-laki, atau secara ringkas dapat dikatakan
bahwa lakilaki yang menulis hukum dan teori hukum. Hal ini tampak dari mereka
para ahli teori hukum yang mengemukakan teorinya, yang hampir seluruhnya
laki-laki, yang pada gilirannya secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi teori-teori yang dihasilkannya.
Dengan kata lain, teori-teori tersebut
dihasilkan melalui kerangka berfikir laki-laki dan berdasarkan dari sudut
pandang laki-laki pula. Para feminis meyakini bahwa sejarah ditulis melalui sudut
pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan kaum perempuan
dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Sejarah buatan laki-laki tersebut
dengan bias menciptakan konsep-konsep tentang keberadaan manusia, potensi
gender dan rekayasa sosial yang menghasilkan bahasa, logika dan struktur hukum
yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut pandang laki-laki.[18]
Teori hukum feminis, yang pada pokoknya
menyatakan bahwa hukum tidak memberikan keadilan bagi kelompok kaum perempuan,
digunakan sebagai standar dalam mengkaji kaidah hukum yang berlaku selama ini
di Indonesia kaitannya dengan peranan perempuan dalam hukum dan dengan posisi
perempuan di masyarakat, baik pada masa kini maupun di masa pembentukan
peaturan perundang-undangan.
c. Pendekatan Kasus Terkait Ketidakadilan dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan dalam Penerapan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974.
1) Putusan
Nomor: 217/Pdt.G/2016/PA.Smg.
Surat permohonan yang terdaftar
kepaniteraan Pengadilan Agama Semarang tertanggal 21 Januari 2016 dan telah
diputus oleh hakim pada tanggal 18 April 2016 dengan putusan mengabulkan izin
poligami, adapun rinciannya sebagai berikut :
Pemohon umur 45 tahun agama Islam dengan
Termohon umur 52 tahun; pemohon hendak menikah lagi dengan Bunga (nama samaran)
umur 30 tahun sebagai calon istri kedua pemohon karena ingin punya keturunan
lagi, dan mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istri pemohon. Majelis Hakim
mengabulkan permohonan Pemohon untuk melakukan poligami dengan alasan di atas
menggunakan beberapa pertimbangan, yaitu :
Menimbang, bahwa Pemohon mengajukan
permohonan izin poligami supaya diperkenankan menikah dengan Bunga (nama
samaran) berumur 30 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di
jalan Sendangguwo Kecamatan Tembalang Kota Semarang, dengan mengajukan
dalil-dalil sebagaimana tersebut dalam surat permohonannya, antara lain
disebabkan Pemohon masih menginginkan anak sementara Termohon sudah tidak dapat
melahirkan lagi karena faktor usia.
Menimbang, bahwa dalam pemeriksaan perkara
ini, fakta hukum menunjukkan Pemohon dan Termohon telah mempunyai seorang anak,
yang artinya Termohon telah dapat melahirkan keturunan. Namun demikian di
samping itu ternyata Pemohon masih menginginkan anak sementara Termohon tidak
dapat lagi melahirkan disebabkan usia sudah 52 tahun dan ternyata pula Pemohon
telah menghamili calon istri kedua. Berdasarkan fakta hukum di atas, permohonan
Pemohon sekalipun tidak didukung oleh suatu sebab sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo pasal 41 huruf a Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal 57 Kompilasi Hukum Islamdi Indonesia
tahun 1991, akan tetapi menurut majelis hakim fakta hukum tersebut patut
dimaknai adanya suatu sebab yang dapat dipertimbangkan dalam permohonan Pemohon
ini, terlebih-lebih Termohon tidak berkeberatan bila Pemohon menikah lagi
dengan seorang perempun dimaksud
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut di atas, permohonan pemohon dalam perkara ini patut dianggap mempunyai
alasan dan telah memenuhi syarat yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 UU No.1 tahun
1974 jo pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 jo pasal 58 ayat
1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tahun 1991 dan tidak bertentangan dengan
pasal 55 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tahun 1991.
2) Pada
Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg,
Dalam Putusan ini disebutkan bahwa selama berumah tangga antara Pemohon
dengan Termohon telah berhubungan layaknya suami dan isteri dan telah di
karunai 2 (dua) orang anak yang bernama FRP (Pr) dan RA (lk). Dalam hal ini
sebagaimana yang disebutkan diatas bahwa pengadilan agama hanya memberi ijin
jika syarat -syarat yang terdapat pada pasal 57 KHI terpenuhi, namun pada
perkara in i bahwa IW sudah jelas tidak mandul dan sudah menjalankan
kewajibannya sebagai seorang isteri, juga tidak mendapat cacat badan atau
penyakit. Namun pada putusannya hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk
berpoligami. Menurut keterangan hakim bahwa (IW) menyatakan rela dan tidak keberatan
apabila pemohon menikah lagi dengan calon isteri pemohon yang kedua tersebut,
serta termohon bersedia dimadu oleh pemohon, karena termohon takut apabila
pemohon akan melakukan hal yang tidak diinginkan (zina) jika pemohon tidak
diijinkan menikah lagi.
Analisis putusan terhadap putusan nomor
1392/Pdt.G/2017/PA.Srg. Bahwa Pemohon ingin menikah lagi dengan isteri kedua
karena masih saling mencintai setelah hubungan yang mereka jalin putus ditengah
jalan sebelum pemohon dan termohon menikah. Setelah mendengar keterangan
pemohon bahwa pemohon sanggup dimadu karena tidak ingin permohon terjerumus p
ada perbuatan yang tidak di inginkan jika tidak diberikan ijin poligami, dan
meskipun Pemohon tidak memenuhi salah satu syarat poligami yaitu syarat fakultatif
namun suami telah memenuhi syarat kumulatif. oleh karenanya Majelis Hakim
mengabulkan ijin poligami Pemohon.[19]
[1] Titik Tri wulan, Hukum Perdata
dalam Sistem Hukum Nasional (Cet. III; Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2011), hlm. 97-98.
[2] Arso Sosroatmojo dan A. Wasit
Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia . Lihat juga dalam Abdul Manan, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana,
2006), hlm. 4.
[3] Ibid.
[4] Saidah, Perempuan dalam Bingkai
Undang-undang Perkawinan Indonesia, (Yogyakarta: Trust Media Publishing,
2015), hlm. 76.
[5] Ibid.
[6] Gandhi Lapian, Disiplin Hukum
yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (Jakarta: Pustaka Obor,
2012), hlm. 27.
[7] Aditya Yuli Sulistyawan “Feminist
Legal Theorty dalam Telaah Paradigma: Suatu Pemetaan Filsafat Hukum”
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47. No.1, (Januari 2018). hlm.57.
[8] Adtiya Yuli Sulistyawan, Jurnal
Feministh Legal heory Dalam Telaah Paradigma: Suatu Pemetaan Filsafat Hukum), https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/download/18912/13376,
di Akses pada 23 Desember 2023 pukul 14.00 WIB.
[9] Siti Musdah Mulia, Islam Dan
Gender “Kesetaraan Gender”, (Yogyakarta: Kibar Press, 2006), hlm. 174.
[10] Sahbana, “Wanita Indonesia
dalam Keluarga Persepektif Islam, dalam, Jurnal Ilmu Syari‟ah, Keadilan
Gender dalam Syari‟at Islam, (Yogyakarta: UIN Press, 2001), hlm. 143.
[11] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
[12] Nur Kholis, dkk, Jurnal
Poligami dan ketidakadilan Gender dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia,
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/ahkam/article/download/1971/1469, di Akses pada 1 Januari 2024,
pukul 14.00 WIB.
[13] Niken Savitri, HAM Perempuan,
(Bandung: PT. Rafika Aditama, 2008), hlm. 7.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Arjuwin Taqwa, Skripsi hak dan
kewajiban suami istri perspektif gender menurut undang-undang tentang
Perkawinan, http://digilib.uinsuka.ac.id/3605/1/BAB%20I%2CV%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf, di akses pada 1 januari 2024
pukul 14.00 WIB.
[17] Habib Shulton, Jurnal Tinjauan
Kritis Terhadap hak-hak perempuan dalam Undang-undang Perkawinan, Upaya
menegakkan keadilan, https://journal.iaimnumetrolampung.ac.id/index.php/jm/article/download/27/22, di akses pada 1 Januari 2024,
pukul 14.00 WIB.
[18] Ibid.
[19] Mela Handayani, Jurnal
Permohonan Izin Poligami (Studi Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/Pa.Srg), https://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/syakhsia/article/download/1119/899, di akses pada 26 Desember 2023
pukul 14.00 WIB.