Sabtu, 26 Februari 2022

Kumpulan Artikel

 

Pentingnya Penerapan Mindset Adil dan Sensitif Gender dalam Berbagai Bidang

Oleh : Utari Nelviandi (Aktivis Perempuan Riau)

             Keadilan gender adalah adalah pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara, adil, tidak di diskriminasi, tidak di marginalkan hanya karena identitas gender yang berbeda. Mindset adil dan sensitif Gender itu sangat penting untuk diterapkan dalam berbagai bidang baik itu bidang ekonomi, bidang pendidikan, bidang politik, bidang kesehatan dan lain sebagainya. Hal ini tentunya bertujuan bagaimana nilai kemanusiaan terwujud dengan adanya pemerataan yang tidak mengalami bias gender.

            Keadilan dan kesetaraan gender adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangaun keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan tentunya membangun keluarga berkualitas. Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai bidang serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Hal ini sudah jelas diatur dalam UUD 1945.

            Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga mereka dapat akses kesempatan berpartisipasi dalam berbagai hal. Namun dengan kondisi Budaya Patriarki mengakibatkan perempuan sebagai second sex dan tentunya perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki, hal inilah yang menimbulkan berbagai ketidakadilan gender.

            Penerapan mindset adil dan sensitif gender ini perlu ditanamkan sejak dari dini terutama kepada anak-anak yang berawal dari lingkungan keluarga. Keluarga sebagai Madrasah pertama bagi anak-anak. Tentunya kedua orang tua yang jelas sudah paham konsep keadilan gender kemudian menerapakan mindset adil ini kepada anak-anaknya artinya orang tua memberikan pengajaran kepada anak-anak bahwa tidak ada perbedaan dari segi pekerjaan ataupun perlakuan yang diberikan orang tua kepada anaknya, misalkan dalam keluarga anak perempuan sudah diporsikan  untuk menyelesaikan segala pekerjaan rumah seperti bersih rumah, nyapu dll.

            Penerapan ini yang harus dihilangkan dan tanamkan mindset kepada anak-anak bahwa perbedaan jenis kelamin bukan menjadikan posisi perempuan itu lebih rendah atau terdiskriminasi, tapi semuanya sama dan berhak untuk meraih dan mendapatkan apapun, perbedaan itu hanya sebatas biologis saja. Jika penerapan ini sudah ditanamkan di lingkungan keluarga tentunya akan berdampak baik hingga kedepannya.

            Mindset adil dan sensitif gender juga sangan penting untuk diterapkan dalam berbagai bidang. Misalkan bidang pendidikan, menghargai satu dengan yang lain, mempunyai kesempatan yang sama dalam meraih pendidikan yang tinggi dan meraih prestasi. Kemudian sadar bahwa laki-laki dan perempuan itu beda tapi perbedaan ini jangan dijadikan sebagai senjata untuk merendahkan posisi perempuan, tapi diperlukannya kesalingan satu dengan yang lain yakni saling menghargai dan saling menghormati. Kemudian penerapan di bidang ekonomi, perempuan yang bekerja dan berkarir mereka punya hak untuk memilih itu, sensitif gender dalam dunia kerja juga sangat penting untuk diterapkan, artinya kesalingan itu sangat penting untuk diterapkan dalam berbagai bidang agar terciptanya keharmonisasian dan kenyamanan satu dengan yang lain.



Kekerasan Seksual : Kejahatan Kemanusiaan yang Tak Berujung 

Oleh: Utari Nelviandi (Kader KOPRI Riau) 

            Kekerasan seksual bukanlah masalah baru, sudah dari waktu ke waktu hingga silih berganti masalah ini seperti ini tidak berujung. Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, baik perempuan, laki-laki, muda, tua, berkuasa atau tidak berkuasa. Pelaku kekerasan seksual-pun beragam, dan banyak dari pelaku justru berada di lingkungan terdekat korban, bahkan orang-orang yang dipercayai korban. Seperti yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur yakni Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh Novia yang merupakan salah satu Mahasiswi Universitas Brawijaya dan berujung bunuh diri akibat Depresi, Kemudian kasus pelecehan seksual yang dialami oleh salah satu mahasiswi Universitas Riau yang dilecehkan oleh oknum dosen saat melakukan bimbingan, dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya. Hal ini sangat memprihatinkan dan kita dapat menilai bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia makin merajalela, hal ini merupakan tanda bahaya, hingga detik inipun Pemerintah belum juga mampu menyediakan Payung Hukum yang lebih komprehensif dalam menanganai kasus kekerasan seksual ini.

            Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang atau perbuatan lainnya terhadap tubuh hasrat seksual seseorang atau fungsi reproduksi. Dilakukan secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan kuasa atau relasi gender, yang dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

            Sedangkan untuk jenis kekerasan seksual Komisi Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah melakukan pemantauan selama 15 tahun dan hasilnya ada 15 jenis kekerasan seksual yaitu, pemerkosaan, intimidasi seksual termsuk ancaman atau percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, parktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan mengintimidasi perempuan, kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

            Menurut Catatan Tahunan 2020 (CATAHU) Komnas Perempuan bahwa sebanyak 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang dapat dicatatkan pada tahun 2020 berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Hal ini dikarenakan kuesioner yang kembali menurun hampir 100% dari tahun sebelumnya. Pada tahun sebelumnya jumlah pengembalian kuesioner sejumlah 239 lembaga, sedangkan tahun ini hanya 120 lembaga. Namun sebanyak 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan drastis 60% dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020. Dapat disimpulakn bahwa di masa pandemi kasus kekerasan terhadap perempuan  mencapai angka tertinggi.

            Indonesia bebas kekerasan seksual tampaknya masih sebatas mimpi di siang bolong, di ruang-ruang yang harusnya bebas dari kekerasan seksual pun, ruang privat, universitas dan institusi negara, faktanya justru turut memproduksi kasus. Hal ini diakibatkan cara pandang Budaya Patriarki yang memposisikan perempuan selalu subordinat dan laki-laki dalam status yang dominan. Ini kemudian menjadi narasi yang terkonstruksi sampai sekarang, laki-laki menguasai dan perempuan dikuasai. Tentu perempuan yang dirugikan selalu dipandang sebagai objek untuk melakukan kekerasan seksual. Hal inilah mengapa kasus kekerasan seksual terus meningkat terjadi di negeri ini. Kejahatan kemanusiaan ini terus menerus menjadi momok yang menakutkan dan tak kunjung selesai.

            Perempuan sebagai korban yang paling dominan mengalami kekerasan seksual tentu mengalami traumatis yang mendalam, stres, depresi dan bahkan gangguan kesehatan lainnya. Tidak sedikit dari korban yang merasa jijik dan bahkan menyalahkan diri mereka sendiri karena kekerasan yang sudah mereka alami. Prilaku menyalahkan diri sendiri ini juga diperparah dengan kebudayaan pro pelaku, bahwa kasus kekerasan seksual adalah salah korban sendiri. Tentu pemulihan korban serta stigmatisasi negatif terhadap korban ini yang harus dihilangkan. Bukan hanya fokus kepada pelaku yang diadili atau dipidanakan.

            Pada ruang lingkup yang lebih luas, negara perlu dan harus segera mengatur secara rinci tentang regulasi payung atas kekerasan seksual. Tiadanya sistem pemidanaan dan penindakan yang jelas menyebabkan pelaku dengan mudahnya lolos dari jeratan hukum. Selalu ujung kasusnya diselesaikan secara kekeluargaan dan menyerahkan seluruh hak-hak perempuan dengan cara menikahinya. Hal inilah yang banyak terjadi.

            Payung Hukum yang lebih komprehensif yang saat ini sangat dibutuhkan yakni pengesahan dari Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang saat ini sudah masuk kedalam daftar Prolegnas 2022. Hal ini juga sekaligus sebagai bukti komitmen pengimplementasian The Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) yakni perjanjian HAM Internasional yang mengatur penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak perempuan dan didalamnya juga termasuk hak bebas dari kekerasan seksual. Pada Draf RUU ini, setidaknya telah mengatur definisi sembilan (9) jenis tindak pidana kekerasan seksual secara lebih luas, guna menjangkau para pelaku yang selama ini lolos hukum hanya karena tindakan mereka tidak memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana (Amnesty International, 2020). Keadilan perlu ditegakkan dengan cara menghukum pelaku dan memulihkan korban melalui kepastian hukum yang jelas. 


RUU PKS Sebagai Payung Hukum dalam Memanusiakan Manusia 

Oleh: Utari Nelviandi

RUU PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual) adalah Rancangan undang-undang yang mengatur tentang penghapusan kekerasan seksual. RUU PKS dibentuk karena makin tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun, hal ini sangat memprihatinkan, tidak adanya payung hukum yang pasti, aturan yang komprehensif untuk melindungi korban dari berbagai tindakan yang tidak manusiawi. Tujuan dari pembentukan RUU PKS ini tentunya menuntut negara agar lebih serius dalam menangani berbagai kasus kekerasan seksual, menunaikan kewajibanya untuk memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak hanya sekedar dalam bentuk langsung atau fisik, namun sering dengan berkembangnya zaman teknologi masyarakat telah banyak mengenal tentang ujaran-ujaran pelecehan yang bisa dilayangkan dalam dunia maya, dalam hal ini sering kali teejadi komentar pelecehan yang kerap terjadi di platform media sosial.

Secara keseluruhan sistem hukum yang ada belum secara komprehensif memberikan jaminan penghapusan kekerasan seksual mencangkup aspek pencegahan, perlindungan, pemulihan dan pemberdayaan korban. Peraturan yang ada tentunya hanya melihat jika kasus tersebut telah meresahkan kenyaman dan ketertiban masyarakat secara luas, tidak berfokus pada penderitaan baik fisik ataupun psikis yang dialami korban. Adapun korban dari tindakan kekerasan seksual bukan hanya terjadi pada orang dewasa, tapi juga terjadi pada anak-anak dibawah umur. Hal ini telah membuktikan bahwa kekerasan seksual adalah ancaman nyata bagi kehidupan masyarakat yang tidak dapat dianggap remeh. Baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa mereka semua berpotensi mengalami kerentanan atas ancaman kekerasan seksual. hal inilah yang menjadi salah satu urgensi kenapa RUU PKS harus segera disahkan, karena pada dasarnya RUU PKS tidak semata-mata mengatur terkait ancaman pidana, tetapi juga hal lain yang mendukung dan melindungi korban selama menjalani proses hukum.

Menurut Catatan Tahunan (2021) dari Komnas Perempuan bahwa Sebanyak 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang dapat dicatatkan pada tahun 2020, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Hal ini dikarenakan kuesioner yang kembali menurun hampir 100% dari tahun sebelumnya. Pada tahun sebelumnya jumlah pengembalian kuesioner sejumlah 239 lembaga, sedangkan tahun ini hanya 120 lembaga. Namun sebanyak 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan drastis 60% dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020.

Tahun 2020 meskipun tercatat terjadi penurunan pengaduan korban ke berbagai Lembaga layanan di masa pandemik COVID 19 dengan sejumlah kendala sistem dan pembatasan sosial, Komnas Perempuan justru menerima kenaikan pengaduan langsung yaitu sebesar 2.389 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 1.419 kasus, atau terdapat peningkatan pengaduan 970 kasus (40%) di tahun 2020, hai ini disebabkan Komnas Perempuan menyediakan media pengaduan online melalui google form pengaduan.

Catatan Tahunan (2021) Komnas Perempuan juga menjelaskan pada masa Pandemi, perempuan dengan kerentanan berlapis juga menghadapi beragam kekerasan dan diskriminasi. Kasus kekerasan seksual masih mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan. Terdapat 42% dari 77 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas merupakan kasus kekerasan seksual dan hampir seluruh dari 203 perempuan dengan HIV/ AIDS yang melaporkan kasusnya mengalami Kekerasan seksual, selain kasus kekerasan, dilaporkan juga kasus diskriminasi dalam layanan publik, termasuk dalam mengakses bantuan di masa pandemik COVID 19.

Melihat data diatas dapat dikatakan bahwa kondisi kaum perempuan masih sangat rentat menjadi korban berbagai jenis tindakan kekerasan, Terlebih lagi, pada zaman modern tingkat kekerasan justru semakin tinggi dan banyak orang yang menganggap bahwa kasus tersebut merupakan hal biasa, Perempuan sebagai makhluk yang seharusnya diharga dan dilindungi, justru menjadi objek dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekatnya.

Menurut Michael Kaufman seorang aktivis di Kanada yang memimpin kampanye “Pita Putih”, mengungkapkan faktor-faktor dibalik kekerasan terhadap perempuan, dengan merujuk kepada apa yang ia sebut sebagai malapetaka (kekuasaan yang dimiliki oleh laki-laki mejadi malapetaka bagi dirinya sendiri) dan amunisi di dalamnya. Sedikitnya ada tiga faktor berkaitan yang merupakan amunisi laki-laki dalam memperlihatkan kekuasaan dan otoritasnya, yaitu (a) kekuasaan Patriarki (patriarki power), (b) hak-hak istimewa (privilege), (c) sikap yang permisif (permission). Maka dari itu perempuan sudah mendapatkan stereotype dan sudah dianggap rendah dan lemah sejak dari dulu, hal inilah pemicu dari segala tindakan yang tidak manusiawi tersebut.

Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi salah satu payung hukum untuk meminimalisir berbagai perbuatan yang tidak manusiawi tersebut. Dalam penyusunan RUU PKS telah mencantumkan asas-asas yang diusung untuk menjadi dasar dari RUU tersebut, yakni: (pertama), penghapusan atas harkat dan martabat manusia, (kedua) non diskriminasi, (ketiga) kepentingan terbaik bagi korban, (keempat) keadilan, (kelima) kemanfaatan dan (keenam) kepastian hukum.

Ruang lingkup dari RUU PKS meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban dan penindakan pelaku. Hal ini terdapat dalam pasal 4 ayat 1 dan merupakan kewajiban negara. Situasi semakin darurat dari adanya tindakan kekerasan seksual di Indonesia namun sayangnya hal ini belum tertangani secara optimal sehingga menempatkan Indonesia dalam situasi Kekerasan Seksual. RUU PKS ini sudah dirancang sejak lama mulai dari tahun 2012 hingga saat ini, masuk ke daftar prolegnas, tapi pada akhirnya kembali di keluarkan dan hingga saat ini RUU PKS belum juga disahkan. Menurut guru besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof Nina Nurmila membeberkan bahwa penolakan dari RUU PKS berasal dari kelompok-kelompok konservatif yang tentunya menggunakan media sosial untuk menyebarkan hoax seputar rancangan ini. Kelompok-kelompok tersebut juga menentang kesetaraan dan keadilan gender, hal ini terlihat jelas ketika mereka menunjukkan diri sebagai oposisi dari RUU PKS.

Pada dasarnya kehadiran RUU PKS sejatinya merupakan sesuatu yang sangat revolusioner. Dalam ajaran kemanusiaan yang paling mendasar adalah tentang keharusan menghargai sesama manusia, setiap orang memiliki hak untuk dilindungi dan dihormati, kita manusia pada dasarnya dihadapan Tuhan itu sama sebagai hamba, hanya keimanan dan ketaqwaan penentunya.


 

Perempuan Bersaing Dalam Ranah Publik

Oleh: Utari Nelviandi (Aktivias Perempuan Riau)

Perempuan berasal dari kata per-empu-an. Per yang berarti makhluk, Empu berasal dari kata Sansekerta yang berarti mulia, berilmu tinggi, pembuat suatu karya agung, Menurut Epistimologi “Empu” juga berarti tuan, pokok. Jadi kata perempuan bisa diartikan “yang dipertuan”, “yang dipentingkan”, atau “yang dipentingkan”. Jadi, pandangan-pandangan yang menjadikan pilihan sebagai pilihan untuk menghilangkan esensi dari kata “perempuan” yang sebenarnya. Bila kita melihat peran perempuan pada saat ini, jelas tidak kalah dengan kaum laki-laki. Realitas di lapangan membuktikan banyak perempuan yang berhasil melaksanakan tugas yang selama ini dianggap sebagai tugas laki-laki. Telah banyak juga perempuan yang sukses dalam kepemimpinannya, baik dalam lingkup domestik maupun publik.

Kondisi yang banyak juga terjadi saat ini banyak perempuan yang terkadang pasrah dengan  stereotipe yang mereka terima, seperti tidak perlu berpendidikan tinggi karena ujung-ujungnya bakalan ke Sumur, Dapur dan Kasur, kemudian terkait terkait nikah muda, banyak juga perempuan dituntut untuk menikah cepat dengan anggapan kalau terlalu lama nanti keburu tidak laku, kemudian perempuan tidak berhak berkarir bahkan menjadi pemimpin dan masih banyak lagi pelabelan-pelabelan negatif yg diterima oleh kaum perempuan. Hal ini terjadi tentu tidak terlepas dari Budaya Patriarki yang dianut di negeri ini.

Maka dari itu, Stigmatisasi inilah yang harus kita buang jauh-jauh. Menjadi Perempuan yang berfikir cerdas dan berfikir maju mampu bersaing di ranah publik yang terpenting bagaimana mengembangkan potensi yang ada pada perempuan. Menempa diri dengan kemampuan dan keahlian yang mumpuni, berani unjuk gigi, berani speak up dan ikut berpartisipasi dengan kaum laki-laki untuk meraih peluang yang sama dalam berbagai aspek kehidupan dengan tekad ingin mengubah sosial ke arah yang lebih baik. Jika potensi perempuan dapat teraktualisasikan secara maksimal, bisa terjadi perubahan besar dalam peradaban manusia.

Dengan demikian anggapan perempuan sebagai second sex, perempuan sebagai objek seksualitas dan perempuan hanya sebatas sebagai mesin reproduksi mulai perlahan dapat terbantahkan bahkan harus dimusnahkan anggapan seperti ini karena pada dasarnya Tuhan juga tidak ada membedakan manusia dari jenis kelamin, tapi yang menjadi pembedanya yakni dari segi keimanan dan ketaqwaan manusia itu sendiri serta kita setiap manusia juga dituntut menjadi Khalifah di muka bumi ini.

 

 

  

 

 

   

 

           

           

 

 

           

         

 

Perspektif Teori Hukum Feminis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Ketidakadilan Gender Pada Hak Asasi Manusia Bagi Kaum Perempuan)

  PERSPEKTIF TEORI HUKUM FEMINIS TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (KETIDAKADILAN GENDER PADA HAK ASASI...