https://docs.google.com/presentation/d/1aGuW2HjP3jtTYgN1rDTADOk8xPU70eJ0/edit#slide=id.p1
Minggu, 27 Februari 2022
Sabtu, 26 Februari 2022
Kumpulan Artikel
Pentingnya Penerapan
Mindset Adil dan Sensitif Gender dalam Berbagai Bidang
Oleh : Utari Nelviandi (Aktivis Perempuan Riau)
Keadilan gender
adalah adalah pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara,
adil, tidak di diskriminasi, tidak di marginalkan hanya karena identitas gender
yang berbeda. Mindset adil dan sensitif Gender itu sangat penting untuk
diterapkan dalam berbagai bidang baik itu bidang ekonomi, bidang pendidikan,
bidang politik, bidang kesehatan dan lain sebagainya. Hal ini tentunya
bertujuan bagaimana nilai kemanusiaan terwujud dengan adanya pemerataan yang
tidak mengalami bias gender.
Keadilan dan
kesetaraan gender adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia
untuk mencapai kesejahteraan, membangaun keharmonisan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara dan tentunya membangun keluarga berkualitas.
Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta
hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
berbagai bidang serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Hal ini sudah
jelas diatur dalam UUD 1945.
Terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki, sehingga mereka dapat akses kesempatan berpartisipasi
dalam berbagai hal. Namun dengan kondisi Budaya Patriarki mengakibatkan
perempuan sebagai second sex dan tentunya perempuan dianggap lebih rendah dari
laki-laki, hal inilah yang menimbulkan berbagai ketidakadilan gender.
Penerapan mindset
adil dan sensitif gender ini perlu ditanamkan sejak dari dini terutama kepada anak-anak
yang berawal dari lingkungan keluarga. Keluarga sebagai Madrasah pertama bagi anak-anak.
Tentunya kedua orang tua yang jelas sudah paham konsep keadilan gender kemudian
menerapakan mindset adil ini kepada anak-anaknya artinya orang tua memberikan
pengajaran kepada anak-anak bahwa tidak ada perbedaan dari segi pekerjaan
ataupun perlakuan yang diberikan orang tua kepada anaknya, misalkan dalam
keluarga anak perempuan sudah diporsikan
untuk menyelesaikan segala pekerjaan rumah seperti bersih rumah, nyapu
dll.
Penerapan ini yang
harus dihilangkan dan tanamkan mindset kepada anak-anak bahwa perbedaan jenis
kelamin bukan menjadikan posisi perempuan itu lebih rendah atau
terdiskriminasi, tapi semuanya sama dan berhak untuk meraih dan mendapatkan
apapun, perbedaan itu hanya sebatas biologis saja. Jika penerapan ini sudah
ditanamkan di lingkungan keluarga tentunya akan berdampak baik hingga
kedepannya.
Mindset adil dan
sensitif gender juga sangan penting untuk diterapkan dalam berbagai bidang. Misalkan
bidang pendidikan, menghargai satu dengan yang lain, mempunyai kesempatan yang
sama dalam meraih pendidikan yang tinggi dan meraih prestasi. Kemudian sadar
bahwa laki-laki dan perempuan itu beda tapi perbedaan ini jangan dijadikan
sebagai senjata untuk merendahkan posisi perempuan, tapi diperlukannya
kesalingan satu dengan yang lain yakni saling menghargai dan saling
menghormati. Kemudian penerapan di bidang ekonomi, perempuan yang bekerja dan
berkarir mereka punya hak untuk memilih itu, sensitif gender dalam dunia kerja
juga sangat penting untuk diterapkan, artinya kesalingan itu sangat penting
untuk diterapkan dalam berbagai bidang agar terciptanya keharmonisasian dan
kenyamanan satu dengan yang lain.
Kekerasan Seksual : Kejahatan Kemanusiaan yang Tak Berujung
Oleh: Utari Nelviandi (Kader KOPRI Riau)
Kekerasan seksual
bukanlah masalah baru, sudah dari waktu ke waktu hingga silih berganti masalah ini
seperti ini tidak berujung. Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, baik
perempuan, laki-laki, muda, tua, berkuasa atau tidak berkuasa. Pelaku kekerasan
seksual-pun beragam, dan banyak dari pelaku justru berada di lingkungan
terdekat korban, bahkan orang-orang yang dipercayai korban. Seperti yang terjadi
di Mojokerto, Jawa Timur yakni Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh Novia
yang merupakan salah satu Mahasiswi Universitas Brawijaya dan berujung bunuh
diri akibat Depresi, Kemudian kasus pelecehan seksual yang dialami oleh salah
satu mahasiswi Universitas Riau yang dilecehkan oleh oknum dosen saat melakukan
bimbingan, dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya. Hal ini sangat
memprihatinkan dan kita dapat menilai bahwa kasus kekerasan seksual di
Indonesia makin merajalela, hal ini merupakan tanda bahaya, hingga detik inipun
Pemerintah belum juga mampu menyediakan Payung Hukum yang lebih komprehensif
dalam menanganai kasus kekerasan seksual ini.
Kekerasan seksual
adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang atau perbuatan lainnya
terhadap tubuh hasrat seksual seseorang atau fungsi reproduksi. Dilakukan
secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan
seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena
ketimpangan kuasa atau relasi gender, yang dapat berakibat penderitaan atau
kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial,
budaya, dan politik.
Sedangkan untuk
jenis kekerasan seksual Komisi Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) telah melakukan pemantauan selama 15 tahun dan
hasilnya ada 15 jenis kekerasan seksual yaitu, pemerkosaan, intimidasi seksual
termsuk ancaman atau percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, perdagangan
perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, pemaksaan perkawinan,
pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi,
penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, parktik
tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan mengintimidasi perempuan,
kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan
agama.
Menurut Catatan Tahunan
2020 (CATAHU) Komnas Perempuan bahwa sebanyak 299.911 kasus kekerasan terhadap
perempuan (KTP) yang dapat dicatatkan pada tahun 2020 berkurang 31% dari kasus
di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Hal ini dikarenakan
kuesioner yang kembali menurun hampir 100% dari tahun sebelumnya. Pada tahun
sebelumnya jumlah pengembalian kuesioner sejumlah 239 lembaga, sedangkan tahun
ini hanya 120 lembaga. Namun sebanyak 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner
menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Data
pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan drastis 60% dari 1.413
kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020. Dapat disimpulakn bahwa
di masa pandemi kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai angka tertinggi.
Indonesia bebas
kekerasan seksual tampaknya masih sebatas mimpi di siang bolong, di ruang-ruang
yang harusnya bebas dari kekerasan seksual pun, ruang privat, universitas dan
institusi negara, faktanya justru turut memproduksi kasus. Hal ini diakibatkan
cara pandang Budaya Patriarki yang memposisikan perempuan selalu subordinat dan
laki-laki dalam status yang dominan. Ini kemudian menjadi narasi yang terkonstruksi
sampai sekarang, laki-laki menguasai dan perempuan dikuasai. Tentu perempuan
yang dirugikan selalu dipandang sebagai objek untuk melakukan kekerasan
seksual. Hal inilah mengapa kasus kekerasan seksual terus meningkat terjadi di
negeri ini. Kejahatan kemanusiaan ini terus menerus menjadi momok yang
menakutkan dan tak kunjung selesai.
Perempuan sebagai
korban yang paling dominan mengalami kekerasan seksual tentu mengalami traumatis
yang mendalam, stres, depresi dan bahkan gangguan kesehatan lainnya. Tidak
sedikit dari korban yang merasa jijik dan bahkan menyalahkan diri mereka
sendiri karena kekerasan yang sudah mereka alami. Prilaku menyalahkan diri
sendiri ini juga diperparah dengan kebudayaan pro pelaku, bahwa kasus kekerasan
seksual adalah salah korban sendiri. Tentu pemulihan korban serta stigmatisasi
negatif terhadap korban ini yang harus dihilangkan. Bukan hanya fokus kepada
pelaku yang diadili atau dipidanakan.
Pada ruang lingkup
yang lebih luas, negara perlu dan harus segera mengatur secara rinci tentang
regulasi payung atas kekerasan seksual. Tiadanya sistem pemidanaan dan
penindakan yang jelas menyebabkan pelaku dengan mudahnya lolos dari jeratan
hukum. Selalu ujung kasusnya diselesaikan secara kekeluargaan dan menyerahkan
seluruh hak-hak perempuan dengan cara menikahinya. Hal inilah yang banyak terjadi.
Payung Hukum yang lebih komprehensif yang saat ini sangat dibutuhkan yakni pengesahan dari Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang saat ini sudah masuk kedalam daftar Prolegnas 2022. Hal ini juga sekaligus sebagai bukti komitmen pengimplementasian The Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) yakni perjanjian HAM Internasional yang mengatur penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak perempuan dan didalamnya juga termasuk hak bebas dari kekerasan seksual. Pada Draf RUU ini, setidaknya telah mengatur definisi sembilan (9) jenis tindak pidana kekerasan seksual secara lebih luas, guna menjangkau para pelaku yang selama ini lolos hukum hanya karena tindakan mereka tidak memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana (Amnesty International, 2020). Keadilan perlu ditegakkan dengan cara menghukum pelaku dan memulihkan korban melalui kepastian hukum yang jelas.
RUU PKS Sebagai Payung Hukum dalam Memanusiakan Manusia
Oleh: Utari Nelviandi
RUU PKS (Rancangan Undang-undang
Penghapusan Kekerasan Seksual) adalah Rancangan undang-undang yang mengatur
tentang penghapusan kekerasan seksual. RUU PKS dibentuk karena makin tingginya
kasus kekerasan terhadap
perempuan dari tahun ke tahun,
hal ini sangat memprihatinkan,
tidak adanya payung hukum yang pasti, aturan yang komprehensif untuk melindungi
korban dari berbagai tindakan yang tidak manusiawi. Tujuan dari pembentukan RUU
PKS ini tentunya menuntut negara agar lebih serius dalam menangani berbagai
kasus kekerasan seksual, menunaikan kewajibanya untuk memenuhi hak-hak korban
kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual yang terjadi
tidak hanya sekedar dalam bentuk langsung atau fisik, namun sering dengan
berkembangnya zaman teknologi masyarakat telah banyak mengenal tentang
ujaran-ujaran pelecehan yang bisa dilayangkan dalam dunia maya, dalam hal ini
sering kali teejadi komentar pelecehan yang kerap terjadi di platform media sosial.
Secara keseluruhan sistem hukum yang ada
belum secara komprehensif memberikan jaminan
penghapusan kekerasan seksual
mencangkup aspek pencegahan, perlindungan, pemulihan
dan pemberdayaan korban. Peraturan yang ada tentunya hanya melihat jika kasus
tersebut telah meresahkan kenyaman dan ketertiban masyarakat secara luas, tidak
berfokus pada penderitaan baik fisik ataupun psikis yang dialami korban. Adapun
korban dari tindakan kekerasan seksual bukan hanya terjadi pada orang dewasa, tapi juga terjadi pada anak-anak
dibawah umur. Hal ini telah membuktikan
bahwa kekerasan seksual adalah ancaman nyata bagi kehidupan masyarakat yang
tidak dapat dianggap remeh. Baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa mereka
semua berpotensi mengalami kerentanan atas ancaman kekerasan seksual. hal
inilah yang menjadi salah satu urgensi kenapa RUU PKS harus segera disahkan,
karena pada dasarnya RUU PKS tidak semata-mata mengatur terkait ancaman pidana,
tetapi juga hal lain yang mendukung dan melindungi korban selama menjalani
proses hukum.
Menurut Catatan Tahunan (2021)
dari Komnas Perempuan
bahwa Sebanyak 299.911
kasus kekerasan terhadap perempuan
(KTP) yang dapat dicatatkan pada tahun 2020, berkurang 31% dari
kasus di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Hal ini dikarenakan
kuesioner yang kembali menurun hampir 100% dari tahun sebelumnya. Pada tahun
sebelumnya jumlah pengembalian kuesioner sejumlah 239 lembaga, sedangkan tahun
ini hanya 120 lembaga. Namun sebanyak 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner
menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Data
pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan drastis 60% dari 1.413
kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020.
Tahun 2020 meskipun tercatat terjadi penurunan
pengaduan korban ke berbagai Lembaga layanan di masa pandemik COVID 19 dengan
sejumlah kendala sistem dan pembatasan sosial, Komnas Perempuan justru menerima
kenaikan pengaduan langsung yaitu sebesar 2.389 kasus dibandingkan tahun
sebelumnya yaitu 1.419 kasus, atau terdapat peningkatan pengaduan 970 kasus (40%) di tahun
2020, hai ini disebabkan Komnas
Perempuan menyediakan media pengaduan
online melalui google form pengaduan.
Catatan Tahunan (2021) Komnas Perempuan
juga menjelaskan pada masa Pandemi, perempuan dengan kerentanan berlapis juga
menghadapi beragam kekerasan dan diskriminasi. Kasus kekerasan seksual masih mendominasi kasus
kekerasan terhadap perempuan. Terdapat 42% dari 77
kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas merupakan kasus kekerasan
seksual dan hampir seluruh dari 203 perempuan dengan HIV/ AIDS yang melaporkan
kasusnya mengalami Kekerasan seksual, selain kasus kekerasan, dilaporkan juga
kasus diskriminasi dalam layanan publik, termasuk dalam mengakses bantuan di
masa pandemik COVID 19.
Melihat data diatas dapat dikatakan
bahwa kondisi kaum perempuan masih sangat rentat menjadi korban berbagai jenis
tindakan kekerasan, Terlebih lagi, pada zaman modern tingkat kekerasan justru
semakin tinggi dan banyak orang yang menganggap bahwa kasus tersebut merupakan hal biasa, Perempuan sebagai makhluk yang seharusnya diharga
dan dilindungi, justru menjadi objek dari tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekatnya.
Menurut Michael Kaufman seorang aktivis
di Kanada yang memimpin kampanye “Pita Putih”, mengungkapkan faktor-faktor
dibalik kekerasan terhadap perempuan, dengan merujuk kepada apa yang ia sebut
sebagai malapetaka (kekuasaan yang dimiliki oleh laki-laki mejadi malapetaka
bagi dirinya sendiri) dan amunisi di dalamnya. Sedikitnya ada tiga faktor
berkaitan yang merupakan amunisi laki-laki dalam memperlihatkan kekuasaan dan
otoritasnya, yaitu (a) kekuasaan Patriarki (patriarki
power), (b) hak-hak istimewa (privilege),
(c) sikap yang permisif (permission). Maka dari itu perempuan sudah
mendapatkan stereotype
dan sudah dianggap
rendah dan lemah sejak dari dulu, hal inilah pemicu dari segala tindakan
yang tidak manusiawi tersebut.
Rancangan Undang-undang Penghapusan
Kekerasan Seksual menjadi salah satu payung hukum untuk meminimalisir berbagai
perbuatan yang tidak manusiawi tersebut. Dalam penyusunan RUU PKS telah
mencantumkan asas-asas yang diusung untuk menjadi dasar dari RUU tersebut,
yakni: (pertama), penghapusan atas harkat dan martabat manusia, (kedua) non
diskriminasi, (ketiga) kepentingan terbaik bagi korban,
(keempat) keadilan, (kelima) kemanfaatan dan (keenam) kepastian hukum.
Ruang
lingkup dari RUU PKS meliputi
pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban dan penindakan pelaku. Hal ini terdapat dalam
pasal 4 ayat 1 dan merupakan kewajiban negara. Situasi semakin darurat dari
adanya tindakan kekerasan seksual di Indonesia namun sayangnya hal ini belum tertangani secara
optimal sehingga menempatkan Indonesia dalam situasi Kekerasan Seksual. RUU PKS ini sudah
dirancang sejak lama mulai dari tahun 2012 hingga saat ini, masuk ke daftar
prolegnas, tapi pada akhirnya kembali di keluarkan dan hingga saat ini RUU PKS
belum juga disahkan. Menurut guru besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof
Nina Nurmila membeberkan bahwa penolakan dari RUU PKS berasal dari
kelompok-kelompok konservatif yang tentunya
menggunakan media sosial untuk menyebarkan hoax seputar rancangan ini. Kelompok-kelompok tersebut
juga menentang kesetaraan dan keadilan gender, hal ini terlihat jelas ketika mereka menunjukkan diri sebagai oposisi
dari RUU PKS.
Pada dasarnya kehadiran RUU PKS sejatinya merupakan sesuatu yang sangat revolusioner. Dalam ajaran kemanusiaan yang paling mendasar adalah tentang keharusan menghargai sesama manusia, setiap orang memiliki hak untuk dilindungi dan dihormati, kita manusia pada dasarnya dihadapan Tuhan itu sama sebagai hamba, hanya keimanan dan ketaqwaan penentunya.
Perempuan Bersaing Dalam Ranah Publik
Oleh: Utari Nelviandi (Aktivias Perempuan Riau)
Perempuan
berasal dari kata per-empu-an. Per yang berarti makhluk, Empu berasal dari kata
Sansekerta yang berarti mulia, berilmu tinggi, pembuat suatu karya agung,
Menurut Epistimologi “Empu” juga berarti tuan, pokok. Jadi kata perempuan bisa
diartikan “yang dipertuan”, “yang dipentingkan”, atau “yang dipentingkan”.
Jadi, pandangan-pandangan yang menjadikan pilihan sebagai pilihan untuk
menghilangkan esensi dari kata “perempuan” yang sebenarnya. Bila kita melihat
peran perempuan pada saat ini, jelas tidak kalah dengan kaum laki-laki.
Realitas di lapangan membuktikan banyak perempuan yang berhasil melaksanakan
tugas yang selama ini dianggap sebagai tugas laki-laki. Telah banyak juga
perempuan yang sukses dalam kepemimpinannya, baik dalam lingkup domestik maupun
publik.
Kondisi
yang banyak juga terjadi saat ini banyak perempuan yang terkadang pasrah
dengan stereotipe yang mereka terima,
seperti tidak perlu berpendidikan tinggi karena ujung-ujungnya bakalan ke
Sumur, Dapur dan Kasur, kemudian terkait terkait nikah muda, banyak juga
perempuan dituntut untuk menikah cepat dengan anggapan kalau terlalu lama nanti
keburu tidak laku, kemudian perempuan tidak berhak berkarir bahkan menjadi
pemimpin dan masih banyak lagi pelabelan-pelabelan negatif yg diterima oleh
kaum perempuan. Hal ini terjadi tentu tidak terlepas dari Budaya Patriarki yang
dianut di negeri ini.
Maka
dari itu, Stigmatisasi inilah yang harus kita buang jauh-jauh. Menjadi
Perempuan yang berfikir cerdas dan berfikir maju mampu bersaing di ranah publik
yang terpenting bagaimana mengembangkan potensi yang ada pada perempuan.
Menempa diri dengan kemampuan dan keahlian yang mumpuni, berani unjuk gigi,
berani speak up dan ikut berpartisipasi dengan kaum laki-laki untuk meraih
peluang yang sama dalam berbagai aspek kehidupan dengan tekad ingin mengubah
sosial ke arah yang lebih baik. Jika potensi perempuan dapat teraktualisasikan
secara maksimal, bisa terjadi perubahan besar dalam peradaban manusia.
Dengan
demikian anggapan perempuan sebagai second sex, perempuan sebagai objek
seksualitas dan perempuan hanya sebatas sebagai mesin reproduksi mulai perlahan
dapat terbantahkan bahkan harus dimusnahkan anggapan seperti ini karena pada
dasarnya Tuhan juga tidak ada membedakan manusia dari jenis kelamin, tapi yang
menjadi pembedanya yakni dari segi keimanan dan ketaqwaan manusia itu sendiri
serta kita setiap manusia juga dituntut menjadi Khalifah di muka bumi ini.
Perspektif Teori Hukum Feminis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Ketidakadilan Gender Pada Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan)
PERSPEKTIF TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (KETIDAKADILAN GENDER PADA HAK ASASI...
-
Criminal Law Reform: Analysis of Legal Protection for Revenge Porn Victims as a form E lectronic-Based Sexual Violence/ Online Gender-Ba...
-
Pelaksanaan Hukum Positif dalam Perspektif Memberi Rasa Aman Sebagai Tugas daripada Hukum (Perlindungan pada Korban Kekerasan Seksual Menu...
-
https://docs.google.com/presentation/d/1-9mcB23GCk_qNwy_wRzGbjjHplXwiZ9N/edit?usp=drive_link&ouid=100256905152188523076&rtpof=true&a...